Perempuan Desa Melawan Tambang: Tak Hanya Membela Tanah, Tapi Merawat Kehidupan
Pegunungan Kendeng membentang seperti tulang punggung Jawa Tengah, hijau, berkapur, menyimpan sungai bawah tanah yang mengalir ke sawah-sawah di bawahnya. Selama ratusan tahun, mata air dari perutnya memberi kehidupan bagi ribuan keluarga petani. Perempuan desa tahu persis di mana mata air terbaik untuk mencuci, untuk minum, untuk mengairi padi. Mereka hafal irama musim, tanda-tanda air akan melimpah atau surut.
Lalu datang rencana pabrik semen.
Gunarti, salah satu perempuan Kendeng, tidak tinggal diam. Bersama puluhan perempuan lain, ia melakukan yang tak terbayangkan dengan menyemen kaki mereka sendiri di depan Istana Negara pada 2019. Simbol perlawanan yang dramatis sekaligus putus asa.
“Kami tidak bisa hidup tanpa Ibu Bumi,” katanya. “Jika alam rusak, kami yang pertama merasakan dampaknya.”
Mereka tahu persis jika mata air hilang karena penambangan karst, beban terberat jatuh pada mereka yang setiap hari mengurus air untuk keluarga, untuk sawah, untuk kehidupan.
Kisah Kendeng bukan cerita tunggal. Di Desa Wadas, Purworejo, perempuan membentuk gerakan Wadon Wadas dan menabuh lesung—alat penumbuk padi tradisional—sebagai bentuk penolakan terhadap penambangan andesit untuk Bendungan Bener. Di Mollo, Nusa Tenggara Timur, Mama Aleta Baun mengorganisir perempuan untuk menenun di lokasi tambang marmer. Tenunan mereka bukan sekadar kain, tapi pernyataan politik bahwa tanah adalah “kain kehidupan” yang harus dijaga untuk anak cucu.
Pola yang sama terulang di berbagai desa, di mana perempuan selalu menjadi garda depan perlawanan ekologis. Ini karena merekalah yang paling dulu merasakan dampak kerusakan lingkungan, dalam urusan air, pangan, dan kelangsungan hidup sehari-hari. Dan dalam perlawanan mereka, tersimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar menolak tambang. Mereka membawa cara pandang yang hampir punah tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam.
Baca Juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Ketika “Ibu Bumi” bukan sekadar metafora
Dalam bahasa akademis, gerakan ini disebut ekofeminisme, yakni kesadaran bahwa penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi alam berakar pada logika yang sama: dominasi, kontrol, dan akumulasi tanpa batas. Tapi di desa-desa Indonesia, ekofeminisme bukan teori impor. Ia sudah lama hidup dalam kosmologi lokal yang memandang alam sebagai entitas yang hidup, yang memiliki roh, yang harus dihormati.
Di Kendeng, perempuan menyebut alam sebagai “Ibu Bumi”. Bukan sekadar kiasan puitis, tapi keyakinan nyata yang mengatur cara mereka bertani, mengelola air, memanen hasil hutan. Filosofi sedulur sikep yang dipegang masyarakat adat Jawa memandang manusia dan alam sebagai saudara, bukan tuan dan budak. Di Mollo, tanah adalah pemberi kehidupan yang harus dijaga dengan ritual dan penghormatan. Di Lhok Cut, Aceh, gunung dan hutan dipercaya sebagai “ibu” yang memberi makanan; sebuah keyakinan yang menjaga mereka dari eksploitasi berlebihan.
Pengetahuan ini bukan takhayu, melainkan sistem ekologis yang telah terbukti bertahan ratusan tahun, tentang cara memilih benih, rotasi tanaman, membuat pupuk alami, mengelola air bersama. Perempuan adalah penjaga utama pengetahuan ini dan mereka yang mentransmisikannya lewat cerita, ritual, dan pendidikan informal dari generasi ke generasi.
Tapi modernisasi mengubah segalanya. Sejak revolusi hijau, perempuan yang dulunya berdaulat atas praktik pertanian, dari memilih benih hingga menumbuk padi, mulai tersingkir. Logika efisiensi pasar menggantikan logika keberlanjutan. Tanah yang dulunya dihormati kini dilihat sebagai aset. Air yang dulunya dikelola bersama kini dikuasai korporasi. Dan perempuan desa, yang memiliki pengetahuan paling intim tentang ekosistem lokal, tidak pernah diundang ke meja pengambilan keputusan.
Baca Juga: Gerakan Aksi Iklim Indonesia Meningkat, Tapi Belum Pengaruhi Kebijakan
Perempuan desa merawat, bukan sekadar melawan
Yang menarik dari gerakan perempuan desa ini, mereka tidak hanya menolak, tapi juga membangun alternatif. Di banyak tempat, mereka mengembangkan pertanian organik, reforestasi berbasis adat, lumbung pangan komunal, sistem ekonomi gotong royong. Praktik ini bukan sekadar solusi teknis lingkungan namun “politik perawatan” (politics of care), cara hidup yang menempatkan relasi di atas dominasi, keberlanjutan di atas akumulasi. Mereka menolak logika efisiensi pasar dan membangun logika keberlanjutan yang bersifat relasional dan regeneratif.
Mama Aleta Baun, misalnya, tidak hanya berhasil menghentikan tambang marmer di Mollo sejak 1990-an. Ia juga membangun sistem pengelolaan hutan adat yang kini menjadi sumber mata air, pangan, dan tanaman obat bagi komunitasnya. Perempuan petani di Kulon Progo tidak hanya menolak tambang pasir besi, tapi juga memperkuat kedaulatan pangan lokal lewat benih tradisional dan pasar komunitas.
Ini yang sering luput dari narasi pembangunan, bahwa keberlanjutan bukan soal teknologi canggih atau investasi besar, tapi soal bagaimana kita merawat relasi dengan tanah, air, sesama, dan generasi mendatang. Dan perempuan desa, lewat kerja harian yang sering tak terlihat, telah lama mempraktikkan keberlanjutan ini.
Krisis iklim global memaksa kita mengakui bahwa model pembangunan berbasis pertumbuhan tanpa batas sudah tak bisa dilakukan lagi. Hutan terbakar, air tercemar, dan tanah terdegradasi. Di tengah situasi ini, pengetahuan yang selama ini dipinggirkan, yakni pengetahuan perempuan desa tentang bagaimana hidup selaras dengan alam menjadi sangat relevan.
Vandana Shiva, pemikir ekofeminisme dari India, menyebutnya “monokultur pikiran”, atau cara berpikir tunggal yang menghancurkan keberagaman hayati dan budaya lokal. Pembangunan modern telah memaksakan logika ini ke seluruh dunia, menganggap pengetahuan lokal sebagai primitif dan tak efisien. Padahal, pengetahuan lokal-lah yang selama ini menjaga keseimbangan ekosistem.
Perempuan Kendeng, Wadas, Mollo tidak sedang melawan modernitas. Mereka sedang menawarkan cara pandang lain tentang kemajuan, bahwa sejahtera bukan berarti menguras habis sumber daya, tapi merawat agar tetap berlimpah. Bahwa kaya bukan berarti akumulasi individual, tapi kesejahteraan bersama. Bahwa masa depan bukan dibangun dengan mengorbankan alam, tapi dengan menghormatinya.
Dalam konteks krisis saat ini, perempuan desa bukan korban yang perlu dikasihani. Mereka adalah agen perubahan yang membawa warisan pengetahuan, keberanian moral, dan kebijaksanaan ekologis. Dari mereka, kita belajar bahwa solusi krisis ekologis tidak hanya bergantung pada inovasi teknologi atau kebijakan ekonomi, tapi pada perubahan mendalam nilai-nilai kita: dari eksploitasi ke penghormatan, dari pertumbuhan ke keberlanjutan, dari dominasi ke keseimbangan.
Ketika Gunarti menyebut alam sebagai “Ibu Bumi,” ia tidak sedang bernostalgia. Ia sedang mengingatkan kita pada sesuatu yang sudah lama kita lupakan, bahwa kita tidak bisa hidup tanpa alam, dan alam tidak akan bertahan jika kita terus memperlakukannya sebagai objek eksploitasi. Di tengah ancaman krisis ekologis yang semakin nyata, perspektif dari pinggiran ini mungkin adalah harapan terakhir kita untuk masa depan yang layak huni bagi semua.
Panji Dafa Amrtajaya adalah peneliti dan penulis yang fokus pada isu ekologi, budaya lokal, dan gerakan sosial di pedesaan Indonesia.
















