Menjadi Ibu atau Tidak, Perempuan Tetap Berhak Berpendidikan
“Perempuan harus berpendidikan, karena perempuan akan menjadi ibu, madrasah pertama bagi anak-anak. Perempuan cerdas menghasilkan generasi cerdas.”
Kita sering mendengar kalimat ini diulang di mana-mana, dari pidato, seminar, hingga media sosial. Tapi terus terang, kalimat itu terdengar menyesakkan.
Padahal, pendidikan adalah hak dasar semua warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945: setiap warga berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya. Hak itu seharusnya berlaku setara bagi laki-laki dan perempuan tanpa perlu pembenaran tambahan. Namun dalam kenyataannya, bagi banyak perempuan, menempuh pendidikan masih merupakan perjuangan panjang.
Sejak dulu, fungsi biologis perempuan—menstruasi, hamil, melahirkan—sering dijadikan alasan untuk menyingkirkan mereka dari dunia pendidikan. Pada abad ke-19, misalnya, profesor Harvard Edward Clarke dalam bukunya Sex in Education (1873) menulis bahwa tugas akademik bisa membahayakan tubuh dan otak perempuan. Pandangan ini kemudian mengakar, menjadikan perempuan sebaiknya fokus menikah dan mengurus rumah, sementara laki-laki dipersiapkan jadi pencari nafkah lewat pendidikan.
Namun, muncul gelombang perlawanan dari para feminis liberal pada abad ke-19 dan 20. Mereka menolak pandangan bahwa perbedaan biologis membenarkan diskriminasi. Di Indonesia, tokoh seperti R.A. Kartini dan Dewi Sartika ikut memperjuangkan hak perempuan untuk belajar. Berkat perjuangan itu, kini perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan tinggi.
Perlindungan hak ini juga ditegaskan lewat ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) oleh Indonesia pada 1984. Konvensi ini mewajibkan negara menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.
Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Institusi Pendidikan Tertiup Angin Kekuasan
‘Madrasah pertama’ dan belenggu baru
Meski hak perempuan atas pendidikan sudah dijamin, narasi yang mendasarinya sering kali masih terjebak pada peran domestik, bahwa perempuan harus berpendidikan karena akan menjadi ibu. Kalimat ini tampak positif, tetapi sebenarnya membatasi tujuan perempuan belajar hanya untuk mempersiapkan diri mengasuh anak.
Padahal, tidak semua perempuan akan atau ingin menjadi ibu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak menikah, tak punya anak, atau tidak bisa melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi? Apakah mereka otomatis gagal mendidik generasi berikutnya?
Sebagian orang mencoba membenarkan pandangan itu lewat penelitian tentang gen kecerdasan yang diturunkan dari ibu. Namun banyak ahli menegaskan bahwa kecerdasan anak tidak hanya bergantung pada faktor genetik atau peran ibu semata. Lingkungan, pengasuhan, dan pendidikan bersama ayah juga sangat berpengaruh.
Budaya patriarki yang membatasi perempuan di ranah domestik membuat anak lebih dekat dengan ibu, sementara ayah kerap hanya dianggap pencari nafkah. Akibatnya, peran ibu dalam mendidik anak sering dibesar-besarkan, sedangkan tanggung jawab ayah diabaikan. Padahal, penelitian menunjukkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan berpengaruh besar terhadap perkembangan kognitif dan emosional anak.
Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, Diana Setiyawati, menjelaskan bahwa pengasuhan anak membutuhkan keterlibatan ayah dan ibu secara seimbang. Artinya, tanggung jawab mengasuh bukan hanya berada di pundak ibu, tetapi juga menjadi peran aktif ayah. Keterlibatan ayah dalam berbagai aktivitas bersama anak dapat menstimulasi perkembangan kognitif mereka.
Mengutip Jurnal Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) LP2M IAIN Jember yang ditulis oleh Leny Marinda berjudul “Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan Problematikanya pada Anak Usia Sekolah Dasar” (2020), kemampuan kognitif dipahami sebagai kapasitas anak untuk berpikir kompleks, bernalar, dan memecahkan masalah. Perkembangan ini mencakup perubahan bertahap dalam pikiran, daya ingat, serta pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan dan merencanakan masa depan.
Anak-anak yang memiliki perkembangan kognitif baik tidak hanya berprestasi secara akademik, tetapi juga lebih siap menghadapi kehidupan sehari-hari. Selain peran keluarga, tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan sekolah yang mendukung potensi mereka. Seperti pepatah mengatakan, “dibutuhkan satu kampung untuk mendidik seorang anak.”
Baca juga: Cium Tangan, Tunduk Nalar: Saat Tradisi Mengaburkan Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah hak, bukan alat patriarki
Mengajak perempuan menempuh pendidikan tinggi tentu tidak salah, tetapi kita perlu berhati-hati dengan cara menyampaikan pesan itu. Jika pendidikan perempuan terus diposisikan semata sebagai persiapan menuju pernikahan atau menjadi ibu, maka kita belum benar-benar lepas dari belenggu patriarki yang membatasi peran perempuan hanya pada fungsi biologisnya.
Kalimat ini juga bisa menjadi pisau bermata dua. Banyak perempuan tidak memiliki kesempatan untuk sekolah tinggi karena keterbatasan ekonomi. Tak hanya sulit menembus perguruan tinggi, bahkan melanjutkan ke SMP atau SMA pun sering kali tak terjangkau. Kondisi ini berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan yang menjerat banyak keluarga.
DW Indonesia pernah menyoroti kisah Hikmah, gadis 14 tahun dari keluarga nelayan yang menikah karena orang tuanya tak mampu membiayai sekolah. Di Jambi, Lia menikah di usia 17 karena jarak sekolah yang jauh dan kemiskinan keluarganya.
“Tempat sekolah kami sangat jauh, susah bagi kami untuk sekolah,” katanya dalam wawancara dengan Narasi Newsroom tahun 2021. Ia hanya bersekolah hingga kelas 3 SD karena faktor ekonomi.
Banyak perempuan lain bernasib serupa dengan menikah muda bukan karena pilihan, tapi karena akses pendidikan tertutup.
Kisah seperti ini menunjukkan bahwa kalimat “perempuan harus berpendidikan agar melahirkan generasi cerdas” bisa berbalik menjadi beban. Ia menyalahkan perempuan miskin yang tak sempat sekolah, seolah kecerdasan anak sepenuhnya tanggung jawab ibu. Dalam masyarakat yang masih menilai perempuan dari keberhasilannya sebagai ibu, kalimat itu bisa berubah menjadi alat penghakiman.
Feminisme telah membuka jalan panjang menuju kesetaraan, tapi perjuangan belum selesai. Mendorong perempuan berpendidikan tinggi tetap penting, tapi alasannya bukan semata karena mereka calon ibu. Pendidikan adalah hak asasi dan sarana pemberdayaan diri, bukan bagian dari tugas biologis.
Baca juga: Ekskul Roblox di Sekolah: Inovasi Pendidikan atau Eksperimen Berbahaya?
Negara wajib memastikan akses pendidikan yang adil bagi semua, termasuk mereka yang tak mampu. Namun kita juga perlu mengakui bahwa pemberdayaan tidak hanya lahir dari gelar akademik. Banyak perempuan berdaya dengan caranya sendiri, melalui kerja, komunitas, atau peran sosial lain di luar kampus.
Kalimat “perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak” bisa kita maknai ulang. Bahwa perempuan berhak berpendidikan karena mereka manusia yang berpikir, bermimpi, dan berkontribusi, bukan semata karena akan mendidik anak. Mau menikah atau tidak, punya anak atau tidak, perempuan tetap berhak atas pendidikan yang layak.
Christy Siregar adalah Mahasiswa Ilmu Hukum dengan peminatan Hukum Pidana di Fakultas Hukum, Universitas Udayana. Sedang memaksimalkan potensi dalam menulis, khususnya mengenai gender dan keterkaitannya dengan hukum.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















