December 17, 2025
Environment Issues

Hujan Mikroplastik di Jakarta: Dari Mana Asal-usulnya?

Bayangkan hujan yang membawa partikel plastik mikroskopis ke tubuh dan udara yang kita hirup. Fenomena ini nyata terjadi di Jakarta.

  • November 11, 2025
  • 6 min read
  • 931 Views
Hujan Mikroplastik di Jakarta: Dari Mana Asal-usulnya?

Bayangkan suatu sore di Jakarta, mendung menggantung tebal di langit, rintik hujan mulai jatuh, dan udara terasa lembap seperti biasa. Namun siapa sangka, di balik tetesan hujan yang terlihat jernih itu, sebenarnya terdapat partikel-plastik mikroskopis yang tak dapat kita lihat. Fenomena ini dikenal sebagai “hujan mikroplastik”, dan faktanya telah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk ibu kota kita.

Dikutip dari World Econoic Forum, Scientists find plastic pollution in the rain and in the air we breathe, penelitian menunjukkan partikel mikroplastik terbawa di udara dan kemudian jatuh bersama hujan.

Fenomena hujan mikroplastik tidak lagi sekadar wacana atau teori ilmiah. Beberapa studi di dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa partikel-plastik kecil kini sudah mencemari udara, tanah, air laut, bahkan air hujan. Di kota besar dengan kepadatan tinggi seperti Jakarta, dimana polusi udara cukup serius dan penggunaan plastik masif, potensi dampaknya jadi jauh lebih besar.

Masalahnya, mikroplastik tampak tak terlihat namun memiliki potensi bahaya besar. Karena ukuran mereka yang sangat kecil, bahkan lebih kecil dari sebutir pasir, mikroplastik mudah terhirup ke dalam paru-paru manusia atau terserap ke dalam tanah dan sumber air kita. Kita mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap kali hujan turun di Jakarta, bisa jadi partikel-plastik ikut hujan dan berinteraksi dengan lingkungan tempat kita tinggal.

Dikutip dari YaleEnvironment 360, Microplastics Are Filling the Skies. Will They Affect the Climate?, fenomena ini menjadi sinyal peringatan tentang seberapa jauh pencemaran plastik telah merambah. Kalau dulu kita hanya mengenal pencemaran plastik di laut atau sungai, kini partikel-plastik itu sudah berubah wujud menjadi semacam “debu plastik” di udara, yang kemudian jatuh bersama hujan. Dampaknya pun tidak main-main, mulai dari gangguan kesehatan manusia hingga kerusakan ekosistem.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan hujan mikroplastik dan bagaimana fenomena ini bisa terjadi. Artikel ini akan membahas lebih dalam: dari asal-usul mikroplastik dan bagaimana prosesnya hingga hujan, hingga dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan, serta langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk menghadapi dan mengatasinya.

Jakarta kini tidak hanya menghadapi banjir air tiap musim hujan, tetapi juga “banjir plastik” dari langit. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa persoalan plastik sudah melampaui batas wajar dan menuntut perubahan nyata dalam cara kita memproduksi, menggunakan, dan membuang plastik sehari-hari.

Baca Juga: Aeshnina Azzahra: Aktivis Lingkungan Muda yang Kritik Sampah Plastik

Asal-usul Mikroplastik di Air Hujan

Menurut laporan dari CNN Indonesia berjudul Dari Mana Asal-muasal Munculnya Mikroplastik di Air Hujan?, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa mikroplastik yang ditemukan di air hujan Jakarta tidak selalu berasal dari wilayah yang sama. Partikel-partikel kecil ini bisa “menumpang” di udara, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, sebelum akhirnya ikut turun bersama hujan.

Fungsional Madya Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, Dwi Atmoko, mengatakan bahwa mikroplastik sebenarnya bisa dikategorikan sebagai bagian dari aerosol dalam sistem atmosfer. Ia menjelaskan, “Secara definisi, aerosol adalah partikel padat atau cair yang tersuspensi di udara,” dalam media briefing di Jakarta, Jumat (24/10), seperti dikutip CNN Indonesia.

Menariknya, sumber aerosol ini sangat beragam. Ada yang alami, seperti percikan ombak laut, debu vulkanik, atau partikel organik dari tanah dan tumbuhan. Namun ada juga yang berasal dari aktivitas manusia, misalnya asap kendaraan, pembakaran sampah, dan polusi industri yang makin memperburuk kualitas udara kota besar seperti Jakarta.

Dwi menambahkan, partikel aerosol — termasuk mikroplastik — bisa berpindah mengikuti arah dan kecepatan angin. Ada dua cara utama partikel ini kembali ke bumi: deposisi kering dan deposisi basah.

Dalam deposisi kering, partikel jatuh ke permukaan bumi karena pengaruh gravitasi, terutama ketika angin sedang lemah. Dalam kondisi ini, partikel bisa menempel di daun, atap bangunan, air, atau tanah di sekitar kita.

Sementara itu, deposisi basah terjadi ketika partikel di atmosfer ikut menjadi bagian dari pembentukan awan. Ketika hujan turun, partikel-partikel tersebut ikut terbawa dan jatuh ke permukaan bumi. Seperti dijelaskan Dwi dalam laporan CNN Indonesia, “Air hujan dapat membawa partikel aerosol, termasuk mikroplastik, turun ke permukaan.”

Lebih jauh, Dwi menegaskan bahwa mikroplastik yang ditemukan di suatu wilayah belum tentu berasal dari wilayah tersebut. Fenomena ini disebut transportasi polutan, di mana partikel polutan terbawa angin dari satu daerah ke daerah lain.

“Artinya, mikroplastik yang ditemukan di Jakarta bisa saja berasal dari wilayah lain, atau sebaliknya, partikel dari Jakarta terbawa angin ke daerah lain,” jelasnya.

Fenomena ini menunjukkan betapa kompleksnya persoalan pencemaran mikroplastik. Ia tidak mengenal batas wilayah, dan bisa dengan mudah berpindah mengikuti arah angin, mengingatkan kita bahwa isu lingkungan ini bukan hanya tanggung jawab satu kota, tetapi tantangan bersama yang harus dihadapi secara kolektif.

Baca Juga: Krisis Polusi Udara di Jakarta Bisa Ancam Kesehatan Reproduksi Perempuan

Waspada Mikroplastik di Udara yang Kita Hirup

Menurut laporan BBC Indonesia berjudul Mikroplastik dalam air hujan di Jakarta – ‘Bukan air hujannya yang berbahaya, tapi udaranya’, berbagai riset menunjukkan bahwa mikroplastik bisa masuk ke tubuh manusia melalui banyak cara: lewat saluran pencernaan, kulit, bahkan udara yang kita hirup setiap hari.

Lebih mengkhawatirkan lagi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam plasenta bayi hingga pembuluh darah manusia, bukti nyata bahwa partikel kecil ini mampu menembus sistem biologis tubuh kita.

Peneliti dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) juga mengingatkan tentang bahaya paparan mikroplastik di udara yang bisa dihirup setiap hari, dan bagaimana efeknya dapat terjadi secara perlahan namun berulang. Fenomena ini bahkan bukan hal baru: sejak 2018, penelitian di wilayah Paris menemukan mikroplastik dalam debu atmosfer. Studi itu menjelaskan bahwa partikel dan serat mikroplastik yang terhirup bisa menyebabkan sesak napas dan peradangan pada paru-paru, karena sistem pernapasan berusaha melawan benda asing tersebut (sumber: BBC Indonesia).

Meski begitu, WHO menilai masih dibutuhkan lebih banyak riset untuk benar-benar memahami dampak jangka panjang mikroplastik dalam tubuh manusia. Namun, hasil studi yang ada sudah cukup menjadi alarm bagi kesehatan publik.

Dalam laporan yang sama, dokter spesialis paru Wiwin Is Efendi menjelaskan bahwa paparan mikroplastik di udara dapat menyebabkan efek mulai dari yang ringan hingga kronis, apalagi jika partikel itu bercampur dengan polutan lain seperti PM2.5 dan PM10.

“Kalau sistem mukus kita mendeteksi jumlah tertentu mikroplastik yang masuk ke saluran pernapasan, maka tubuh akan merespons dengan batuk untuk mengeluarkannya,” jelas dr. Wiwin.

Namun, jika seseorang terus-menerus menghirup udara tercemar mikroplastik, efeknya bisa jauh lebih serius. Wiwin menambahkan, “Paparan kronis dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), di mana saluran napas menjadi sempit dan paru-paru bisa mengalami kerusakan.” Dalam kondisi terparah, risiko yang muncul bahkan bisa berujung pada kanker paru-paru, ungkapnya kepada BBC Indonesia.

Dampak mikroplastik di udara juga lebih berat bagi kelompok rentan, seperti penderita asma, lansia, dan mereka yang memiliki penyakit penyerta. “Orang yang sudah punya asma, kalau terpapar partikel mikroplastik, asmanya bisa kambuh,” ujar dr. Wiwin. Ia menambahkan bahwa tubuh manusia memang memiliki sistem alami untuk membuang benda asing seperti mikroplastik, tetapi kemampuan itu akan menurun seiring usia atau jika daya tahan tubuh lemah.

Sebagai langkah pencegahan, dr. Wiwin menyarankan masyarakat yang tinggal di wilayah dengan kualitas udara buruk untuk selalu memakai masker, sama seperti saat pandemi Covid-19. Selain itu, menjaga imunitas lewat pola makan bergizi dan olahraga rutin juga penting agar tubuh lebih siap menghadapi “serangan” partikel mikroplastik yang bisa masuk kapan saja lewat udara yang kita hirup.

About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.