December 6, 2025
Culture Lifestyle Travel & Leisure

Petualangan Rasa di Tempego Experience: Bahkan Tempe pun Bisa ‘Naik Kelas’ 

Di Tempego Experience aku membuat dan mencicipi tempe yang disulap jadi kuliner bintang lima.

  • November 8, 2025
  • 7 min read
  • 1927 Views
Petualangan Rasa di Tempego Experience: Bahkan Tempe pun Bisa ‘Naik Kelas’ 

Sebagai orang Indonesia, tempe sudah menjadi bagian dari makanan sehari-hariku. Tempe selalu ada di meja makan, kotak bekal, hingga nasi bungkus yang kupesan di warteg dekat rumah atau kantor. Harganya yang sangat ramah di kantong bikin tempe jadi sumber protein andalan, terutama di akhir bulan saat dompet mulai menipis. Singkatnya, hidupku rasanya tak lengkap tanpa tempe. 

Namun ternyata, kecintaanku pada makanan berbahan dasar kedelai fermentasi ini enggak sedalam yang kukira. Mudahnya menemukan tempe di mana-mana membuatku jarang berpikir lebih jauh tentang asal-usulnya. Aku tak menyadari di balik sepotong tempe ada sejarah panjang tentang ketahanan pangan dan perubahan sosial. Sampai akhirnya aku mendapatkan kesempatan mengikuti lokakarya budaya Hands-on Tempe Culinary Experience akhir Oktober lalu. 

Diselenggarakan oleh Ubud Writers and Readers Festival 2025, lokakarya ini mengajak pengunjung ke Tempego Experience di Ubud, Bali, untuk mengenal tempe lebih jauh. Dengan sambutan hangat, Benny Santoso, pendiri Tempeman dan Tempego Experience menyambut aku dan empat pengunjung lain, lalu menyajikan berbagai hidangan kreasi tempe. 

Pertama, kami disuguhi samosa berisi tempe kedelai hitam berbumbu kari dengan saus kelapa yoghurt. Dari segi rasa, tentu tidak perlu diragukan, tapi tekstur tempe di dalamnya membuatku terkejut. Mirip daging, sedikit berserat, dan secara mengejutkan agak lumer. Mungkin bagi orang asing yang belum pernah makan tempe, mereka akan mengira ini adalah daging sapi. 

Baca Juga: Tatung Pontianak: Ritual Spiritual yang Rangkul Perbedaan 

Halloumi, tempe asap, dan saus asam jawa. Foto oleh Ubud Writers and Readers Festival

Hidangan selanjutnya yang kami cicipi adalah halloumi (keju asal Siprus), tempe asap, dan saus asam Jawa. Perpaduan gurih dari keju dan sentuhan asam dari saus membuat tiga potongan tempe di atasnya terasa menyatu sempurna. Bagi penyuka keju, tempe, dan asam Jawa sepertiku, hidangan ini benar-benar surga dunia. 

Setelah menikmati dua hidangan pembuka yang kaya rasa dan tekstur, kami kemudian disuguhkan makan siang. Di atas piring yang dilapisi daun pisang tersaji nasi aromatik lengkap dengan tempe katsu, saus yogurt, dan sambal tumpang—sambal khas Jawa yang terbuat dari tempe “busuk” atau tempe semangit. Perpaduan nasi panas beraroma harum, renyahnya tempe katsu, dan gurih santan dalam sambal tumpang membuat hidangan ini terasa istimewa. Apalagi, saat disantap langsung dengan jari, rasanya makin memuaskan. 

Tempe katsu dengan saus yoghurt dan sambal tumpang. Kredit: Ubud Writers and Readers Festival

Membuat peserta kenyang dengan berbagai kreasi tempe ternyata hanyalah salah satu dari banyak misi Benny hari itu. Setelah makan, aku dan peserta lain diajak menyusuri museum tempe, yang menjadi bukti cinta Benny pada makanan khas Indonesia ini. Di dalamnya tidak hanya tersimpan sejarah tempe, tetapi juga berbagai alat produksi, seperti mesin pemisah kulit kedelai dan keranjang bambu yang digunakan secara tradisional. 

Sambil memperlihatkan satu per satu alat dan poster dinding, Benny menjelaskan sejarah panjang tempe. Catatan tertua tentang tempe ditemukan dalam Serat Centhini, naskah sastra Jawa kuno yang dianggap sebagai ensiklopedia kebudayaan dan pengetahuan masyarakat Jawa pada awal abad ke-19. Naskah ini menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa pada masa itu, termasuk tempe sebagai makanan sehari-hari. 

Tempe dalam naskah tersebut terbuat dari kedelai hitam yang difermentasi secara tradisional, hadir dalam hidangan seperti jae santen tempe (tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan, yang muncul dalam perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan ke Pajang, berhenti di Desa Tembayat, Klaten. Di sana, ia diundang makan siang oleh Pangeran Bayat dengan hidangan tempe. 

Dari kisah ini terlihat tempe bukan sekadar bahan pangan, tetapi juga bagian kebudayaan agraris Jawa yang erat dengan gotong royong. Proses pembuatannya melibatkan kerja sama dan pengetahuan turun-temurun, menjadikannya simbol kesederhanaan dan kehidupan masyarakat desa yang bergantung pada hasil Bumi sendiri. 

Seiring waktu, tempe pun ikut berubah mengikuti dinamika sosial Indonesia. Penggunaan kedelai putih mulai meluas pada masa kolonial Belanda, ketika kedelai impor dari Amerika masuk ke Nusantara awal abad ke-20. Kebijakan ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor membuat produksi kedelai lokal menurun. Setelah kemerdekaan, berbagai program pemerintah untuk swasembada pangan sering kali tidak konsisten mendukung petani kedelai. Akibatnya, industri tempe modern kini lebih banyak bergantung pada kedelai impor, yang harganya bahkan lebih murah dibanding kedelai lokal. 

Itulah sebabnya, kata Benny, pihaknya berusaha kembali ke akar budaya dengan menggunakan kedelai dari petani lokal. 

“Petani lokalnya dari Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kami membelinya lebih mahal, tapi kualitasnya juga lebih tinggi,” jelasnya. 

Setelah kenyang tidak hanya dari makanan, tetapi juga ilmu, kami kembali ke tempat duduk. Kali ini, saatnya belajar membuat tempe. Pertama, kami diperkenalkan dengan berbagai jenis biji-bijian yang bisa diolah menjadi tempe. 

Baca Juga: Pengalaman Makan di Karen’s Diner: Unik Tapi Juga Tidak Menyenangkan

Berbagai jenis biji-bijian yang bisa menjadi bahan baku tempe. Foto oleh Ubud Writers and Readers Festival

Ternyata, kedelai bukan satu-satunya bahan untuk membuat tempe. Berbagai sumber protein lokal seperti kacang hijau, kacang koro, dan sorgum juga dapat diolah menjadi tempe yang lezat serta bergizi. Bayangkan jika masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung pada kedelai impor. Kemandirian pangan akan semakin kuat, sementara kekayaan kuliner nusantara pun bertambah dengan hadirnya ragam tempe khas tiap daerah, yang disesuaikan dengan hasil bumi setempat. 

Setelah mengenal berbagai biji-bijian sebagai bahan baku, para peserta kemudian mempelajari tahapan pembuatan tempe. Proses diawali dengan memilih bahan berkualitas, lalu mencucinya hingga bersih dan merebusnya hingga setengah matang. Selanjutnya, kulit ari dilepaskan dan bahan direndam selama beberapa jam agar teksturnya menjadi lebih lunak. 

Ketika teksturnya sudah tepat, biji-bijian ditiriskan dan dikeringkan menggunakan tampah bambu yang ditutup kain bersih untuk menurunkan kadar air. Jika biji sudah terasa cukup kering, namun masih sedikit lembap saat disentuh, barulah ragi (Rhizopus sp.) dicampurkan secara merata. Dengan proses yang tepat, hasil tempe pun akan memiliki aroma, tekstur, dan cita rasa yang optimal. 

Di tiap sisi peserta, biji-bijian yang telah sempurna dicampur ragi ini kemudian dibungkus menggunakan daun pisang atau plastik yang sudah dilubangi terlebih dahulu. Satu demi satu tempe berukuran persegi panjang pun selesai dibungkus rapi. Kini kami hanya tinggal menunggu bakteri bekerja selama dua hari pada suhu ruangan hingga tempe siap dikonsumsi. 

Baca Juga: Diplomasi Pangan, Diplomasi Meja Makan: Agar Indonesia Terkenal di Kancah Dunia 

Sesi membuat tempe dengan menggunakan hiasan bunga telang. Foto oleh Ubud Writers and Readers Festival 

Sebelum perjalanan mengenal tempe ini benar-benar usai, kami kembali dimanjakan dengan berbagai kreasi kuliner berbahan dasar tempe. Satu per satu, kami diajak mencicipi ragam kudapan unik—mulai dari es krim, cokelat, energy bar, hingga kue kering—yang semuanya memadukan tempe dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. 

Dari seluruh hidangan tersebut, es krim tempe menjadi yang paling berkesan bagiku. Alih-alih menggunakan susu, es krim ini menggabungkan tempe dengan santan kelapa yang kaya akan lemak. Perpaduan keduanya menghasilkan rasa manis yang lembut, sekaligus gurih yang hangat di lidah. Setiap suapannya terasa penuh, kaya, dan memikat. 

Kelezatannya semakin sempurna ketika dinikmati bersama remahan cokelat dan kue kering tempe. Dengan pilihan rasa seperti keju, cokelat, hingga sea salt, kedua kudapan ini meleleh lembut di mulut, saling melengkapi, dan menambah kompleksitas rasa yang memanjakan indera. 

Pengalaman di TempeGo ini meninggalkan kesan mendalam bagiku. Sebagai warga lokal yang sehari-hari begitu akrab dengan tempe, baru kali ini aku benar-benar merasakan betapa besar nilai budaya, kreativitas, dan ketekunan yang tersimpan di balik sepotong tempe. Dari proses fermentasinya hingga inovasi kuliner modernnya, tempe bukan sekadar makanan. Ia adalah warisan rasa, buah kerja keras, sekaligus identitas bangsa yang patut kita jaga dan banggakan. 

Aku pulang dengan perut kenyang, hati hangat, dan rasa hormat yang baru terhadap makanan sederhana yang selama ini mungkin terlalu sering aku anggap biasa. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.