December 5, 2025
Lifestyle Opini

Bagi Laki-laki Ini Cuma Perjalanan, Bagi Perempuan Ini Pertaruhan

Dari ritual ‘Share My Ride’, saya belajar bahwa bagi perempuan, setiap perjalanan adalah pertaruhan hidup dan martabat.

  • November 14, 2025
  • 5 min read
  • 949 Views
Bagi Laki-laki Ini Cuma Perjalanan, Bagi Perempuan Ini Pertaruhan

Selama ribuan jam bekerja di balik kemudi taksi online, saya mengamati satu ritual menarik yang hampir selalu dilakukan penumpang perempuan di malam hari. Saya menyebutnya “ritual pintu tertutup”.

​Begitu masuk mobil dan menutup pintu, perempuan jarang sekali langsung bersandar rileks. Sebaliknya, mereka akan langsung menelepon orang rumah, entah suami, orang tua, atau teman kos dengan nada yang sedikit mendesak: ​“Halo, aku sudah di jalan ya. Ini aku kirim ‘Share My Ride’, jangan tidur dulu.”

Share My Ride adalah sebuah fitur sederhana yang memungkinkan orang terdekat memantau posisi kendaraan secara real-time.

​Ritual ini juga saya tuntut dari istri saya. Sayalah suami yang selalu cerewet mengingatkannya jika ia terpaksa pulang naik taksi online saat saya sedang narik dan tidak bisa menjemput. “Langsung telepon, kirim live location, jangan dimatikan sampai tiba di rumah.”

​Dulu, saya pikir itu hanya bentuk standar perhatian seorang suami. Namun, menjadi pengemudi taksi online menyadarkan saya pada realitas yang lebih gelap. Itu bukan sekadar kabar, melainkan strategi pertahanan hidup. Itu adalah kode halus yang artinya, “Saya sedang berada di ruang tertutup dengan orang asing, dan saya butuh kamu menjadi saksi digital jika terjadi apa-apa.”

Baca juga: Dari ‘Anker’ Cikarang Saya Belajar, Rumah Bukan Tempat Pulang tapi Alasan Bertahan

Privilese laki-laki saat pulang malam

​Bagi penumpang laki-laki, masuk ke mobil orang asing di tengah malam sering kali hanya urusan memindahkan badan dari titik A ke titik B. Mereka duduk santai, kadang langsung mendengkur, dengan kaki terbuka lebar menguasai jok belakang. Tapi bagi penumpang perempuan, masuk ke taksi berarti langsung menjalankan protokol mitigasi risiko.

Dari kaca spion tengah, saya sering melihat mereka tegang, dengan tangan tak lepas mencengkeram ponsel. Mata mereka awas melihat rute di peta, memastikan saya tidak berbelok ke jalan yang salah. Mereka tidak sedang menikmati perjalanan; mereka sedang bertahan hidup.

​Awalnya, ego kelelakian saya sedikit terusik. “Mbak ini kenapa tegang sekali, sih? Saya kan sopir baik-baik. Saya punya istri di rumah. Saya cuma cari nafkah.” Namun, saya teringat pesan legendaris Bang Napi di berita kriminal televisi dulu,“Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan!”

​Saya tersadar bahwa ketakutan mereka bukan serangan personal terhadap saya. Mobil saya, sebuah kotak logam kedap suara yang melaju di jalanan sepi dan dikendalikan satu orang, adalah definisi “kesempatan” yang sempurna bagi siapa pun yang berniat jahat.

​Jadi saat penumpang perempuan menelepon siapa pun itu, mereka tidak sedang menuduh saya jahat. Mereka hanya sedang melakukan satu-satunya hal yang bisa mereka kontrol: menutup “kesempatan” itu dengan menghadirkan saksi digital.

​Data tidak berbohong, dan statistik yang dihadirkan itu mengerikan. Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mencatat bahwa 4 dari 5 perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Transportasi umum dan online menempati peringkat atas sebagai lokasi kejadian.

​Ini bukan paranoia tapi trauma kolektif. Belum lama ini, ada berita viral tentang seorang pengemudi taksi online di Jakarta yang memeras penumpangnya sebesar Rp100 juta atau dia akan dibuang ke sungai. Sang penumpang berhasil selamat hanya karena nekat melompat keluar dari mobil yang sedang melaju di jalan tol.

​Bayangkan keputusasaan macam apa yang membuat seseorang memilih melompat ke aspal jalan tol yang keras daripada tetap berada di dalam mobil bersama pengemudinya? Dari sinilah saya belajar tentang apa itu male privilege atau hak istimewa laki-laki.

​Privilese saya bukanlah kekayaan atau jabatan. Privilese saya adalah kemampuan untuk menyetir jam 2 pagi di jalanan sepi, menerima pesanan dari orang asing, tanpa sekalipun terpikir, “Apakah penumpang ini akan memperkosa saya?”

​Ketakutan terbesar saya saat bekerja “hanya” begal atau pesanan fiktif yang bikin rugi bensin. Itu menakutkan, tapi tidak menyerang integritas tubuh saya sebagai manusia.

​Sementara penumpang perempuan saya? Mereka harus membawa beban mental berlapis setiap kali menutup pintu mobil. Apakah sopir ini aman? Apakah rutenya benar? Jika terjadi sesuatu, bagaimana saya kabur?

Baca juga: Yang Tak Ada di Perjanjian KPR 20 Tahun: Tetanggamu Seekor Kobra

Teknologi bukan solusi terhadap akar masalah

​Aplikasi share my ride mencoba menjawabnya dengan menyediakan fitur tombol darurat, rekam audio, dan verifikasi wajah. Tapi apakah teknologi bisa memperbaiki kerusakan sosial yang sudah mengakar? Fitur-fitur itu, sayangnya, justru menormalisasi keadaan bahaya ini. Seolah-olah berkata pada perempuan, “Dunia ini memang tidak aman buatmu, jadi ini kami kasih senjata digital. Selamat berjuang sendirian ya.”

​Sebagai sesama pengguna jalan, kita tahu mayoritas perjalanan sebenarnya aman. Namun, satu kasus buruk sudah cukup untuk menghancurkan rasa percaya itu. Maka, bagi para penumpang (terutama perempuan), jangan ragu untuk “menutup kesempatan” itu demi ketenangan Anda sendiri.

Jangan lupa cek identitas pengemudi dan plat nomor kendaraan. Jika berbeda dengan yang tertera di aplikasi, maka “kesempatan” itu sudah terbuka lebar sejak awal. Batalkan saja pesanannya.

Kemudian pilih posisi yang lebih strategis di belakang sopir, yang akan menyulitkan ia menjangkau Anda secara fisik jika ia berniat buruk. Lalu lakukan ritual itu. Telepon seseorang, atau pura-pura menelepon jika perlu. Tunjukkan bahwa perjalanan Anda dipantau.

​Kini setiap kali saya mendengar ritual pintu tertutup, saya tidak lagi merasa terusik. Saya justru merasa malu sebagai bagian dari kaum laki-laki yang membuat dunia ini begitu tidak ramah bagi perempuan. Malu karena mereka harus melakukan upaya ekstra hanya untuk mendapatkan hak dasar yang saya nikmati hampir setiap saat: rasa aman.

Akhmad Yunus adalah seorang driver online yang selalu sayang istri.

About Author

Akhmad Yunus Vixroni