‘Boots’ dan Homofobia di Barak Militer
Netflix seharusnya punya nyali lebih besar dari ini. Materi promosinya hanya memberi kesan bahwa Boots adalah drama komedi remaja: anak-anak muda yang iseng mendaftar menjadi tentara. Lima menit memasuki episode pertamanya, saya langsung sadar bahwa ini jauh lebih spesifik—dan jauh lebih berisiko. Boots adalah cerita tentang seorang remaja gay yang iseng bergabung menjadi tentara. Tambahan satu kata itu saja mengubah seluruh lanskap narasinya.
Cameron Cope (Miles Heizer) tahu betul bahwa ia pecundang. Kepala yang didorong masuk ke kloset oleh teman-temannya saat hari wisuda adalah bukti sehari-hari. Satu-satunya orang yang ia punya hanyalah Ray (Liam Oh), teman dekatnya, sekaligus satu-satunya orang yang tahu bahwa Cameron gay. Maka ketika Ray mengajaknya bergabung ke dunia militer, Cameron langsung menolak. Di tahun 1990—setting Boots—menjadi gay di lingkungan militer bukan sekadar tabu; itu ilegal.
Baca juga: Aura Farming ‘And Just Like That’ yang Gagal Menyamai ‘Sex and the City’
Ray meyakinkannya bahwa tak ada yang akan tahu. Dan benar saja: delapan episode Boots adalah bukti bahwa hampir semua orang di bootcamp itu tak punya gaydar sama sekali. Cameron sendiri tak punya tujuan hidup yang jelas, sementara Ray butuh partner untuk bertahan hidup di kamp. Tanpa pikir panjang, Cameron mengangguk. Ia tak tahu bahwa keputusan impulsif itu akan menjadi medan pembuktian terbesar dalam hidupnya.
Dunia mungkin sudah lebih progresif hari ini, tapi Indonesia tetap tertinggal. Orientasi seksual masih menjadi isu sensitif—cukup buka kolom komentar di media sosial setiap kali ada kasus yang melibatkan komunitas LGBTQIA+.
Di titik itulah Boots menemukan bobot emosinya: meskipun berjarak tiga dekade dari hari ini, pengalaman Cameron tetap relevan bagi banyak orang queer di Indonesia.
Diadaptasi dari memoar Greg Cope White bertajuk The Pink Marine, Boots pada dasarnya adalah kisah coming-of-age Cameron. Namun serial ini juga membuka panggung bagi sekumpulan karakter lain: Sterling Hicks (Angus O’Brien) yang eksentrik; Eduardo Ochoa (Johnathan Nieves) yang tak berhenti membicarakan istrinya; si kembar John (Blake Burt) dan Cody Bowman (Brandon Tyler Moore); Santos Santos (Rico Paris) yang ambisius; dan Nicholas Slovacek (Kieron Moore) yang susah diajak bercanda.
Karakter-karakter ini dipakai untuk memperkuat tesis Boots: bahwa semua orang di dalam sistem ini—bukan cuma queer—adalah korban patriarki. Sejak Cameron melangkah ke bootcamp, ia (dan kita) langsung dihadapkan pada otoritas yang memajang maskulinitas berlebihan seperti papan reklame.
Sayangnya, Boots kurang luwes memberi ruang dramatik yang proporsional untuk tokoh-tokoh pendukungnya. John dan Cody, misalnya, diberi latar belakang yang cukup detail—ayah yang keras, lingkungan yang represif—namun salah satu dari mereka justru dihempas keluar cerita begitu saja. Ada pula karakter lain yang mati di tengah musim setelah mimpi buruknya menjadi kenyataan. Namun kematian itu tak menyisakan resonansi apa pun, seolah-olah dunia bootcamp memang mewajibkan para pesertanya untuk mati rasa. Jika itu memang poin yang ingin ditegaskan, Boots tidak menggarapnya dengan cukup tebal.
Baca juga: ‘Hacks’ Musim 4: Komedi Tajam, Drama Lebih Gila
Selain Cameron, sosok lain yang mendapat panggung luas adalah Sersan Liam Robert Sullivan (Max Parker). Ia datang menggantikan mentor sebelumnya yang tersingkir karena tindakan rasis yang terlalu brutal—bahkan di tahun 1990 pun ada batas untuk itu. Sullivan berbeda: lebih tenang, lebih manusiawi, dan perhatian terhadap Cameron. Namun perlahan sisi gelapnya muncul ketika kehidupan pribadinya mulai mengacaukan pekerjaannya. Tak sulit menebak arahnya. Bahkan tanpa menonton tiga episode terakhir, penonton bisa menyimpulkan bahwa Sullivan—seperti Cameron—adalah gay yang terpaksa hidup di balik topeng maskulinitas.
Berbeda dengan Cameron yang masih mencari jati diri, Sullivan mendapatkan flashback lebih dewasa, termasuk potongan kisah cintanya. Di sinilah Boots menunjukkan urgensinya: dalam dunia yang memidanakan orientasi seksual, Sullivan bukan hanya harus menyembunyikan siapa dirinya, tapi juga rela “mengorbankan” kekasihnya demi menghindari kecurigaan. Pengkhianatan ini menyesakkan, sekaligus menjadi salah satu elemen terkuat dalam menggambarkan kerasnya militer Amerika pada masa itu.
Namun di balik itu semua, Boots menyisakan satu kegelisahan besar: posisinya yang ambigu terhadap militer. Menggunakan lanskap komedi membuat serial ini terasa ringan—delapan episodenya bisa habis dalam sekali duduk—tapi humor ini juga memiliki efek memutihkan. Otoritas yang semena-mena terasa lebih lucu daripada berbahaya. Tidak ada ruang yang benar-benar membahas akuntabilitas mereka; seolah-olah kita diajak memaafkan semuanya karena “sistem” lah yang membentuk mereka demikian.
Di sisi lain, bootcamp digambarkan sebagai sesuatu yang seru. Cameron yang awalnya hanya menemani teman, justru mendapat validasi besar saat berhasil melewati siksaan demi siksaan. Sebagian penonton mungkin melihat ini sebagai perjalanan emosional yang mengharukan. Yang lain—termasuk saya—akan merasa bahwa Boots sesekali tergelincir menjadi propaganda militer yang dibungkus drama remaja.
Baca juga: ‘The Bear’ Musim Keempat dan Warisan Keluarga yang Tak Selesai
Para pembuatnya bisa saja berargumen bahwa mereka hanya mengadaptasi kisah tiga dekade lalu. Bahwa mereka tidak perlu menyentuh isu militer hari ini. Tapi justru di situlah masalahnya. Dengan peran Amerika yang masih agresif dalam banyak konflik dunia, Boots tak mungkin berdiri di ruang hampa.
Kalau Korea Selatan bisa membuat D.P.—yang kritis, tajam, dan tak takut menyentil institusi militernya—Boots juga seharusnya bisa mengambil sikap. Setidaknya sedikit saja lebih berani dari promonya.
















