December 10, 2025
Issues Opini Politics & Society

Yang Hilang dari Percakapan tentang Penculikan dan Ibu yang Jual Anaknya 

Kasus BR menyingkap bagaimana narasi “ibu jahat” menutupi kegagalan negara melindungi anak dan perempuan dari jaringan perdagangan manusia.

  • November 20, 2025
  • 5 min read
  • 656 Views
Yang Hilang dari Percakapan tentang Penculikan dan Ibu yang Jual Anaknya 

“Ada ibu jahat yang jual anaknya.” 

Kalimat itu meluncur begitu saja di lingkar diskusi kecil kami di sebuah kampung Sumatera Utara. Kami baru saja membahas kasus BR, balita Makassar yang diculik di taman kota, diperjualbelikan berkali-kali, lalu diselamatkan di Jambi. Pelakunya? Sri Yuliana, seorang ibu. Ia diduga pernah menjual tiga anak kandungnya sendiri, masing-masing seharga Rp100 ribu, seperti diberitakan Kumparan

Sebagai sesama ibu, frasa “ibu jahat yang jual anak” memang terdengar melegakan, seolah kita bisa menempatkan pelaku sebagai monster yang jauh. Namun jika percakapan berhenti di sana, sebenarnya tanpa disadari kita gagal melihat sesuatu yang jauh lebih menakutkan. Misalnya, situasi seperti apa yang bisa membuat ibu jatuh sedalam itu, dan pasar macam apa yang memperlakukan anak sebagai komoditas murah. 

Baca Juga: #RuangAmanAnak: Pengalaman Jadi Pendamping Korban Anak Bikin Saya Sadar Pentingnya Pendidikan Seks

Kemarahan Kita Valid tapi Jangan Menumpulkan Sensitivitas 

Di forum kecil itu, reaksi pertama adalah marah. “Kok ada ya ibu seperti itu?” 

Pertanyaan ini terasa wajar mengingat kita hidup dalam budaya yang menempatkan ibu sebagai pelindung terakhir. Di depan perempuan-perempuan yang rela jungkir balik demi anak, kabar ibu menjual anak seharga token listrik terdengar mustahil sekaligus menghina. 

Apa yang ia lakukan tetaplah kejahatan berat. Menyerahkan anak kepada orang yang tak dikenal dengan imbalan uang juga tindak kekerasan. Apalagi ketika belakangan ia menculik anak orang lain untuk kembali dimasukkan ke pasar jual-beli anak. Tidak ada istilah “pemakluman”. 

Namun sekali lagi, jika berhenti di kata “jahat”, kita hanya menyelamatkan diri dari rasa tidak nyaman. Kita tidak bertanya lebih lanjut tentang alasan struktural yang mendorong Sri Yuliana mengambil keputusan tersebut? 

Dari keterangan kepolisian dan pemberitaan media, kita tahu Sri Yuliana adalah ibu dengan banyak anak, hidup dalam kondisi serba kekurangan, suami merantau, dan pengasuhan ditanggung sendiri. Dalam dua tahun terakhir, ia diduga menyerahkan tiga balitanya kepada orang asing dengan modus “adopsi”. Ia diduga menerima total hanya tiga Rp300 ribu. 

Rasanya perih membaca angka itu. Pola ini tak baru-baru amat. Penelitian M. Taqyuddin Akbar bertajuk “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Anak Berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” (2012) mencatat, kemiskinan, terbatasnya akses dan kesempatan kerja, serta kekerasan dalam rumah tangga mendorong sebagian orang tua menjual anaknya. Dalam konteks ini, kita tahu Sri Yuliana mengalami ketiga hal tersebut. 

Saya jelas tidak membenarkan penjualan anak yang dilakukan terduga pelaku. Namun saya berusaha tak menutup mata bahwa ketika membicarakan kasus ini, perlu dilihat juga akar struktural yang memungkinkan peristiwa bisa terjadi. Yuliana bisa jadi menimbang keputusan menjual anak adalah benteng pertahanan hidupnya terakhir. 

Baca Juga: #RuangAmanAnak: Berikan ‘Safe Space’ untuk Anak-anak Queer, Bagaimana Caranya?

Sistem yang Mengubah Anak Jadi Komoditas 

Pertanyaan yang nyaris tenggelam dalam keramaian komentar warganet adalah: Kalau “ada ibu yang menjual anak”, itu berarti ada siapa saja di seberangnya? 

Pertama, ada pembeli. Sri Yuliana bisa menjual anak karena ada orang-orang yang bersedia “membeli”, entah untuk adopsi ilegal, eksploitasi kerja, atau tujuan yang lebih gelap. Kedua, ada jaringan. Kasus BR menunjukkan anak dapat berpindah tangan menyeberang provinsi lewat kombinasi pertemuan luring dan jejak digital. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berulang kali mengingatkan soal modus perdagangan anak berkedok “adopsi” yang dipromosikan melalui media sosial. 

Ketiga, ada tanggung jawab negara. Data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)–KemenPPPA melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat, antara 2020–2024 terdapat 1.265 anak Indonesia menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mayoritas adalah perempuan dan anak—kelompok yang paling rentan di dalam sistem ekonomi dan hukum yang timpang. 

Artinya, yang terjadi pada BR dan tiga anak Sri Yuliana bukan anomali. Mereka berada dalam pola besar: Negara gagal menutup celah perlindungan, pasar gelap anak berjalan, sementara pembeli dan perantara beroperasi dengan risiko rendah. 

Maka, ketika kita berkata “ada ibu yang menjual anak”, kita sedang berdiri di ujung rantai panjang berisi pembeli, perantara, platform digital, dan negara yang abai. 

Mengubah narasi juga mengubah fokus kemarahan. Dalam diskusi itu, saya mengajak ibu-ibu berhenti sejenak. “Kalau kita bilang ‘ibu jahat’, masalahnya selesai di satu orang,” kata saya.

“Besok, kalau ada kasus serupa, kita akan bilang lagi: ‘itu ibu jahat juga’. Kita tidak pernah bertanya: Siapa yang beli, siapa yang diam, dan kenapa negara membiarkan ibu-ibu jatuh sedalam ini.” 

Kalimat itu lalu kami ubah bersama. Dari “ada ibu jahat yang jual anak”, menjadi: “ada ibu yang melakukan kejahatan berat, di dalam sistem yang membiarkan ibu-ibu jatuh sedalam ini—dan menjadikan anak komoditas.” 

Perubahan kalimat tampak kecil, tetapi menggeser sorotan dari satu pelaku ke seluruh struktur yang memungkinkan seorang anak dihargai seratus ribu rupiah. 

Kita mungkin tak bisa membongkar jaringan TPPO sendirian. Namun kita bisa berhenti memakai frasa-frasa yang memutus cerita; kita bisa menguatkan jaring pengasuhan di komunitas; dan terus menagih negara agar hadir bukan hanya dalam poster dan pidato, tetapi dalam kebijakan konkret yang melindungi ibu miskin dan anak. 

Baca Juga: Jangan Tunggu Anak Mati Dulu Baru Kita Bicara Moral

Saya tidak ingin membangun narasi yang memutihkan tindakan Sri Yuliana. Ia tetap harus dimintai pertanggungjawaban. Namun membatasi kesalahan pada “ibu miskin yang jahat” membuat aktor lainnya—pembeli, jaringan perdagangan orang, dan negara yang abai—lolos dari sorotan. 

Selama kita hanya menunjuk satu ibu sebagai monster, kita lupa bercermin pada sistem yang menjadikan anak—dan tubuh perempuan—sebagai komoditas. 

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.