‘All’s Fair’: ‘Girlboss’, Glamor, dan Drama yang Kosong
(mengandung spoiler)
Di atas kertas, serial All’s Fair seperti punya semua: nama besar Ryan Murphy, deretan aktor kelas A, dan premis “firma hukum feminis” yang terasa tepat di zaman sekarang. Tapi yang terasa justru seperti menonton surat terbuka penuh kebencian untuk Murphy…yang ditulis dirinya sendiri. Karena drama terbaru ini heboh di permukaan tapi kosong di dalam. Di balik kilaunya nyaris tidak ada yang tersisa. Tidak ada tensi, tidak ada emosi, dan hampir tidak ada cerita.
Secara premis, All’s Fair sebenarnya menjanjikan. Allura (Kim Kardashian) dan Liberty (Naomi Watts) keluar dari sebuah firma hukum setelah mitra senior mereka, tentu saja laki-laki berumur, melontarkan komentar misoginis. Mereka didukung pengacara senior, Dina (Glenn Close), lalu mengajak Emerald (Niecy Nash-Betts) sebagai investigator. Bersama-sama, mereka mendirikan firma baru yang konon akan membela perempuan yang terpinggirkan.
Baca juga: ‘Beyond The Bar’: Serial Prosedural Hukum Baru Ala Korea
Keputusan itu membuat Carr (Sarah Paulson), salah satu pengacara di firma lama, merasa dikhianati. Ia memohon diajak, namun ditolak (salah satu alasannya sepele: kebiasaan mencuri makan siang). Ketika tahu Dina justru merestui Allura dan Liberty, Carr murka. “Having me as an enemy is very unwise,” katanya. Dari sana, konflik utama menggelinding sebagai perang dingin antar para girlboss yang kaya, pintar, dan sangat glamor.
Dengan rekam jejak Glee, American Horror Story, American Crime Story, Pose, sampai Monster, wajar kalau nama Ryan Murphy menimbulkan ekspektasi tinggi. Sayangnya, All’s Fair terasa seperti versi tipis dari semua itu: gaya khasnya hadir, tapi tanpa kedalaman yang membuat serial-serial sebelumnya melekat.
Empat episode pertama All’s Fair terasa seperti fever dream yang dirancang agar viral. Ciri khas Murphy hadir semua: dialog berapi-api, latar mewah, gerakan kamera yang seperti ingin pamer anggaran produksi. Namun senjata utama yang biasanya dimiliki Murphy, plot yang meyakinkan, absen kali ini.
Padahal ada ruang menarik yang bisa diisi. Di tengah tren serial “serius” yang bicara trauma dan politik, kadang kita hanya ingin drama televisi yang seru, agak berlebihan, tapi rapi, seperti The Good Wife atau How To Get Away With Murder. Saya sempat berharap All’s Fair akan jadi tontonan nyaman semacam itu: pintar, tapi tetap menghibur. Yang muncul justru serial yang sibuk bergaya, namun tidak tahu mau bercerita apa.
Struktur kasus mingguan yang dipakai All’s Fair sebenarnya mengingatkan pada The Good Wife: di luar konflik besar antarkarakter, ada perkara berbeda di tiap episode. Bedanya, The Good Wife mengajak penonton mengikuti proses—riset, strategi, tarik-ulur di pengadilan—hingga setiap kasus punya bobot emosional. All’s Fair memperlakukan kasus sebagai formalitas.
Perkara diperkenalkan sebentar, lalu selesai dalam beberapa menit tanpa rasa tegang. Sampai episode keempat, hampir tidak ada kasus yang sungguh-sungguh sampai ruang sidang. Konflik perceraian dengan harta gono-gini besar, misalnya, beres begitu saja hanya karena sang suami akan punya anak dari pacarnya. Bukan hanya tidak realistis, tapi juga menghilangkan kesempatan untuk benar-benar membahas ketidakadilan yang dialami tokoh-tokoh perempuannya.
Baca juga: Review ‘Trigger’: Saat Kegagalan Negara Dijawab dengan Moncong Senjata
Ketika gaya mengalahkan cerita
Sejak awal, All’s Fair tampak lebih tertarik pada citra daripada isi. Semua orang di dalamnya terlihat seperti baru turun dari karpet merah. Jas kerja biasa terasa terlalu sederhana; yang hadir adalah gaun, coat, dan aksesori yang tampak lebih siap difoto ketimbang bekerja. Saya mengerti, pengacara sering dipotret sebagai profesi yang “kelihatan sukses”, tetapi di sini penampilan seolah menjadi inti karakter, bukan pelengkap.
Padahal, busana bisa menjadi cara bercerita yang kuat. Musim Coven dalam American Horror Story, misalnya, memakai pakaian serba hitam dan siluet tertentu untuk menggambarkan kekuasaan, usia, dan dinamika antarpenyihir perempuan. Di All’s Fair, pakaian, riasan, hingga tas bermerek lebih banyak berfungsi sebagai pengalih perhatian. Kita sibuk melihat apa yang mereka kenakan, bukan apa yang mereka lakukan.
Hal serupa terasa pada sinematografi dan penyuntingan. Hampir setiap adegan tampak dirancang agar enak jika dijeda dan di-screenshot. Tapi ketika disusun sebagai rangkaian, banyak keputusan visual terasa acak: pengambilan gambar dari atas saat karakter mencuci tangan tanpa alasan jelas, pergerakan kamera yang dramatis padahal percakapan biasa saja. Untuk durasi sekitar 40 menit, serial ini juga rela menghabiskan waktu lama hanya untuk memperlihatkan Allura menyetir, masuk rumah, menyapa staf, menaruh tas Hermes, mandi, lalu duduk menunggu pacarnya, Chase (Matthew Noszka), datang.
Dan kemudian ada soal akting. Terlepas dari pendapat orang tentang Kim Kardashian di dunia nyata, sebagai pusat sebuah drama hukum yang mengusung isu perempuan, penampilannya tidak cukup kuat. Dialog ia ucapkan dengan nada yang nyaris selalu sama, ekspresi wajah jarang berubah. Dalam satu adegan, ketika kliennya bunuh diri dengan terjun dari gedung, ekspresi terkejut Allura sedatar penggaris Joyko.
Ini terasa makin janggal ketika di sekeliling Kim berdiri nama-nama seperti Naomi Watts, Niecy Nash-Betts, Teyana Taylor, Sarah Paulson, sampai Glenn Close. Mereka adalah aktor yang sanggup mengangkat naskah paling liar sekalipun. Namun di All’s Fair, banyak dari mereka hanya menjadi latar belakang dari eksperimen Ryan Murphy menempatkan Kim di kursi utama.
Satu-satunya yang benar-benar tampak paham dengan nada serial ini adalah Sarah Paulson. Sebagai Carr, ia melahap dialog-dialog konyol dengan penuh kesadaran bahwa apa yang ia mainkan memang berlebihan. Setiap kali Carr muncul, All’s Fair mendadak punya energi yang berbeda: tibatiba terasa seperti satir hukum yang sengaja dibikin gila, bukan drama yang tanpa sengaja menjadi lucu.
Baca juga: ‘Hacks’ Musim 4: Komedi Tajam, Drama Lebih Gila
Sebagian penonton mungkin akan menikmati All’s Fair sebagai tontonan norak yang memang didesain seperti itu, dengan dialog cabul dan hinaan ekstrem yang jelas dimaksudkan untuk jadi bahan kutipan di media sosial: “Carr, do you think how much happier we’d all be if your mother swallowed?” sampai “See you in court, cuntburger!”. Buat saya, semua ini justru menegaskan betapa serial ini lebih sibuk mengejar efek kejut daripada membangun cerita.
Pada akhirnya, pesan pemberdayaan perempuan dan nuansa feminisme yang dijanjikan hanya muncul sebagai label. Alih-alih menggali bagaimana sistem hukum menyingkirkan korban kekerasan atau pekerja perempuan, All’s Fair berhenti di gambaran perempuan kaya dengan blazer mahal yang saling serang dengan kalimat pedas.
Selesai menonton empat episode, satu-satunya hal yang terasa “jujur” adalah kesimpulan pribadi: eksperimen menjadikan Kim Kardashian pemimpin sebuah drama hukum mungkin menjual secara marketing, tetapi tidak menyelamatkan serial ini dari kehampaan cerita.
Empat episode ditonton untuk ulasan ini. All’s Fair dapat disaksikan di Disney Hotstar+
















