Di Era AI, Akankah Kerja Penulisan Sastra Tergeser?
Perdebatan soal masa depan penulisan sastra di tengah perkembangan Akal Imitasi (AI) mengemuka dalam diskusi “Menolak Tergilas Teknologi: Berkarya di Era Kecerdasan Buatan”, (22/11). Diskusi yang digelar Pesta Literasi Magdalene dan penerbit independen Alitra di Cikini, Jakarta itu dibuka dengan satu pertanyaan besar. Ketika AI mampu menulis dengan cepat dan konsisten, apakah profesi penulis masih akan bertahan?
Konteks kekhawatiran ini sejalan dengan laporan BBC News (2024) berjudul “AI-written novels are flooding publishers”. Dalam tulisan itu disebutkan, banyak sekali naskah novel buatan AI ke penerbit arus utama di Inggris.
Fenomena serupa pernah disinggung lebih awal oleh John Patrick Pullen dalam artikelnya di Medium bertajuk“Interesting Novels Written by Artificial Intelligence” (2017). Ia menunjukkan bagaimana eksperimen novel buatan mesin—dari prosa tak berplot hingga cerita panjang yang sepenuhnya otomatis—telah dimulai sejak lama sebelum ledakan Large Language Model (Model Bahasa Besar).
Di era AI, tulis Pullen, sejumlah novel seperti 1 the Road — Ross Godwin and Kenric McDowell, World Clock — Nick Montfort, Dinner Depression — Julia Joy Raffel, hingga The Day a Computer wrote a Novel — Kimagure Artificial Intelligence Writer Project, menghiasi kancah literasi kita.
Baca Juga: Ini yang Dikritik Seniman Soal AI Generatif
AI Jadi Teman Kreatif
Dalam sesi diskusi tersebut, Martin Suryajaya, Dosen Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, menanggapi isu itu dengan sikap optimistis. Ia bilang AI adalah alat untuk memperluas pengetahuan dan memperkaya proses kreatif. Meski begitu, ia tak memungkiri pelan-pelan AI mulai menggantikan proses kita mencari pengetahuan.
Martinn sendiri merasa AI bukan ancaman, melainkan cara baru manusia meneguhkan eksistensinya. “Ada potensi (dalam AI), meski tetap banyak keterbatasan,” ujarnya.
Sebelas dua belas, perempuan penulis Feby Indirani memandang AI sebagai alat bantu awal. “AI jadi teman proses mencari ide aku untuk menulis, agar aku mendapatkan stimulus baru,” ujarnya.
Baca Juga: Polaroid AI Bahayakan Perempuan dan Normalisasi Kekerasan Digital
Feby mengaku pernah meminta AI menuliskan sebuah cerita utuh, tetapi hasilnya tidak memadai. “Waktu aku coba, ceritanya klise dan mudah ditebak,” katanya.
Ia baru merasakan peningkatan ketika mencoba layanan AI versi premium yang berbayar. “Lebih cerdas, lebih nyambung, dan ide-idenya lebih menarik,” tuturnya. Meski begitu, Feby tetap waspada terhadap bias. “Tetap harus hati-hati. AI pasti bias karena datanya bias,” katanya.
Di luar itu, Feby optimis kerja penulis manusia takkan terganti AI. “Manusia punya sesuai yang tidak dimiliki AI, yaitu rasa, atau hati,” tuturnya.
















