December 17, 2025
Environment Issues Politics & Society

7 Perusahaan Diduga Jadi Biang Keladi Bencana Ekologis di Sumatera Utara 

Bukan sekadar takdir, WALHI menduga tujuh perusahaan ini sebagai biang kerok penyebab banjir dan longsor di Sumatera Utara.

  • November 28, 2025
  • 5 min read
  • 12039 Views
7 Perusahaan Diduga Jadi Biang Keladi Bencana Ekologis di Sumatera Utara 

Banjir bandang dan longsor melanda Sumatra Utara, sebagian Aceh, dan Sumatra Barat dalam beberapa hari terakhir. Dalam sebuah video viral di media sosial, banjir memperlihatkan gelondongan kayu yang hanyut terbawa arus. Kayu-kayu itu mengikuti aliran sungai, memicu dugaan warganet tentang adanya aktivitas pembukaan hutan di hulu.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menilai gelondongan kayu tersebut sangat mungkin berasal dari sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan Batang Toru. Di antara yang disorot publik adalah PT Agincourt Resources, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, dan PT Toba Pulp Lestari (TPL). WALHI menilai pola kerusakan yang terlihat di lapangan konsisten dengan aktivitas industri yang telah lama menekan hutan Harangan Tapanuli, salah satu bentang alam tropis tersisa di provinsi tersebut.

Dari rilis WALHI yang diterima Magdalene pada (28/11), delapan kabupaten dan kota tercatat terdampak, dengan wilayah ekosistem Batang Toru—meliputi Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga—menjadi daerah dengan kerusakan paling parah. Total 51 desa di 42 kecamatan mengalami dampak mulai dari lumpuhnya aktivitas ekonomi, runtuhnya infrastruktur, hingga rusaknya rumah ibadah dan fasilitas umum.

Rianda Purba, Direktur WALHI Sumatera Utara, menegaskan kondisi bencana ekologis muncul sebagai hasil dari hilangnya fungsi hutan Harangan Tapanuli sebagai penyangga hidrologis alami. 

“Padahal ekosistem hutan Harangan Tapanuli merupakan sumber air utama, pencegah banjir dan erosi, serta jadi pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju wilayah hilir,” katanya pada Magdalene, (28/11). 

Ia menekankan kerusakan kawasan ini tidak datang tiba-tiba. Sejak dua dekade terakhir, imbuhnya, investasi industri ekstraktif, energi, dan perkebunan besar tumbuh masif di tengah hutan yang sebelumnya terjaga selama ratusan tahun. 

Baca juga: Ketika Banjir Melanda: Krisis Iklim dan Beban Ganda bagi Perempuan 

Dalam catatannya, WALHI menyebut tujuh perusahaan yang diduga memicu degradasi ekologis tersebut. Di antaranya, PT Agincourt Resources (pengelola Tambang Emas Martabe), PT North Sumatera Hydro Energy atau NSHE (PLTA Batang Toru), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk atau TPL, PT Sago Nauli Plantation, serta PTPN III Batang Toru Estate. 

Kerusakan paling tampak berasal dari operasi pertambangan dan pembangkit listrik di kawasan hulu. Tambang emas Martabe, yang dikelola PT Agincourt Resources dan sejak 2018 mayoritas sahamnya dimiliki PT Danusa Tambang Nusantara (bagian dari Astra) bersama konsorsium yang terkait dengan Garibaldi Thohir, mengubah sekitar 300 hektare tutupan hutan dan lahan di DAS Batang Toru selama 2015–2024. 

Lokasi fasilitas penampungan tailing berada sangat dekat dengan Sungai Aek Pahu yang mengaliri Desa Sumuran. Warga, menurut WALHI, sudah lama mengeluhkan air yang keruh setiap musim hujan sejak PIT Ramba Joring dibuka. 

Di sisi lain, PLTA Batang Toru yang dijalankan PT NSHE—proyek energi yang sejak awal menuai penolakan akademisi dan organisasi lingkungan karena berdiri di habitat genting orangutan Tapanuli—turut meninggalkan jejak besar. Proyek ini menebangi lebih dari 350 hektare hutan di sepanjang 13 kilometer aliran sungai. 

Selain memicu sedimentasi tinggi dari limbah galian terowongan, proyek ini juga memengaruhi fluktuasi debit air yang mengganggu kehidupan sungai. Rekaman luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora yang menunjukkan gelondongan kayu dalam jumlah besar diduga kuat berasal dari lokasi pembangunan infrastruktur PLTA. 

Perusahaan besar lain yang berperan dalam perubahan lanskap adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL), bagian dari jaringan usaha Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto. TPL sejak lama mengubah ratusan hingga ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru menjadi Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang ditanami eukaliptus, terutama di Kecamatan Sipirok. 

Ekspansi PKR tidak hanya memangkas hutan alam, tetapi juga mengganggu sumber air masyarakat serta memotong jalur pergerakan satwa. Perusahaan ini juga memiliki sejarah panjang konflik dengan masyarakat adat terkait pengambilalihan lahan dan hutan adat. 

Aktivitas energi lain seperti PLTMH Pahae Julu serta geothermal yang dikelola PT SOL Geothermal Indonesia turut mengubah struktur ekologis kawasan hulu, sementara perluasan kebun sawit oleh PT Sago Nauli Plantation serta PTPN III Batang Toru Estate memperlebar kehilangan pohon penahan lereng. Kombinasi berbagai proyek ini mengubah kawasan hutan yang sebelumnya menjadi penyangga alami banjir menjadi lahan yang rentan erosi dan limpasan permukaan. 

Baca juga: Dari Banjir ke Banjir, Kenapa Kita Masih Gagap Hadapi Bencana? 

Kerusakan yang Tidak Terlihat: Hilangnya Hutan, Koridor Satwa, dan Lahan Lindung 

Di luar aktivitas korporasi, WALHI juga menyoroti pembukaan kawasan melalui skema PHAT (Pemanfaatan Kayu Tumbuh Alami) yang dalam tiga tahun terakhir menghilangkan sekitar 1.500 hektare koridor satwa di antara Dolok Sibualbuali dan Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat. 

Skema ini sering kali dipakai sebagai celah legal untuk membuka hutan alam, mempercepat degradasi ekosistem yang sudah rapuh. Hilangnya ribuan hektare pohon di wilayah penyangga ini memutus jalur pergerakan orangutan Tapanuli serta menghilangkan fungsi penahan air di lereng-lereng curam Batang Toru. 

Rianda menyebut akar persoalan justru terletak pada perubahan fungsi kawasan hutan yang dilakukan pemerintah secara administratif. 

“Hutan di Tapanuli itu dalam kurun waktu dua dekade sudah jadi lahan investasi baik industri ekstraktif maupun pembangkit listrik. Padahal ekosistem hutan di sana itu sudah ada ratusan tahun dan itu harus dijaga. Menjaga siklus hidrologis di wilayah hulu dan hilir,” jelasnya. 

Baca juga: Di Balik Banjir Bali, Ada Kerentanan Perempuan yang Jarang Dibicarakan 

Ia menambahkan bencana yang terjadi adalah bukti kerusakan ekologis tidak lagi mungkin disembunyikan. “Alam telah membuka kebohongan pemerintah yang selama ini ditutupi,” kata Rianda. 

Melihat kerusakan yang meluas, WALHI Sumut mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat dan daerah. Pertama, penghentian seluruh aktivitas industri ekstraktif di kawasan Harangan Tapanuli. Kedua, negara perlu menindak tegas perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan, termasuk tujuh perusahaan yang telah diidentifikasi. Ketiga, pemerintah wajib memastikan kebutuhan dasar masyarakat korban bencana terpenuhi secara layak. 

“Kami tidak ingin bencana ini berulang. Negara harus bertindak dan menghukum para pelanggar,” tutup Rianda. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).