December 23, 2025
Issues Lifestyle Opini Politics & Society

‘Tumblergate’: Ternyata Menulis di Medsos Ada Seninya

Satu utas soal tumbler hilang di gerbong KRL mengajari kita tentang seni menulis, menahan diri, dan mengelola emosi di ruang publik.

  • November 28, 2025
  • 3 min read
  • 794 Views
‘Tumblergate’: Ternyata Menulis di Medsos Ada Seninya

Sebagai mentor, salah satu praktik yang selalu saya tekankan saat membimbing mahasiswa menulis esai beasiswa adalah “menidurkan” tulisan. Sebab, memberi jarak sebelum membaca ulang hasil tulisan, bikin penulis bisa melihat hal-hal yang masih bisa diperbaiki.

Tidak ada tulisan yang sempurna. Sebelum menekan tombol kirim, penulis harus merasa puas dengan apa yang sudah dituangkan. Proses ini penting, terutama untuk esai yang dibuat berbulan-bulan dengan banyak perasaan dan gagasan. Tentu ini berbeda dengan menulis soal botol minuman.

Polemik tumbler yang viral di media sosial sendiri memang bisa dilihat dari banyak sisi: Serius, setengah serius, atau sekadar hiburan. Namun ada hal yang kerap luput dari diskursus kita soal tumbler, yakni sisi menulis dan menahan diri. Satu kalimat sederhana, misalnya “Tumbler Tuku-ku gone atas ke-tidak tanggung jawab petugas KAI”, bisa memicu penghakiman publik sebelum fakta terang benderang.

Apalagi ditambah rentetan kronologi yang ditulis tanpa kontrol emosi, tulisan pemilik tumbler Tuku itu justru berbalik jadi senjata makan tuan. Kalau narasi itu disusun sebagai wujud berbagi pengalaman alih-alih tuduhan, kerusakan reputasi dan amukan massa bisa diminimalkan. Kalau kalimat “Tumbler Tuku-ku gone atas ke-tidak tanggung jawab petugas KAI” diralat, kemungkinan besar warganet takkan buru-buru merujak massal.

Baca Juga: 4 Cara Gunakan Media Sosial Secara Lebih Bijak

Pelajaran Menulis dan Menahan Diri

Kalau masih ada yang berpikir media sosial netral dan aman seperti teman, itu pandangan yang berbahaya. Pasalnya kita tahu, semua bentuk informasi yang dibagikan, baik tulisan atau gambar, pendek atau panjang, jadi jejak digital yang tak bisa dihapus begitu saja.

Satu hal yang kita pelajari, enggak semua persoalan dalam hidup perlu dibagikan ke media sosial. Entah polemik rumah tangga, perselisihan teman, gosip di dunia kerja, atau hal yang bisa diterjemahkan berbeda. Sama seperti tips menulis esai beasiswa, sebaiknya ditidurkan dulu, disimpan dulu semua cuap-cuap di media sosialmu untuk diri sendiri.

Pengguna media sosial harus paham platform itu seperti The Wild Wild West – dunia ganas yang dikuasai mereka yang paling lantang, piawai bikin konten, lucu, atau konyol.

Isu apa pun yang tersebar di media sosial juga dipengaruhi narasi antara yang kuat dan lemah, baik dan buruk, musuh dan teman. Kemenangan di ranah digital biasanya diraih mereka yang bisa menarik perhatian dan simpati massa. Massa sering berpihak ke yang “lemah”, meski kelemahan itu tergantung narasi dan impresi dari cara penulis menuangkan isi hati dan opini.

Di sinilah pentingnya menahan diri, mengolah emosi, dan mengatur cara menyampaikan isi hati lewat tulisan. Khususnya tulisan khusus di media sosial, yang interpretasinya sudah barang tentu di luar kendali penulis. Ibarat melempar umpan ke lautan predator, tanpa pikir panjang mereka siap berebut untuk mencicipi.

Sama halnya seperti tumblergate, yang sudah terbukti jadi bahan empuk konten kreator untuk clickbait, mengerek impresi atau subscription, dan tidak segan memanfaatkan momen.

Saya yakin penulis utas tumbler tak pernah menyangka hal receh yang dibagikannya bisa berujung petaka. Kegaduhan, hilangnya mata pencaharian, penghakiman massa membabi buta, dan sanksi sosial yang harus ditanggung pasti bikin pundak penulis tumbler kian berat. Sampai rasa-rasanya kalau bisa memutar waktu, penulis pasti berpikir berkali-kali sebelum meluapkan emosi.

Baca Juga: Curhat di Media Sosial: Positif atau Negatif?

Seperti yang saya bilang ke mahasiswa yang sudah kirim tulisan, “let it go,” tulisan sudah tak di tanganmu lagi. Tak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki apa yang sudah dituangkan. Ambil pengalaman ini untuk evaluasi, supaya ke depan bisa menulis lebih bijak.

Teruntuk penulis tautan yang sekarang pasti sedih hati, tahan diri, dan semoga ke depan lebih bijak dalam mengolah suasana hati.

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.