December 17, 2025
Environment Issues Politics & Society

Di Balik Tarik Ulur Negara Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera 

Pemerintah pusat masih enggan menaikkan status bencana Sumatera menjadi darurat bencana nasional. Apa alasannya?

  • December 2, 2025
  • 4 min read
  • 4973 Views
Di Balik Tarik Ulur Negara Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera 

Beberapa hari setelah banjir dan longsor menggulung tiga provinsi di Sumatera, pemerintah pusat masih belum menaikkan status bencana tersebut menjadi bencana nasional. Melansir Tirto, Presiden Prabowo Subianto menilai langkah-langkah penanganan yang sudah dilakukan saat ini dirasa cukup. 

“Kita monitor terus. Saya kira kondisi yang sekarang ini sudah cukup,” ujar Prabowo ketika meninjau lokasi terdampak di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, (1/12). 

Namun pernyataan itu tak meredam gelombang desakan dari berbagai pihak yang meminta pemerintah segera menetapkan status darurat bencana nasional. Koalisi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Sumatera—terdiri dari LBH Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, hingga Bandar Lampung—menilai memburuknya situasi, mulai dari melonjaknya korban jiwa, banyaknya warga hilang, hingga terisolasinya kabupaten dan kota di tiga provinsi, adalah indikator jelas bahwa kapasitas daerah sudah jauh terlampaui. 

Dalam rilisnya yang dikirim ke Magdalene, mereka mendesak Presiden segera menyatakan status darurat bencana nasional dan menerapkan moratorium konsesi di kawasan hutan sebagai langkah mendesak berikutnya. 

Desakan serupa juga datang dari para bupati di Aceh. Tiga kepala daerah, yakni Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya, secara resmi menyampaikan ketidaksanggupan mereka menangani bencana berskala besar ini. Surat permohonan bantuan telah dikirimkan ke Pemerintah Provinsi Aceh, yang sekaligus menegaskan bahwa krisis yang terjadi berada jauh di luar kapasitas penanganan pemerintah kabupaten. 

Nada yang sama disampaikan Andi Muttaqien, Executive Director Satya Bumi. Ia melihat eskalasi korban dan daerah yang masih terisolasi, pemerintah pusat seharusnya mengambil alih dan menetapkan status darurat bencana nasional. Namun, menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa hal itu belum terjadi. Salah satunya adalah anggaran penanggulangan bencana yang minim. 

Baca juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir Sumatera

Anggaran Penanggulangan Bencana yang Minim 

Andi menjelaskan keterbatasan anggaran menjadi salah satu penyebab pemerintah tak sigap menetapkan status darurat bencana nasional. Baginya, ini adalah konsekuensi dari alokasi anggaran negara yang terlalu berat pada sejumlah program lain. 

“Ini konsekuensi ketika anggaran-anggaran yang dipunya negara tidak difokuskan ke penanganan bencana. Budget negaranya enggak ada,” kata Andi kepada Magdalene, (1/2). 

Situasi ini diperparah dengan pemangkasan anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2025. Kepala BNPB Suharyanto menyampaikan anggaran lembaganya merosot Rp470,9 miliar dari alokasi awal, sehingga hanya tersisa Rp956,67 miliar. Dari jumlah itu, Rp249,57 miliar digunakan untuk program dukungan manajemen, sehingga program ketahanan bencana hanya memperoleh Rp707,1 miliar. 

Sementara itu, Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), juga menilai negara kehilangan kemampuan merespons bencana karena anggaran habis untuk program-program populis

“Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah keterbatasan anggaran. Pelajaran bagi tahun 2026, anggaran MBG (Makan Bergizi Gratis) sebesar Rp335 triliun harus dipangkas dan dikembalikan ke pos belanja yang terkena efisiensi, termasuk dana tanggap bencana hingga dana transfer daerah,” kata Bhima (1/12). 

Baca juga: ‘Update’ Banjir Sumut: Warga Bantu Warga Saat Negara Tak Ada

Berbahaya untuk Citra Negara, Alasan Lain 

Selain alasan anggaran, isu citra negara juga muncul sebagai faktor penting dalam tarik-ulur penetapan status bencana nasional. Dalam Konferensi Pers LBH–YLBHI se-Sumatra (30/11), Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas (Bowo) menyampaikan penetapan status darurat bencana nasional dapat memengaruhi cara komunitas internasional menilai kemampuan Indonesia dalam menangani bencana. Negara, katanya, mungkin enggan memberi sinyal kelemahan. 

Melansir Daswati.id, Bowo bilang, penetapan status darurat bencana nasional membuka ruang bagi negara lain untuk mengamati kapasitas penanganan bencana dalam negeri, dan ini dapat berdampak pada citra Indonesia. 

Pandangan ini pernah diungkapkan Sutopo Purwo Nugroho ketika menjabat Kepala BNPB pada 2018. Saat merespons gempa Lombok, ia menuturkan, negara-negara di dunia jarang menetapkan status bencana nasional karena hal itu menunjukkan kelemahan di hadapan komunitas global. 

“Tidak banyak negara di dunia ini, jarang di dunia ketika negara terkena bencana yang akhirnya mau menetapkan status bencana nasional karena itu menunjukan kelemahan dari negara tersebut,” ujar Sutopo kala itu. 

Baca juga: 7 Perusahaan Diduga Jadi Biang Keladi Bencana Ekologis di Sumatera Utara 

Temuan riset Evaluating Indonesia’s Disaster Diplomacy Practices under the Jokowi Administration in 2018 (2021) juga menguatkan hal ini. Penelitian tersebut menunjukkan  pemerintah kerap menggunakan penanganan bencana sebagai arena membangun citra kemandirian bangsa. Namun pilihan untuk menunda penetapan status darurat bencana nasional atau bersikap selektif terhadap bantuan luar negeri justru berdampak buruk pada efektivitas penanganan bencana di lapangan. 

Pada akhirnya, tarik-ulur penetapan status darurat bencana nasional untuk banjir dan longsor di Sumatera memperlihatkan betapa keputusan penanganan bencana sering berada di persimpangan antara keterbatasan anggaran, kalkulasi politik, dan kehati-hatian menjaga citra negara. Sementara warga yang terdampak terus menunggu langkah cepat yang bisa menyelamatkan nyawa. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).