Pinjol dan KBGO: Kombo Persoalan yang Rugikan Perempuan Berkali-kali Lipat
*Peringatan pemicu: Kekerasan berbasis gender online.
R. Isnar, 24, pendamping hukum di lembaga bantuan di Jakarta, sudah bertahun-tahun menangani kasus kekerasan berbasis gender. Namun, akhir 2025 menjadi kali pertama ia berhadapan dengan kasus yang mempertemukan pinjaman online (pinjol) sekaligus kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Korban yang ia dampingi, mengajukan pinjaman dengan data pribadinya, termasuk Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena diminta pasangan. Ia dijanjikan pernikahan oleh pasangannya.
“Pasangannya ini bilang, ‘kan kita akan nikah, masa kamu enggak mau berbuat untuk aku?’ Jadi semacam dimanipulasi gitu lah,” kata Isnar.
Saat kasus ini sampai ke lembaga tempat Isnar bekerja, korban sudah menanggung utang ratusan juta rupiah dari puluhan aplikasi pinjol. Tekanan itu membuatnya kehilangan pekerjaan karena tidak lagi mampu mengatasi beban mental dari penagihan yang terus datang.
“Sekarang dia udah enggak kerja, dan ini jadi masalah baru karena sekarang dia kelimpungan cari uang untuk bayar pinjamannya,” imbuh Isnar.
Dia menyebut kasus itu sebagai KBGO dalam konteks pinjol. Data pribadi memang dipakai atas persetujuan korban, tetapi keputusan itu dibuat dalam tekanan dan relasi kuasa yang timpang, disertai dugaan kekerasan seksual.
“Meski dia pinjam pakai nama sendiri, tapi dia pinjam ini di bawah tekanan. Relasi kuasanya juga udah timpang. Ditambah dia memang sudah terjerat dalam pemaksaan dan dugaan kekerasan seksual sejak awal,” ujarnya.
Baca juga: Pendamping KBGO Bekerja di Ruang Bising tapi Nyaris Tanpa Dukungan
Kasus KBGO dalam pinjol juga dialami “Azizah”, 36 dan “Dahlia”, 32 (bukan nama sebenarnya). Kontak Azizah dicatut tetangganya sebagai nomor darurat pinjol tanpa izin. Imbasnya, ponsel Azizah dibanjiri telepon bernada ancaman.
Bahkan menurut pengakuan Azizah, ia bukan satu-satunya tetangga yang nomornya dicatut oleh orang sebagai kontak darurat. Teman yang tinggal tak jauh dari rumahnya juga diteror oleh debt collector yang menagih utang kepada pelaku.
Lain dengan Azizah, situasi Dahlia lebih kompleks. Suami memakai data pribadinya untuk meminjam uang dalam jumlah besar tanpa sepengetahuannya.
“Aku enggak pernah berutang segitu banyak. Hidup lagi enak-enaknya, tiba-tiba keseret ke masalah yang sebegitunya,” katanya pada Magdalene (5/12).
Ancaman dari penagih terus datang hingga mengganggu aktivitas harian Dahlia. “Aku jadi ikut stres juga sehari-hari. Enggak tenang,” tambahnya.
Ketidakjujuran suami bikin Dahlia akhirnya memilih bercerai. Bahkan ia pindah dari rumah yang dibelikan orang tuanya karena takut menghadapi teror. Betul saja bahkan setelah bercerai dan eks suami menikah dengan perempuan lain, debt collector sesekali masih mengontaknya untuk menagih utang.
“Saya sudah tidak sanggup lagi gitu. Soalnya, saya juga jadi ikut nutupin utang-utang ini. Apalagi dia enggak pernah jujur dari awal soal pinjamannya. Jadi lebih baik pisah,” tuturnya.
Situasi yang Dahlia alami—pencatutan data pribadi, ancaman penagih, dan tekanan ekonomi—jadi pola yang berulang dalam kasus KBGO terkait pinjol yang menimpa banyak perempuan.
Fenomena ini tercermin dalam data perceraian di berbagai daerah. Pinjol dan judi daring menjadi penyebab utama perselisihan rumah tangga dalam dua tahun terakhir. Di Surabaya, perkara perceraian sepanjang 2025 banyak dipicu dua masalah tersebut, menurut laporan RRI (7/10). Di Depok, 1.133 kasus perceraian pada semester pertama 2024 melonjak drastis akibat pinjol dan judol, tulis Okezone (30/6/2024). Sementara di Semarang, lebih dari seribu istri menggugat suami karena persoalan keuangan yang berawal dari pinjol, lapor Kompas (13/8).
Rangkaian temuan ini menunjukkan pinjol yang terutama disertai KBGO—mulai dari pencatutan data hingga ancaman digital—tidak hanya menjerat perempuan sebagai korban, tetapi juga ikut mendorong meningkatnya perceraian.
Baca juga: Darurat KBGO: Perempuan Jadi Korban Berulang, Pelaku Masih Bebas
KBGO dalam Pinjol
Menurut Siti Aminah Tardi (Amik), Direktur Indonesian Legal Resource Center (ILRC), kekerasan dalam pinjol dapat dikategorikan sebagai KBGO saat dua hal terjadi bersamaan: Ada relasi kuasa yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, serta pelibatan teknologi, termasuk aplikasi pinjol. Tekanan dapat berlangsung sejak tahap pengajuan, penagihan, hingga gagal bayar.
Kasus yang ditangani Isnar memperlihatkan tekanan sejak awal pinjaman. Sementara kasus Azizah dan Dahlia menunjukkan bagaimana data pribadi digunakan tanpa izin dan berujung pada intimidasi berulang dari penagih.
“Pada tahap ini KBG bisa terjadi misalkan perempuan, karena posisi subordinatnya, dipaksa atau dimanipulasi atau disalahgunakan datanya untuk kebutuhan pinjol oleh seseorang yang memiliki kuasa atasnya,” ujar Amik pada Magdalene.
Riset Women, Risks and Consumer Protection in Online Lending Platforms in Indonesia (2022) oleh peneliti Kriminologi Universitas Indonesia, menemukan alasan utama perempuan mengakses pinjol. Umumnya itu berkaitan dengan kebutuhan keluarga dan situasi ekonomi yang mendesak. Kemudahan pencairan dana menjadikan pinjol solusi cepat, meski risiko kekerasan digital mengintai di belakangnya.
Intimidasi lewat pesan teks, telepon, doxing, hingga penyalahgunaan data pribadi adalah pola yang berulang. Dalam beberapa kasus, penagih utang melecehkan perempuan secara verbal atau memberi label merendahkan seperti “Perempuan Open BO” pada kontak peminjam sebagai bentuk tekanan.
Pada kasus lain, ancaman meningkat menjadi penyebaran foto vulgar hasil rekayasa (deepfake). “Pada tahap penagihan, perempuan sering mendapatkan ancaman terkait dengan tubuh dan seksualitasnya. Misalkan ancaman penyebaran foto termasuk foto deepfake ke kontak-kontaknya. Atau bahkan perempuan dijadikan pemenuhan pembayaran jika suami tidak mampu membayar,” ujar Amik.
Terduga pengutang yang mencatut Azizah sebagai kontak darurat, bahkan pernah dimaki kasar di laman Facebook pribadinya.
Lapisan tekanan ini memperlihatkan bagaimana pinjol bekerja dalam struktur sosial yang sudah tidak seimbang sejak awal. Hal ini bikin perempuan semakin rentan pada kekerasan berulang.
Baca juga: KBGO pada Jurnalis Tajam ke Perempuan dan Gender Minoritas: Tips Jaga Diri karena Sistem Jelek
Lubang Besar di Regulasi dan Aparat yang Gagal Memahami
Ally Anzi, penulis Meramu Awatuku, melihat celah besar dalam pengaturan perlindungan data pribadi. Meski Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah disahkan pada 2022, aturan tersebut tidak mampu menjangkau pinjol ilegal yang tidak terdaftar di OJK.
“Aku masih melihat banyak kekosongan dari regulasi-regulasi untuk melindungi data pribadi, apalagi kalau menyangkut pinjaman ilegal,” kata Ally pada Magdalene.
Riset Analysis of Consumer Rights Protection Against the Misuse of Personal Data in Fintech Services (2025) mendukung temuan ini. Di sana dijelaskan, penyalahgunaan data pribadi masih menjadi ancaman besar, terutama pada layanan ilegal.
Lebih lanjut, penegakan hukum dan minimnya literasi Aparat Penegak Hukum (APH) juga menambah kesulitan. APH, kata Ally, masih sering bingung menentukan landasan hukum untuk mengusut kasus KBGO di pinjol. Isnar bilang, korban yang ia dampingi juga akhirnya memilih jalur non-litigasi.
“Kita coba non-litigasi dulu (membuat somasi) supaya lebih kuat juga secara hukum. Masalah di sini terlalu berlapis, jadi kita berstrategi dulu aja. Khawatirnya kalau maju, APH-nya banyak enggak paham,” kata Isnar.
Riset Women, Risks and Consumer Protection in Online Lending Platforms in Indonesia (2022) menemukan hanya sebagian kecil perempuan memilih untuk melapor secara resmi. Mayoritas memilih diam atau hanya bercerita kepada keluarga dan teman dekat.
Amik menilai aparat penegak hukum perlu berbenah agar mampu menangani kasus-kasus yang memadukan kekerasan gender, penyalahgunaan data, dan teknologi. Ia juga menyebut pentingnya literasi digital yang sistematis dan dapat diakses perempuan.
“Pada akhirnya APH memang harus berbenah dan Komdigi wajib membangun literasi digital terkait pinjol, terutama yang berkaitan dengan KBG. Langkah soal bagaimana pengaduan, perlindungan, dan penanganannya ini harus dipahami perempuan,” tutup Amik.
















