December 12, 2025
Issues

Makan Bergizi Gratis Harus Dekat ke Anak, Bukan ke Gudang Logistik

Mengalihkan Makan Bergizi Gratis dari proyek logistik raksasa ke keluarga bisa membuka jalan bagi gizi anak yang lebih terjaga dan ekonomi lokal yang lebih hidup.

  • December 12, 2025
  • 5 min read
  • 303 Views
Makan Bergizi Gratis Harus Dekat ke Anak, Bukan ke Gudang Logistik

Gagasan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengubah skema Makan Bergizi Gratis (MBG) dari model logistik terpusat menjadi transfer langsung kepada orang tua adalah momentum penting untuk menata ulang tata kelola bantuan sosial di Indonesia. Ini bukan sekadar urusan “cara membagi makanan”, tetapi menyentuh pertanyaan yang lebih mendasar: seberapa serius negara ingin membangun manusia, menguatkan ekonomi lokal, dan memberdayakan keluarga—terutama perempuan.

Selama ini, MBG dijalankan lewat pola pengadaan pangan skala besar atau Single Purchasing Provision Group (SPPG). Logikanya sederhana: membeli dalam jumlah besar agar harga murah. Namun pengalaman di lapangan menunjukkan biaya sosialnya sangat mahal. Kita berkali-kali mendengar kasus keracunan massal, makanan basi, berulat, rusak sebelum sampai ke anak, serta proses distribusi yang panjang dan rawan penyimpangan.

Di banyak daerah, makanan tiba jauh dari standar higienis. Rantai logistik membentang panjang: dari produsen, pengemas, transportasi, gudang regional, subkontraktor, hingga titik distribusi akhir di sekolah atau posyandu. Semakin panjang rantai, semakin besar risiko kontaminasi, sampah makanan, keterlambatan, dan hilangnya kualitas gizi. Ketika makanan rusak, bukan hanya uang publik yang terbuang, tetapi kesehatan dan kepercayaan anak yang dikorbankan.

Usulan transfer langsung kepada orang tua membuka peluang perbaikan besar: MBG dikelola secara desentralistik, berbasis komunitas, melibatkan UMKM pangan lokal, PKK, koperasi sekolah, dan pemerintah desa sebagai simpul utama penyedia makanan bergizi.

Desentralisasi di sini bukan sekadar “memindahkan urusan dari pusat ke daerah”, tetapi mengubah cara pandang. Selama ini, program pangan sosial kerap diperlakukan sebagai proyek pengadaan barang, bukan bagian dari layanan pendidikan dan pembangunan manusia.

Baca juga: Surat Terbuka untuk Pemerintah dari Saya Seorang Ahli Gizi

Keuntungan desentralisasi MBG

Setidaknya ada lima keuntungan utama ketika manajemen MBG didesentralisasi.

Pertama, kualitas makanan lebih terjaga karena rantai distribusi pendek. Jika makanan disiapkan oleh penyedia lokal—warung, UMKM kuliner, dapur komunitas, atau koperasi sekolah—jarak antara dapur dan piring anak menjadi sangat dekat. Risiko keracunan menurun, kandungan gizi lebih terjaga, dan menu bisa disesuaikan dengan selera serta kebiasaan makan setempat. Pemerintah pusat berperan mengawasi mutu dan standar, bukan menjadi “gudang raksasa”.

Kedua, ekonomi lokal ikut bergerak. Desa dan kelurahan bisa menghidupkan dapur komunitas, bekerja sama dengan petani, nelayan, dan peternak di sekitarnya. Uang publik berputar di ekonomi lokal, bukan tersedot ke segelintir perusahaan besar penyedia paket logistik. Ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, UU Desa, dan agenda penguatan ekonomi keluarga.

Ketiga, lebih peka terhadap keragaman budaya dan pangan Indonesia. Di negara yang terdiri dari ribuan pulau dan ratusan kelompok etnis, kebiasaan makan sangat beragam. Pola terpusat cenderung menghasilkan menu seragam yang tidak selalu cocok. Dalam model desentralistik, orang tua dan penyedia lokal bisa memasukkan ikan di pesisir, sayuran pegunungan, sagu di Papua, atau kacang-kacangan di NTT. Gizi yang baik justru lebih mudah tercapai ketika menu dekat dengan budaya anak.

Keempat, akuntabilitas lebih kuat karena warga menjadi pengawas langsung. Ketika dana MBG dikirim ke dompet keluarga atau dikelola di tingkat komunitas, pengawasan sosial menjadi lebih hidup. Kelompok ibu-ibu, PKK, karang taruna, dan sekolah dapat menjadi mata dan telinga publik. Model social accountability seperti ini sering kali lebih efektif daripada audit administratif yang kaku dan terlambat. Orang tua punya insentif langsung: memastikan anak makan enak, bergizi, dan aman.

Kelima, MBG berubah dari bantuan karitatif menjadi instrumen pemberdayaan. Desentralisasi menjadikan keluarga dan komunitas sebagai aktor, bukan sekadar penerima. Keterlibatan warga dalam perencanaan menu, pemilihan penyedia, dan pengawasan membuka ruang bagi pembelajaran kolektif, termasuk bagi perempuan yang selama ini memikul kerja perawatan secara tak terlihat.

Baca juga: Bayang-bayang (Bisnis) Militer di Dapur MBG Kita

Desain ulang kebijakan: Desentralisasi manajemen MBG

Agar transformasi ini tidak berhenti sebagai wacana, desain kebijakan MBG perlu diubah secara sadar. Ada beberapa pilihan yang bisa dikombinasikan. Pilihan pertama adalah transfer langsung bersyarat (conditional cash transfer). Dana MBG dikirim bulanan ke orang tua dengan syarat tertentu, misalnya kehadiran di sekolah atau posyandu. Skemanya mirip Program Keluarga Harapan (PKH), tetapi dengan indikator yang fokus pada gizi dan kesehatan anak.

Kedua, voucher digital yang hanya bisa dibelanjakan untuk pangan bergizi di penyedia lokal. Pemerintah menyiapkan voucher elektronik yang tidak bisa dicairkan tunai dan hanya dapat digunakan di warung atau UMKM yang sudah bekerja sama. Sistem ini bisa dikaitkan dengan aplikasi pemantauan sederhana—bukan untuk mengawasi dapur keluarga sampai ke detil, tetapi memastikan jenis bahan pangan yang dibeli sejalan dengan standar gizi.

Ketiga, standar gizi nasional yang dieksekusi secara lokal. Pemerintah pusat menetapkan standar kalori, protein, mikronutrien, dan panduan menu dasar. Namun desa, kelurahan, atau sekolah diberi ruang untuk mengatur penyedia pangan, resep harian, serta mekanisme pemantauan. Inilah kombinasi ideal: standar tetap nasional, tapi pelaksanaan dekat dengan warga.

Keempat, pelembagaan partisipasi warga melalui Komite Gizi Komunitas. Di setiap desa atau kelurahan, bisa dibentuk komite yang terdiri dari orang tua, PKK, kader posyandu, guru, dan pemerintah desa. Komite inilah yang merumuskan menu, memilih penyedia lokal, memantau kualitas, dan mengevaluasi pelaksanaan. Di sinilah pemberdayaan rakyat dan perempuan bekerja nyata, bukan hanya disebut dalam dokumen.

Jika dijalankan sungguh-sungguh, desentralisasi MBG akan berkontribusi pada ketahanan pangan lokal, pertumbuhan UMKM, perbaikan gizi anak yang berkelanjutan, penguatan institusi komunitas, serta partisipasi warga dalam pengambilan keputusan publik. Singkatnya, ini bukan hanya solusi teknis untuk mencegah makanan busuk, melainkan fondasi pembangunan manusia.

Baca juga: Halaman yang Memberi Makan, Bukan Hutan yang Ditebang

Gagasan Menteri Purbaya perlu diapresiasi sebagai keberanian untuk mengoreksi skema yang terbukti bermasalah. Kita tidak membutuhkan proyek pangan raksasa yang memusatkan keuntungan pada sedikit perusahaan. Yang kita perlukan adalah sistem pangan berbasis masyarakat yang menghidupkan desa dan memberdayakan keluarga.

Pangan anak adalah investasi bangsa, bukan sekadar kontrak logistik. Pemberdayaan rakyat, terutama perempuan sebagai pengelola gizi di rumah, adalah prasyarat keberhasilan kebijakan sosial.

Desentralisasi MBG adalah jalan tengah yang masuk akal: lebih efisien, manusiawi, adil, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah. Sudah saatnya Makan Bergizi Gratis benar-benar menjadi milik rakyat, bukan hanya judul proyek negara.

About Author

Eva Kusuma Sundari

politisi, enthusiast Feminisme Pancasila, pendiri Institut Sarinah dan konsultan SDGs, gender and development,