December 15, 2025
Community Update Issues

5 Hal Penting di Feminist Festival 2025: Dari Akses Terbatas Hingga Penangkapan Perempuan Aktivis

Di tahun kedelapannya, Feminist Festival masih punya catatan keras buat negara yang abai pada hak perempuan dan kelompok marginal.

  • December 15, 2025
  • 5 min read
  • 91 Views
5 Hal Penting di Feminist Festival 2025: Dari Akses Terbatas Hingga Penangkapan Perempuan Aktivis

Feminist Festival 2025 bertajuk ‘Panggung Ingatan Suara Perempuan’ digelar di Gedung Oesman Effendi, Cikini, Jakarta, 6-7 Desember kemarin. Dalam forum tersebut, mereka menyuarakan berbagai ketimpangan yang terus dialami perempuan akibat kebijakan negara yang dinilai tidak berpihak pada kelompok marginal.

Beragam persoalan diangkat, mulai dari sulitnya akses layanan kesehatan bagi orang dengan HIV, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT), diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ, kriminalisasi aktivis perempuan, hingga posisi orang dengan disabilitas yang kerap dijadikan pelengkap suara saat Pemilu, tanpa benar-benar didengarkan haknya.

Aisyah, perwakilan Kelompok Kerja Demokrasi dan  Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM), juga menyoroti praktik  penangkapan sewenang-wenang, dan kriminalisasi masih kerap terjadi, terutama pada perempuan pembela lingkungan. 

Selain poin-poin di atas, berikut rangkuman catatan dari berbagai kelompok kerja perempuan dalam pertemuan Feminist Festival kemarin: 

  1. Akses Layanan Dasar Masih Diskriminatif

Raiz, Perwakilan Kelompok Kerja Akses Layanan Dasar bagi Kelompok Marginal dan Keadilan Reproduksi, mengatakan kelompok marginal masih terus menghadapi diskriminasi dalam mengakses layanan dasar seperti: kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan. 

“Padahal layanan dasar adalah janji konstitusi. Namun, dari kesaksian para saksi, akses layanan dasar bagi kelompok marginal malah berubah menjadi medan kekerasan baru. Di mana stigma, moralitas, dan diskriminasi menyatu dalam struktur pelayanan negara,” katanya. 

Ia menambahkan, dalam konteks layanan kesehatan bagi perempuan, negara telah gagal menyediakan perlindungan dari kekerasan. “Negara telah gagal menyediakan layanan dasar dan memberikan perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan,” 

Raiz menilai negara nyaris tidak pernah hadir dalam ruang-ruang ketika masyarakat membutuhkan hak-hak mereka. 

  1. Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja Informal  

Kondisi serupa dialami pekerja perempuan di sektor informal. Anna, kelompok Kerja Femisida dan Kekerasan Berbasis Gender Seksual (KBGS), menuturkan  jutaan orang yang bekerja di sektor ‘informal’ tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaring pengaman sosial. 

Dalam kasus buruh migran dan PRT terus dihadapkan pada kondisi kerentanan kekerasan fisik dan psikis, hingga berujung kematian dan femisia. 

“Gagalnya negara memberikan perlindungan membuat tingginya kasus kekerasan yang dialami PRT dan buruh migran. Kami menemukan bahwa ketidakpastian hubungan kerja jadi sumber kekerasan seksual, verbal, psikologis, hingga ekonomi. Di tengah kondisi kerja yang tidak layak, upah rendah, mereka terikat oleh kebutuhan dasar yang melambung tinggi dan harus dipenuhi. Ini yang membuat mereka akhirnya “tertunduk” pada eksploitasi. Itu kenapa pengesahan RUU PRT sangat genting,” ungkapnya. 

Anna mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025 yang mencatat dari total 145,77 juta orang yang bekerja, sebanyak 59,40 persen berada di sektor informal. Angka ini naik dibanding Agustus 2024 yang mencatat 57,95 persen.

  1. Konflik Agraria dan Perempuan

Isu konflik agraria juga menjadi sorotan. Chika, perwakilan dari Kelompok Keadilan Ekonomi menyebut perempuan kerap menjadi pihak yang paling terdampak dari konflik tanah.  Konflik itu tersebar di berbagai daerah seperti Batang, Sumatera, Kalimantan, Jawa Tengah, dll. Rata- rata konflik tanah mengakibatkan ruang hidup perempuan dirampas karena mempertahankan tanah mereka. 

“Ruang hidup perempuan dirampas ketika mereka mempertahankan tanahnya,” ujarnya. Ia mendesak DPR Komisi Agraria dan Hukum untuk berpihak pada rakyat. 

Polri, kata Chika, bersama TNI juga harus menghentikan praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM). 

Setidaknya data 2025 milik Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) menyebut ada 80 kasus yang menunjukan perempuan jadi sasaran utama dalam konflik sumber daya alam, penggusuran, dan agraria. 

Nurma, dari Kelompok Kerja Dampak Eksploitasi Alam dan Lingkungan, mengatakan kerusakan ekologi memicu tekanan psikologis berkepanjangan bagi perempuan. 

“Kekerasan fisik, intimidasi, pengusiran, teror hingga migrasi paksa terjadi pada perempuan-perempuan yang mencoba mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka. Di kasus ibu-ibu kendeng, negara lewat aparat secara gamblang membela perusak lingkungan dalam hal ini perusahaan dengan menendang, mencekik, hingga mengancam akan menculik ibu-ibu ini,” katanya. 

Aisyah, Perwakilan Kelompok Kerja Demokrasi dan PPHAM juga turut menambahkan represi ugal-ugalan terjadi pada periode Agustus-September lalu.

“Terlebih, penangkapan yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi, aturan diterabas sehingga proses hukumnya sarat akan isu unfair trial atau peradilan yang tidak adil,” katanya. 

  1. Kesaksian Kekerasan Negara Terhadap Aktivis dan Paramedis

Kesaksian kekerasan negara juga datang dari Jorgiana, seorang paramedis yang ditangkap saat aksi May Day dan penolakan Undang-Undang TNI. Meskipun hadir dalam kapasitas memberikan pertolongan medis, ia dan temannya tetap ditangkap aparat. 

Ia menceritakan kembali masa yang telah berlalu tapi masih menyisakan luka dalam baginya. “Aku inget banget di depan mataku Cho Yong Gi di seret, ditarik, digebukin, hingga diangkut ke polda,” katanya sambil menambahkan “Aku selama berbulan-bulan harus di rumah aman. Karena teror dan intimidasi saat keluar dari tahanan itu masih terus berlanjut,” tambahnya.

Setelah keluar, kata Jorgiana, kejadian tak kalah represi tak berhenti, temanya juga turut mengalami kekerasan. Temannya diangkut oleh orang tak dikenal (OTK) menanyakan massa aksi, dan aktivis. 

“Temanku di dalam mobil dipukuli hingga babak belur, berdarah-darah, si pelaku mengintrogasi kenal atau tidak sama aktivis ini, atau orang ini, gitu,” ujarnya. 

  1. Perkuat Solidaritas dan Kekuatan Perempuan

Di tengah berbagai kekerasan dan ketidakadilan, Ayu, Kelompok Kerja Akses Layanan Dasar Kelompok Marginal menekankan pentingnya solidaritas antar sesama perempuan dan organisasi. 

“Semua persoalan ini saling berkaitan. Masalah satu klaster dengan yang lain adalah masalah kita bersama,” katanya. 

Dalam hal ini, kata Ayu, pemerintah harus melakukan upaya konkrit untuk menciptakan negara yang aman, dan adil bagi perempuan dan kelompok marginal. 

“Kalau negara tidak melakukan tindakan konkrit, mari kita minta alam aja yang menghukum mereka,” tuturnya.

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.