Map lusuh yang basah, foto yang hancur, notulensi yang tak lagi terbaca, dan buku cerita lapangan yang lengket karena air. Itulah pemandangan pertama yang saya lihat setelah banjir besar. Di mata orang luar, itu mungkin hanya kertas. Bagi kami, organisasi perempuan akar rumput, itu separuh ingatan gerakan.
Banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera pada akhir November 2025 mulai surut di beberapa titik, tetapi ia meninggalkan kehilangan yang jarang dihitung: arsip. Arsip itu ada di rumah warga, di organisasi, dan di kantor pemerintahan, yang ketika hilang ikut meruntuhkan akses pada hak, layanan, dan akuntabilitas.
Dalam bencana, kita sering dipaksa memilih: apa yang diselamatkan lebih dulu ketika semuanya basah sekaligus? Bagi banyak keluarga, yang diselamatkan adalah ijazah anak, telepon genggam, atau sertifikat tanah. Bagi kami di HAPSARI adalah catatan rapat, modul, dan berkas pendampingan yang menyimpan kisah-kisah paling rapuh. Arsip itu bukan sekadar memori kerja, melainkan bukti tentang perempuan yang pernah berani bicara, tentang kasus yang pernah dicatat, dan tentang janji negara yang pernah ditagih.
Masalahnya, arsip seperti itu jarang dianggap layak dilindungi. Padahal dunia arsip dan warisan dokumenter, misalnya lewat toolkit UNESCO (2024) tentang ketahanan arsip, telah lama mengingatkan bahwa dokumen vital bisa lenyap dalam satu malam bila kita tak punya rencana pengurangan risiko bencana yang paling dasar.
Baca juga: Banjir di Sumatera Utara: Ketika ‘Apa Kabar?’ Datang Terlambat
Arsip, martabat, dan data yang tak boleh bocor
Pada 2012, banjir besar menghantam Deli Serdang, merendam kantor HAPSARI di Lubuk Pakam ketika jejak kerja kami masih banyak hidup sebagai arsip fisik: album foto, kaset rekaman, laporan cetak. Banjir datang saat kantor kosong, lebih cepat dari manusia yang sedang panik. Setelah air surut, kami menatap sesuatu yang tidak bisa dipulihkan hanya dengan dijemur, yakni dokumen, catatan kasus, modul, foto, buku, dan rekaman kerja bertahun-tahun yang hancur. Hampir separuh perjalanan gerakan perempuan akar rumput HAPSARI hilang. Bukan karena kami alpa, tapi karena air.
Dampaknya panjang. Kami dipaksa memulai dari nol, kehilangan jejak belajar, kehilangan bukti untuk menagih janji negara, dan kehilangan cerita-cerita kecil yang sebenarnya jantung gerakan. Ada lapis lain yang lebih rawan karena banyak berkas memuat pengalaman rentan. Saat banjir datang, risikonya bukan hanya rusak, tetapi bocor terbaca, tercecer, atau berpindah tangan. Bencana alam mendadak menjadi bencana privasi.
Di ruang pendampingan, privasi bukan etika abstrak. Ia soal keselamatan. Ketika dokumen penyintas kekerasan atau identitas anak terbaca oleh orang yang salah, ancamannya nyata: stigma, tekanan, bahkan kekerasan berulang. Dalam banjir, risiko itu meningkat: map basah terbuka, kertas tercecer, nama dan alamat mudah terbaca oleh orang yang tak berhak.
Di dunia kemanusiaan, kesadaran ini dirangkum dalam istilah data responsibility, bagaimana data harus dikelola aman, etis, dan tidak merugikan, atau prinsip do no harm. Pedoman lintas-lembaga seperti Inter-Agency Standing Committee (IASC, 2021) dan UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA, 2021) menegaskan bahwa urusan teknis (mengumpulkan, menyimpan, membagikan, mengamankan) menentukan apakah data melindungi atau justru menambah bahaya. Karena itu, tidak semua yang kita catat boleh ikut terendam, dan tidak semua yang kita simpan boleh ikut tersebar.
Masalahnya, organisasi akar rumput jarang punya anggaran untuk menerjemahkan prinsip itu menjadi praktik. Yang sering didanai adalah program, bukan infrastruktur ketahanan—rak tinggi, boks kedap air, penyimpanan cadangan, atau SOP darurat arsip. Padahal manual kesiapsiagaan bencana untuk arsip dari komunitas kearsipan internasional, misalnya International Council on Archives (ICA, 2024) menekankan hal-hal paling dasar, yakni rencana, tim, prioritas dokumen vital, dan prosedur pemulihan.
Baca juga: 72 Jam Tanpa Suara: Diamnya Pejabat Perburuk Penanganan Banjir Sumatera
Penyelamatan arsip sebagai bagian dari pemulihan
Banjir akhir 2025 datang dalam lanskap yang lebih brutal. Di banyak tempat, warga panik dan bergerak sendiri, sementara negara terlambat. Pengalaman 2012 membuat kami lebih waspada: dokumen dinaikkan, arsip dibungkus, perangkat diamankan.
Namun, kesiapsiagaan organisasi kecil punya batas akibat ruang yang sempit, dana minim, dan kerja darurat yang menumpuk. Organisasi masyarakat sipil yang selama ini menutup lubang yang ditinggalkan negara ikut terdampak, tetapi jarang dihitung sebagai bagian dari pemulihan.
Saya tidak sedang meminta negara mengganti semua arsip yang sudah hilang. Saya hanya ingin hal sederhana diakui: ingatan gerakan adalah infrastruktur sosial. Ia layak dilindungi seperti jembatan, sekolah, atau puskesmas. Karena tanpa ingatan, kita dipaksa mengulang dari awal.
Jika negara serius soal pemulihan, ada kewajiban yang tidak bisa di-outsourcing, yakni memastikan bencana tidak berubah menjadi kerusakan kedua. Ketika data pendampingan bocor, dokumen hilang, lalu hak warga ikut tenggelam. Tiga langkah bisa dimulai.
Pertama, dukungan praktis untuk perlindungan arsip dan keamanan data di organisasi pendampingan/komunitas: rak tinggi, kontainer kedap air, serta penyimpanan cadangan yang realistis bagi organisasi kecil. Kedua, standar minimum kerahasiaan data pendampingan saat bencana. Bukan aturan rumit, tetapi panduan yang jelas: siapa boleh mengakses, bagaimana menyimpan, dan bagaimana pemulihan dilakukan tanpa membahayakan penyintas. Ketiga, berhenti memaknai pendampingan sebagai kerja sukarela tanpa biaya, karena ketahanan organisasi akar rumput adalah syarat agar layanan kepada warga bertahan ketika bencana datang berulang.
Pada akhirnya, prioritas pertama dalam bencana tetap nyawa. Tetapi setelah fase darurat lewat, pemulihan tidak boleh berhenti pada pembagian logistik dan foto kunjungan. Pemulihan yang sungguh-sungguh juga perlu melindungi ingatan karena di setiap arsip yang basah, ada suara yang pernah berani bicara. Dan suara itu layak terus hidup.
















