December 29, 2025
Culture Opini Screen Raves

#MadgeKaleidoskop 2025: 5 Momen Musik di 2025, dari Skena HipDut sampai Festival yang Diboikot

Menonton dan mendengar dinamika industri musik kita selama 2025 bisa jadi eskapisme menyenangkan, meski ya tentu saja, ada yang bikin mengernyit dahi juga. Ini catatan menarik dari saya.

  • December 29, 2025
  • 7 min read
  • 98 Views
#MadgeKaleidoskop 2025: 5 Momen Musik di 2025, dari Skena HipDut sampai Festival yang Diboikot

Banyak yang terjadi di industri musik selama tahun 2025: kelahiran album bagus, lagu lama yang baru meledak, festival yang diboikot, hingga naiknya skena hiphop berkat lagu-lagu timur dan hipdut. 

Sejumlah peristiwa-peristiwa yang bikin senang dan kesal. Namun, secara garis besar, di tengah kondisi politik yang penuh huru-hara karena rezim selalu buat ulah, dinamika industri musik cukup menyenangkan untuk jadi pelarian sementara. 

Maka, ada baiknya saya kembali melihat apa saja yang terjadi tahun ini, entah untuk merayakan momen atau sekadar berharap hal buruk tidak terulang kembali. 

Baca juga: #MadgeKaleidoskop 2025: 5 Film Indonesia Pilihan Magdalene dan Isu Menarik yang Dibawanya

Kelahiran Album Bagus

Di bulan kedua 2025, Baskara Putra atau Hindia merilis album berisi 16 track dengan judul Doves, ’25 on Blank Canvas. Album ini jadi rumah bagi lagu viral seperti everything u are dan remake semua lagu cinta terdengar sama. Selain itu, beberapa track di dalamnya, memperlihatkan bagaimana politik bisa mengukir luka permanen di kehidupan orang-orang. 

(Kamis) dan anak itu belum pulang memperlihatkan orangtua yang kehilangan anaknya karena peristiwa politik. Sementara, harga satu pil mempertanyakan harga sila ke-3 yang katanya “hanya berlaku untuk mereka yang tak menyukai sesama”. Jangan lupakan, letdown yang video clipnya dibuat di IKN, penuh sindiran kepada “ratusan janji yang tak selesai“.

Selain Hindia, band Perunggu juga merilis album bertajuk Dalam Dinamika yang cukup fenomenal. Album ini berbicara tentang menahan beban emosional yang tentu saja melelahkan. Yang saya suka dari Perunggu, mereka tak berpura-pura tegar. 

Lelah, kecewa, hampa, sedih, semua diperdengarkan dengan musik yang mudah dicerna. Saya pernah bergurau dengan teman, mengonsumsi Perunggu rasanya aneh: seperti mendengar musik dari band Peterpan, dengan balutan lirik self-awareness dan mental health. 

Sangat menyenangkan, mengingat semua lirik sensitif ini keluar dari band yang berisi lelaki, menerobos maskulinitas semu yang terus memaksa terlihat ‘kuat’. 

Lagu Lama yang Meledak 

Ada dua cara lagu lama bisa kembali berkumandang jauh setelah tanggal rilisnya: jadi tren di TikTok atau jadi soundtrack film Sore (2025). Sebelum berbicara tentang Barasuara, saya sekali lagi akan berbicara tentang Perunggu. Lagu 33x dari band ini berhasil melenting di algoritma TikTok. 

Saya pun pertama kali mengetahuinya dari platform tersebut. Potongan lirik “kami pernah di situ / di posisimu / helakan kesahmu” jadi tren TikTok yang pertama kali mempertemukan saya dengan 33x. Isi trennya: orang-orang tampil di layar, melipsynch lirik yang dipotong, dan kalimat, “POV: ngeliat mahasiswa lagi nugas rame-rame di cafe” terpampang sebagai heading

Baca juga: #MadgeKaleidoskop: 5 Peristiwa Paling Banyak Dibicarakan di 2025 

Potongan musik dan lirik melankolik itu pun menggerakan jari saya untuk mencari lagu lengkapnya di platform streaming musik. Setelah menggali lebih dalam, lagu yang menyimpan makna religi ini ternyata adalah rilisan tiga tahun lalu. Jujur, saya tak paham cara algoritma platform tersebut bekerja. Tapi terkadang ia bisa jadi mesin waktu yang menyenangkan. 

Berbicara tentang mesin waktu, film Sore boleh dibilang mempermainkan waktu dengan cakap. Selain karena cerita yang bikin penonton mondar-mandir di masa lalu dan masa depan tokoh utamanya, film ini berhasil bikin lagu tahun 2019 dan 2023 jadi on repeat banyak orang di 2025. 

Saya tak pernah membayangkan Barasuara dengan materi yang berat dan gaya bahasa penuh kiasan bisa menjajaki arus utama. Tapi ini menyenangkan. Saya bernyanyi keras—lebih mirip berteriak—bersama ribuan orang lain, ketika mereka memainkan Pancarona dan Terbuang dalam Waktu di salah satu festival. 

Merayakan lagu lamanya yang meledak di tahun ini, lead vokal sekaligus gitaris Barasuara, Iga Masardi berterima kasih kepada semua orang yang mendengarkan lagunya.

“Terima kasih untuk kalian semua yang sudah mengenal Barasuara via Terbuang dalam Waktu, terima kasih juga untuk kalian semua yang sudah membantu Barasuara dari tahun 2014 sampai sekarang,” ujar Iga di panggung Pestapora. 

“Kami punya cinta yang sama, cinta yang adil untuk kalian semua,” lanjutnya sebelum memulai Terbuang dalam Waktu

Festival Diboikot (Kesadaran Publik) 

Saya pulang dari hari pertama Pestapora dengan hati gembira. Namun, saat bangun untuk hadir di hari kedua, saya dipaksa patah hati melihat berita tentang PT Freeport Indonesia (PTFI) mensponsori festival tersebut. Tersebar foto pawai sponsor yang bertuliskan, “Tembaga Ikutan Berpestapora” di sebelah logo PTFI.

Festival itu kemudian ramai-ramai diboikot, baik oleh penggemar musik, maupun musisinya. Sejumlah musisi seperti Sukatani, .Feast, Hindia, Donker, dan Panturas mengumumkan pembatalan tampil. Mulut saya menyumpah serapah kepada penyelenggara acara tiap mata menemukan pengumuman pembatalan dari band yang ingin saya saksikan, di media sosial.

Baca juga: #MadgeKaleidoskop: Dari ‘Koloni’ hingga ‘Paya Nie’, 5 Buku yang Sayang Dilewatkan

Namun di sisi lain, pemboikotan ini membuat saya senang. Kesadaran kolektif memaksa direktur Pestapora Kiki Aulia atau Ucup mencabut PTFI sebagai sponsor. Ini membuktikan, publik tidak menutup mata soal sponsor yang mereka konsumsi. 

Apakah terlalu berlebihan untuk meminta para penyelenggara event belajar dari kasus Pestapora? Semoga bisa diusahakan, seperti para penonton mengusahakan membeli tiket dan mengatur jadwal. Pekerjaan rumah untuk penyelenggara festival tahun depan: tidak dijadikan tempat artwashing perusahaan yang memilki rekam jejak buruk. 

Skena HipHop Melejit, tapi… 

Sebagai penikmat HipHop, saya merasakan betapa HipDut, akronim untuk HipHop Dangdut, dan lagu-lagu penyanyi dari Indonesia Timur mendongkrak genre ini. Tren TikTok dikuasai oleh lagu-lagu mereka. 

Suatu waktu saya membuka aplikasi, Kasih Aba-Aba milik Tenxi terdengar. Ketika saya slide, Orang Baru Lebe Gacor karya Ecko Show bikin mulut saya menggumamkan liriknya. Slide lagi, speaker handphone saya mengumandangkan “kaka tabola-bale / lia Ade Nona e / Su makin manyala e /kaka hati susah e.” 

Pola beat yang menggetarkan tubuh dan lirik mudah sekali dicerna jadi kombinasi yang sempurna. Tapi sayang sekali, ternyata di balik lirik-lirik catchy ini, ada pesan yang merendahkan perempuan. 

Baca juga: Pengalaman Mendengar Hipdut: Instrumen Penuh ‘Pleasure’, Liriknya Bikin ‘Guilty’ 

Misalnya saat Tenxi menyanyikan “semua cewek cantik bikin nagih” atau Silet Open Up mengucap “Su bale Jawa, tambah bening aja lai” menunjukkan bagaimana perempuan hanya dipandang dari sekadar penampilan. 

Masalahnya lirik-lirik tersebut tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari realitas sosial yang tidak ideal. Memperbaiki industri yang mengapresiasi premis dan lirik misoginis dan seksis bukan perkara menghentikan satu-dua musisi. ini perjalanan panjang mengubah cara pandang masyarakat yang masih patriarkal. 

Ditinggalkan Beberapa Legenda Selamanya

Di samping peristiwa menyenangkan dan menyebalkan, industri musik juga menyimpan ruang berduka. Sejumlah nama, baik yang sedang dalam perjalanan naik maupun yang sudah di puncak, meninggal dunia. Di antaranya, penyanyi pop lawas, Titiek Puspa; gitaris Seringai, Ricky Siahaan; dan solois sekaligus produser Gusti Irwan Wibowo. 

Meski tak familiar di kalangan generasi z, Titiek Puspa meninggalkan karya-karya yang tentu saja tak asing. Lagu Kupu-Kupu Malam dan Marilah Kemari hanya dua di antara sekian karya legendaris yang ia catatkan. Melansir RRI, Ia meninggal di usia 87, pada Kamis (10/4) sekitar pukul 16.25 WIB di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan.

Sementara itu, kabar meninggalnya Ricky Siahaan menenggelamkan mimpi saya menyaksikannya memainkan riff gitar lagu Skeptikal, Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan), dan Dilarang di Bandung. Merujuk CNN Indonesia, Ricky dinyatakan meninggal di usia 48 tahun pada Sabtu (19/4), karena sakit jantung. 

Saya tak akan lupa bagaimana riff gitar penuh distorsi yang dimainkan Ricky membalut lirik “individu / individu merdeka” dan “uang dan negara telah menjualmu / tak salah ketika / kami ragu, kami sinis, pukul balik, pukul balik.” Irama itu membangkitkan semangat saya di masa SMA yang penuh gairah. 

Di sisi lain, meninggalnya Gusti Irwan Wibowo menghancurkan hati saya. Terkhir saya bertemu Gusti di Synchronize 2024. Itu ketiga kali saya bertemu Gusti. Saya menonton penampilan musisi yang kocak bukan main itu. Karena datang untuk liputan, saya mencoba peruntungan menghubunginya lewat DM Instagram. 

“Aku lagi nonton bang Gusti sekarang. Apakah bang Gusti bersedia diwawancarai setelah tampil?” Tentu saja pesan itu tak terbalas. Namun, Gusti menyempatkan diri mengobrol dengan beberapa pengunjung di samping panggung seusai penampilan. Saya todongkan lagi ajakan itu. Dia bersedia, meski jawaban setiap pertanyaan, sekali lagi, terlalu kocak untuk jadi berita serius. 

Setelah wawancara selesai, saya menikmati penampil di panggung lain. Tiba-tiba ada notifikasi Instagram. Jawaban dari Gusti: “Sudah diwawancara ya, mas.” Saya menanggapinya dengan tawa kecil dan memikirkan lirik lagu Sal yang diproduserinya, “sepertinya,” Gusti “memang dari planet yang lain.” Rest in love, Gus!

Sebagai penikmat musik, saya tak sabar menunggu kejutan yang akan disuguhkan 2026. Apakah tren musik tahun depan akan membuat pendengarnya berdendang, bersedih, marah? Apakah temanya akan lebih politis atau personal? Belum ada yang bisa menebak. 

Satu hal pasti, tahun depan rezim yang sama akan tetap buat ulah dan saya butuh musik sebagai tempat kabur yang menghibur.

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.