Lifestyle

Nyebelinnya Jadi Perempuan Saat Main PUBG

Banyak perempuan yang diremehkan kemampuannya dan menghadapi pelecehan seksual saat main video game PUBG.

Avatar
  • July 8, 2020
  • 5 min read
  • 1017 Views
Nyebelinnya Jadi Perempuan Saat Main PUBG

Ketika pandemi COVID-19 memaksa banyak pihak untuk bekerja atau sekolah di rumah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan bahwa video games atau permainan video bisa menjadi solusi bagi mereka yang “terkurung” di rumah. Menurut WHO, seperti dikutip Business Insider, bermain video games di rumah adalah salah satu solusi untuk menjaga jarak fisik karena individu akan cenderung bertahan di rumah untuk bermain dibandingkan harus keluar dan menantang bahaya yang tidak terlihat di depan sana

Jika permainan yang dimainkan hanya sebatas menyelesaikan misi, mungkin bisa menjadi membosankan karena sekali lagi, tidak bisa melakukan interaksi dengan orang lain. Namun sekarang sudah banyak permainan video daring yang menggunakan multiplayer base, sehingga para pemain bisa berinteraksi satu sama lain tanpa harus bertemu secara fisik.

 

 

Di Indonesia, permainan yang ditawarkan sudah sangat beragam dan bisa diakses melalui ponsel. Mobile Legend, Free Fire, dan Player Unknown Battleground (PUBG) merupakan tiga dari sekian permainan daring multi-pemain yang sering dimainkan oleh pengguna ponsel di Indonesia. Meskipun dikesankan bahwa para pemain multiplayer game ini hanyalah laki-laki, setahu saya banyak juga perempuan yang bermain, termasuk saya dan teman-teman saya.

Salah satu permainan yang saya temui banyak dimainkan perempuan adalah PUBG. Secara garis besar, permainan ini adalah permainan battle royal, siapa yang bisa bertahan sampai akhir permainan lah yang berhak memperoleh kemenangan. Bisa dibayangkan bahwa permainan ini melibatkan strategi dan ketrampilan dari user untuk memilih senjata dan membunuh musuh.

Secara tradisional, permainan yang berbasis menembak dengan senjata merupakan permainan mereka yang laki-laki; ingat ketika kecil banyak sekali orang tua yang tidak membelikan tembak-tembakan kepada anak perempuan mereka. Pemain perempuan yang barusan bermain di PUBG mungkin sangat sulit beradaptasi dengan cepatnya pace permainan: Turun dengan terjun payung dari pesawat, mendarat di tanah atau rumah, mencari senjata (yang terbaik dan terdekat), dan jika musuh sudah menanti (baik bot komputer maupun sama-sama pemain yang turun dari pesawat) maka inilah waktunya untuk menunjukkan bakat dan kemampuan menembak kita. Tapi jangan salah, ketika turun dan mendapati senjata di depan mata, ada banyak pilihan yang harus segera ditentukan, apakah mengambil shotgun, assault rifle, sniper atau bahkan pistol.

Baca juga: 5 Tipe Cowok di Aplikasi Kencan yang Tampak Normal Tapi ‘Unmatchable’

Kebetulan kedua orang tua saya membebaskan saya mau main apa, jadi sejak SD saya sudah bermain tembak-tembakan. Jadi ketika dihadapkan dengan pilihan senjata dalam video game, saya paham, mana yang bisa digunakan menembak jarak pendek, menengah, sampai jauh. Juga, mana yang memiliki fire rate paling besar dengan kemampuan membunuh paling cepat. Kalau belum familier, inilah sumber masalah (yang sebenarnya bukan masalah-masalah banget, toh ini hanya permainan) bagi satu tim, terutama jika bermain dalam mode squad.

Kenapa kemudian jadi masalah? Karena rata-rata mereka yang bermain ini selalu ingin menjadi pemenang (wajar sih). Entah kenapa, jumlah laki-laki yang bermain di PUBG jauh lebih banyak dari perempuan. Sehingga ketika memilih mode squad secara acak, dapat dipastikan tiga laki-laki dan satu perempuan (saya). Sudah menjadi rahasia umum jika bermain multiplayer games, pemain lain yang langsung menghardik mereka yang tidak bisa bermain secara maksimal, minimal setingkat mereka.

Hardikan yang sering kali saya dengarkan di PUBG terhadap perempuan sungguh menyebalkan dan seksis, “Cewek ya ini? Duh, pantesan bego banget mainnya,” atau, “Cewek main Gardenscape aja anjing, gak usah main PUBG,” dan serangkaian hardikan yang membawa-bawa jenis kelamin.

Jika permainan dari cewek tersebut bagus, maka hardikan itu akan berubah menjadi rayuan: “Wah, keren nih cewek, minta username Instagram, dong.” Atau yang sering kali saya dapatkan, “Hai cewek, bisa nih nanti main lagi. Bisa minta nomor HP enggak? Biar enak kalau mengajak mabar (main bareng) lagi,” dan serangkaian godaan yang jujur membuat saya merasa tidak nyaman, karena setelah permainan berakhir mereka akan menghubungi secara personal melalui DM di dalam PUBG.

Baca juga: Kapten Cantik, Bidadari Lapangan: Kosa Kata Media untuk Sepak Bola Perempuan

Itulah yang membuat saya jarang melakukan open mic ketika bermain acak, bahkan saya mematikan speaker sehingga tidak mendengarkan bacotan mereka. Pernah sekali saya salah memilih mode squad ketika bersama teman cowok saya, sehingga ketika kita berdua berbicara, seakan-akan dia adalah pacar saya. Besoknya teman satu tim tersebut mengirim pesan singkat yang menanyakan apakah pacar saya (teman cowok saya kemarin) sedang daring atau tidak, karena mau mengajak main bareng tapi sungkan dengan pacar saya. Kenapa harus menanyakan hal personal jika hanya bermain barang satu dua matches?

Kejadian-kejadian ini mengingatkan saya pada memori menyebalkan ketika saya masih SMP. Pada saat itu, saya diajak teman-teman cowok untuk ke rental PlayStation (PS) karena sedang bosan mengerjakan tugas kelompok. Tentu saja saya menyambut dengan senang, karena di rumah saya hanya boleh main PS ketika akhir minggu. Baru mulai permainan Winning Eleven, game favorit saya dari dulu, ada dua laki-laki, saya asumsikan mereka sudah SMA, tiba-tiba duduk di sebelah saya. Salah satu dari mereka bersiul dan berbicara dengan keras, “Jago nih cewek mainnya,” dengan menjilat bibir dan melihat dada saya. Untung saja, salah satu teman cowok saya langsung mengambil kursi dan duduk di antara saya dan dua anak SMA tersebut.

Sejak kejadian tersebut, saya selalu minta untuk ditemani teman cowok ketika ingin pergi ke rental PS, atau bahkan ke warung internet yang didominasi laki-laki. Rasanya malas sekali harus berhadapan dengan laki-laki yang sengaja merendahkan, baik kemampuan maupun secara jenis kelamin.

Mengingat pandemik ini masih panjang, membuat banyak juga teman-teman perempuan saya memasang game di gawai mereka untuk membunuh kebosanan, satu pertanyaan muncul di benak saya. Bolehkah perempuan bermain game daring secara bebas tanpa gangguan? Karena bagi saya, bermain game daring adalah hak segala bangsa.  



#waveforequality


Avatar
About Author

Kholifatus Saadah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *