Politics & Society

Kutukan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Itu Bernama Stigma

Salah kaprah yang luar biasa besar dan stigma dalam masyarakat terhadap gangguan jiwa membuat banyak penderita menolak mencari pengobatan.

Avatar
  • April 11, 2017
  • 6 min read
  • 1734 Views
Kutukan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Itu Bernama Stigma

Isu kesehatan jiwa memang tidak pernah seksi untuk dibahas, tidak seseksi isu agama dan politik, sehingga keberadaannya tersingkirkan. Padahal depresi dan gangguan mental lainnya adalah faktor utama seseorang memutuskan bunuh diri. Penyebab depresi dan gangguan mental lainnya bisa apa saja, dan dalam kondisi yang parah dan tanpa pertolongan tenaga kesehatan profesional, para pengidap bisa mengakhiri hidupnya.

Saya bukan pengidap depresi tapi saya adalah seorang penyintas sekaligus relawan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Pusat. Saya adalah seorang skizoafektif, yang artinya saya memiliki lebih dari satu gangguan mental. Saya adalah pengidap skizofrenia paranoid, bipolar tipe manik, dan gangguan kecemasan.

 

 

Saya pernah melakukan percobaan bunuh diri pada 2013 karena tekanan halusinasi dan delusi yang kuat. Saya sudah tidak bisa membedakan realitas dengan halusinasi. Batas itu mengabur. Orangtua saya yang menganut paham Kejawen yang kuat, alih-alih membawa saya ke tenaga kesehatan profesional malah menggiring saya ke berbagai paranormal atau ‘orang pintar’. Bahkan bukan hanya sekali saya mengalami ruqyah (metode penyembuhan dengan cara membacakan sesuatu, biasanya ayat-ayat, pada orang yang sakit).

Bermacam ritual lain sudah saya lakukan seperti mandi air garam dan kembang, sembelih kambing, digosok batu, disuruh minum air dengan bacaan ayat al-Quran di dalamnya, dibacakan berbagai mantra, dan menanam berbagai sesajen dan menempel mantra di sudut-sudut rumah. Bahkan yang lebih absurd lagi, lantai kamar saya pernah ditaburi garam krosok (sea salt), membuat kaki saya tidak nyaman menginjaknya.

Akhirnya pada April 2014, setelah saya mengundurkan diri dari pekerjaan karena penyakit saya, saya merengek kepada orangtua untuk memeriksakan diri ke psikiater. Hari itu juga saya didiagnosa skizofrenia paranoid. Seingat saya, obat yang diresepkan kepada saya adalah obat racikan, terdiri dari Godovil, Stelanzine, CPZ, dan Haloperidol.

Gemetar, jantung berdebar keras, tremor, tidak bisa berpikir dan gerak tubuh seperti robot, itu semua saya rasakan setelah meminum obat tersebut. Ibu menyarankan saya untuk memperkecil dosisnya, jadi kapsulnya saya buka, bagi separuh isinya dan saya masukkan ke kapsul yang lebih kecil. Tapi meskipun dosisnya sudah dikurangi, efek sampingnya masih mengerikan.

Selain tidak cocok dengan obatnya, berobat di rumah sakit swasta berbiaya mahal. Atas saran kakak saya, saya berobat ke puskesmas dan di sana saya diberi Haloperidol, CPZ, dan THP. Efek samping CPZ membuat saya selalu mengantuk dan ingin tidur. Berkali-kali saya tidur pulas selama dua hari. Akhirnya saya hentikan pemakaian CPZ setelah mendapat persetujuan dari dokter.

Selama satu tahun saya menganggur dan hari-hari saya dipenuhi kecemasan sampai saya membenturkan kepala ke tembok sampai benjol saking frustrasinya. Akhirnya saya memutuskan mulai melamar pekerjaan lagi dan di awal 2015 mendapat banyak panggilan tes dan wawancara. Namun pengaruh obat membuat saya merasa kecerdasan saya menurun. Pada malam sebelum saya melakukan tes psikologi, saya minum obat THP dan Haloperidol. Esok harinya, saat saya mengerjakan tes Kraeplin, sebuah tes penjumlahan yang mudah, butuh waktu lebih dari satu menit untuk menjumlahkan sekedar 5+8. Saya pun menghentikan konsumsi THP, tinggal Haloperidol saja yang saya minum.

Saya terus mencari obat yang paling cocok, berganti-ganti dari Abilify, Seroquel XR, Olanzapine, Risperidone dan Dogmatil. Semuanya tidak sesuai, malah semakin memicu halusinasi dan delusi. Akhirnya saya kembali menggunakan Haloperidol. Sayangnya, Haloperidol memiliki efek samping gangguan kecemasan, sehingga mau tidak mau harus diimbangi dengan benzo (obat penenang) lunak seperti Clobazam. Saya tidak berani meminumnya terlalu sering. Selama gangguan kecemasannya bisa saya tahan, saya lebih baik menahannya. Saya minum benzo hanya benar-benar darurat untuk mencegah terjadinya ketergantungan.

Sekarang saya sudah bekerja selama dua tahun di sebuah perusahaan dan dalam kondisi stabil. Haloperidol pun saya larutkan dalam air dan saya minum seperempat gelas setiap malam. Dosis yang aman, tidak terlalu membuat saya mengantuk dan saya bisa bekerja esok harinya tanpa diganggu halusinasi dan delusi.

Itulah sekelumit cerita saya, sengaja tidak saya buka bagian horornya. Namun ada satu hal yang saya perhatikan setelah saya bergabung dengan grup-grup kesehatan jiwa. Sebagian orang lebih suka mendiagnosa sendiri berbekal ilmu dari Mbah Google dibandingkan memeriksakan diri ke psikiater atau konsultasi ke psikolog. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa mereka takut dikenakan stigma oleh masyarakat, tetangga, saudara jika mereka ke psikiater atau ke psikolog.

Padahal gaya hidup manusia modern saat ini yang serba cepat membuat manusia rentan terkena depresi dan gangguan mental lainnya. Bagi orang-orang yang sudah depresi berat, meskipun beban hidupnya terasa biasa saja dan dianggap bisa menanggungnya, percayalah, kalian tidak tahu apa yang ada di benak mereka. Pikiran-pikiran negatif itu terus bermunculan. Saking negatifnya mereka sudah masuk ke jurang keputusasaan, dan ketika mereka kehilangan teman bicara maka bisa jadi bunuh dirilah jalan keluarnya.

Dengan pengalaman panjang saya, saya pun menyadari sebagian besar masyarakat di Indonesia lebih memilih dibilang kena guna-guna, pelet, atau gangguan jin dibandingkan mereka harus mengakui bahwa ada masalah dengan otaknya. Jika pada penderita skizofrenia produksi dopamin yang berlebihan memicu munculnya halusinasi dan delusi, maka penderita depresi dipicu kurangnya produksi serotonin dan melemahnya bagian otak yang bernama prefrontal area.

Penderita skizofrenia dapat dibuat stabil dengan cara terapi CBT (Terapi Perilaku Kognitif) dan terapi obat dengan antipsikotik, antiatipikal maupun atipikal. Pasien  bipolar bisa diobati dengan mood stabilizer, sementara depresi dengan antidepresan, dan gangguan kecemasan dengan benzo.

Salah kaprah yang luar biasa besar di masyarakat mengenai gangguan jiwa membuat edukasi untuk masyarakat terasa sulit sebab kebanyakan dari mereka menyangkal. Bahkan suatu kali saya pernah bertemu seorang dokter umum yang menghakimi saya. Beliau mengatakan saya terkena gangguan jiwa karena saya kurang beriman, kurang rajin shalatnya, kurang mendekatkan diri kepada Tuhan. Aneh, saya pikir. Dokter, yang seharusnya belajar mengenai neurotransmitter dalam otak, mengapa bisa sampai hati menuduh saya kurang beriman? Dapat ilmunya dari mana?

Dokter ini mengaku mantan penderita depresi dan berhasil sembuh hanya berbekal keyakinan, doa, dan ibadah yang kuat. Sedangkan saya yang skizoafektif , apa saya tidak akan kambuh kalau lepas obat? Saran yang menurut saya sangat mengerikan dari seorang dokter kepada pasiennya. Adakah seorang dokter yang menyarankan pasiennya berhenti minum obat, padahal sudah tahu pasiennya pengidap gangguan mental? Untung saja, saya tidak mengikuti sarannya dan tidak mau bertemu lagi dengannya.

Memang sejak saya meminum obat itu penglihatan saya memburuk, mata saya menjadi minus dan silindris. Tapi tidak apa-apa, risiko memakai kacamata saya ambil dibandingkan harus kumat dan mengalami mimpi buruk setiap malam. Sungguh mengerikan. Bahkan berpikir pun tak nyaman.

Akhir cerita saya ingin mengatakan, saya akan terus berjuang melawan stigma. Saya tidak peduli saya dicemooh gila oleh orang-orang. Walaupun saya tidak bisa memukul orang-orang yang mengejek saya, paling tidak saya bisa mendesis dan menggeram untuk membalas perbuatan tidak menyenangkan mereka. Saya memang memiliki gangguan otak, tapi saya tidak bodoh. Kami tidak bodoh. Kami berdaya, kami mampu, dan kami kuat. Saya akan terus berjuang bersama teman-teman yang lain dalam mengedukasi masyarakat dan menyebarkan kebaikan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Winaring Suryo Satuti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *