Hapus Bias Gender di Perusahaan dengan Kebijakan Inklusif
Kebijakan inklusif di perusahaan dibutuhkan guna menghapus bias gender dan menciptakan ruang aman untuk seluruh pekerja.
Hingga kini, bias gender masih kentara di tempat kerja, seperti ketimpangan gaji, sulitnya perempuan dapat promosi, usia pensiun yang tak adil antara perempuan dan laki-laki, hingga perekrutan perempuan yang timpang.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan Indonesia berjumlah 53,13 persen, sedangkan laki-laki sebesar 82,41 persen. Dari data tersebut, terlihat perempuan dan laki-laki belum memiliki akses yang sama dalam ruang kerja.
Norma yang berlaku di tempat kerja pun seringkali menghambat karier perempuan. Apalagi jika kita berkaca pada posisi pemimpin yang secara eksklusif dipegang oleh laki-laki, sehingga melanggengkan fenomena “think manager, think male.”
Oleh karena itu, untuk menekan bias gender di antara pekerjanya, perusahaan perlu menyusun beberapa kebijakan inklusif. Hal ini telah diterapkan oleh Telkomtelstra, perusahaan joint venture antara Telkom Indonesia dengan Telstra Corporation Australia. Dalam Podcast Magdalene episode Perempuan Berdaya, Bisnis Adidaya, Vice President, Human Resource Telkomtelstra, Nieke L. Garnia mengatakan, “Memiliki keterwakilan perempuan akan meningkatkan inovasi, karena semakin banyak kepala yang berbeda, akan menghasilkan keragaman pemikiran.”
Sebagai bentuk komitmen terhadap pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, Telkomtestra meluncurkan pledge for parity dengan beberapa fokus, seperti meningkatkan talent perempuan di area perusahaan yang kurang terwakilkan, membuat fasilitas untuk ibu menyusui di kantor, menciptakan kebijakan work flexibility, dan memberikan kesempatan bagi pekerja laki-laki untuk bekerja di rumah selama 2 minggu setelah istrinya melahirkan.
Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara
Berikut ini beberapa cara lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk menghapus bias gender dengan kebijakan inklusif.
- Proses Rekrutmen yang Terstruktur
Berdasarkan laporan ILO berjudul “Women at Work”, pada 2015 rasio perekrutan
perempuan di skala global sebesar 46 persen, sementara laki-laki hampir 72 persen. Saat itu, total perempuan yang dipekerjakan hanya 1,3 juta orang, dibandingkan laki-laki mencapai hampir 2 juta orang.
Untuk meminimalkan dampak bias gender yang tidak disadari dalam mengambil keputusan pada proses rekrutmen pekerja, pihak perekrut dapat melakukan wawancara terstruktur agar semua kandidat dievaluasi berdasarkan kriteria relevan yang telah ditentukan, serta merujuk pada prestasi pekerjaan. Kemudian, perlu dilakukan perbandingan evaluasi jawaban kandidat sesuai kriteria, agar mudah menentukan kandidat berdasarkan kinerja terbaik.
Mengutip International Labour Organization (ILO), selama proses perekrutan dapat melibatkan beberapa evaluator untuk menyampaikan cara mereka memberikan penilaian terhadap setiap kandidat, sementara Human Resource melakukan pengawasan jika ditemukan penilaian berdasarkan bias gender.
Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya
- Pelatihan Kesetaraan Gender
Diskriminasi gender sering dilakukan secara tidak sadar karena hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Sebagaimana didefinisikan oleh UN Women, pelatihan kesetaraan gender merupakan strategi dalam melakukan transformasi individu secara kolektif, melalui peningkatan kesadaran, pemberdayaan pembelajaran, pembangunan pengetahuan, dan pengembangan keterampilan.
Perusahaan dapat melaksanakan pelatihan kesetaraan gender untuk menyelaraskan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan berhak memiliki kesempatan dan perlakuan adil. Pelatihan ini dapat dilakukan secara berkelanjutan, dengan membentuk struktur, proses, dan prosedur manajemen yang memfasilitasi pengarusutamaan gender.
Gojek merupakan salah satu perusahaan yang menetapkan kebijakan ini. Senior Manager Public Affairs Gojek, Josefhine Chitra, menjelaskan keberadaan Tim Unit Darurat, yang melayani dan menanggapi laporan pelanggan maupun mitra, khususnya terkait kekerasan seksual.
“Tahun ini kami kembali membekali tim (Gojek) dengan bekerja sama dengan UN Women, untuk mengedukasi tentang perbedaan gender dan jenis kelamin, gender sebagai konstruksi sosial, bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, hingga cara menanggapi korban kekerasan fisik dan seksual yang melapor dengan cara berkomunikasi dengan empati,” tuturnya kepada Magdalene dalam Podcast Perempuan Berdaya, Bisnis Adidaya.
- Program Kepemimpinan
Merujuk laporan Grant Thornton International pada 2019, hanya 29 persen perempuan yang memegang kepemimpinan senior secara global. Data tersebut menunjukkan ketertinggalan perempuan dalam urusan kepemimpinan. Padahal, pekerja laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dalam mengakses program kepemimpinan untuk pengembangan diri mereka.
Menurut ILO, pekerja perempuan menyampaikan sedikitnya interaksi mereka dengan pemimpin senior, dibandingkan rekan kerja laki-laki. Hal ini berdampak pada kesenjangan kemajuan karier. Di tingkat manajemen senior, dalam seminggu hanya 51 persen perempuan yang berinteraksi dengan pemimpin perusahaan, sedangkan laki-laki mencapai 62 persen.
Atasan laki-laki dapat memainkan peran sebagai mentor atau sponsor untuk para pekerja perempuan, agar para kader mampu mengembangkan kemampuan kepemimpinan secara profesional dan menemukan kapabilitas dalam dirinya.
Baca Juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital
- Transparansi dan Akuntabilitas
Untuk mendukung perkembangan karier seluruh pekerja, perusahaan dapat mengadopsi proses peningkatan karier, yakni penilaian kemajuan karier pekerja secara transparan. Selain dapat menilai kinerja, cara ini membantu pekerja dalam menentukan langkah yang perlu dipersiapkan untuk mengembangkan kemampuan dan pengalaman mereka agar dapat dipromosikan.
Cara ini telah dilakukan oleh Scotiabank, sebuah perusahaan berbasis layanan finansial di Kanada. Mereka merekrut seorang perempuan di posisi Senior Vice President of Top Talent, untuk membimbing pekerja laki-laki dan perempuan. Hasilnya terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah perempuan di tingkat manajemen senior, dari 18,9 persen pada 2003 menjadi 31 persen di 2006. Kemudian, perempuan juga menduduki tingkat pejabat perusahaan sejumlah 36,8 persen pada 2006, meningkat dari 26,7 persen di 2003.
- Kebijakan Pelecehan Seksual Tanpa Toleransi
Perusahaan dapat berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dari diskriminasi dan pelecehan seksual bagi semua pekerja. Kebijakan tersebut tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual, memperlakuan peristiwa dengan serius, dan menyelidiki tuduhan yang ada.
Dalam pelaksanaannya, penting bagi perusahaan untuk memastikan korban merasa aman saat menyampaikan keluhannya, mendengarkan mereka, dan menindaklanjuti kasus secara rahasia. Sebagai konsekuensi, pelaku pelecehan seksual akan menerima penertiban perilaku, termasuk pemberhentian dari pekerjaan.
Di sini, seluruh jajaran pemimpin perusahaan bertanggung jawab dalam menangani kasus pelecehan seksual, sehingga perlu mengetahui jenis dan jumlah insiden serta cara penanganannya, agar dapat dilakukan evaluasi tahunan untuk menilai efektivitasnya dalam melawan pelecehan seksual.
Apakah perusahaanmu tertarik untuk menerapkan cara-cara di atas dan mengambil peran dalam penghapusan bias gender di lingkungan kerja? Ayo ajak perusahaanmu untuk bergabung menjadi penandatangan Women’s Empowerment Principles (WEPs), seperangkat prinsip dari UN Women dan UN Global Compact bagi perusahaan untuk menerapkan prinsip pemberdayaan perempuan di tempat kerja, marketplace, dan komunitas.
Dengan menandatangani WEPs, perusahaanmu akan mendapatkan akses ke materi dan pelatihan terkait mewujudkan kesetaraan gender dalam bisnis, berkesempatan mendapatkan penghargaan tahunan di WEPs Awards dari UN Women, dan menggunakan alat ukur mandiri untuk menilai kemajuan kesetaraan gender dalam perusahaan.
Ayo bergabung bersama 100 perusahaan Indonesia lainnya di komunitas WEPs dengan mendaftar menjadi penandatangan WEPs hari ini: weps.org/join.