Politics & Society

Cerita itu Bernama Agama

Memiliki orangtua berbeda keyakinan, penulis merasa spesial karena hidup di dalam cerita terindah -- cerita tentang keberagaman dan pluralisme.

Avatar
  • January 26, 2017
  • 4 min read
  • 717 Views
Cerita itu Bernama Agama

Saya lahir dari ayah dan ibu yang berbeda keyakinan. Ayah saya seorang Protestan dan Ibu saya Muslim. Sejak kecil, saya dan kakak saya mengikuti keyakinan Ibu. Kami tidak pernah merasa ada yang salah dengan perbedaan keyakinan kedua orangtua. Yang pada akhirnya memaksa kami untuk merasa bersalah adalah orang-orang di luar keluarga kami.
 
Kata-kata yang paling saya ingat adalah ucapan dari guru agama saya. Guru agama bilang bahwa pernikahan berbeda agama menurut hukum Islam adalah sebuah perzinahan. Di mata guru agama saya dan para Muslim religius lainnya yang tahu bahwa orangtua saya berbeda keyakinan, saya dan kakak saya adalah anak hasil perzinahan. Yang artinya, di mata agama, status saya dan kakak saya adalah anak di luar nikah (anak haram kalau bahasa sinetronnya). Awalnya saya kesal, sedikit malu, tapi lama-lama, saya merasa bodo amat. Dari kecil jiwa saya memang anti-mainstream.
 
Tapi satu hal di waktu kecil yang membuat saya merasa menyesal memilih agama Islam adalah satu peraturan konyol yang mengatakan bila ayah saya (yang berbeda keyakinan dengan saya) meninggal dunia, doa kami — anak-anaknya — tidak akan sampai kepadanya. Doa saya dan kakak saya tidak akan mampu menyelamatkan ayah saya dari api neraka. Bahwa mendoakan orang non-Muslim yang telah meninggal adalah ibarat kita berharap bisa menelepon orang yang tinggal di Amerika dengan menekan kode area +62. Salah sambung.
 
Delapan tahun lalu, ayah saya meninggal dunia. Setiap hari, ibu saya selalu mengingatkan saya dan kakak saya untuk mendoakan ayah saya. Di dalam hati, saya ingin tertawa sekaligus menangis. Untuk apa saya berdoa bila saya tahu hanya akan berujung pada kesia-siaan?
 
Saya ingin marah pada ayah saya yang tidak mau mengambil kesempatan semasa hidupnya untuk masuk Islam. Seandainya saja ayah saya mau masuk Islam, saya tidak perlu keluar pulsa banyak karena harus menekan kode area +1 dari Indonesia.
 
Saya menghabiskan hidup saya dengan kemarahan. Saya marah karena aturan agama saya. Saya marah dengan diri saya yang tidak bisa meyakinkan ayah saya untuk meninggalkan keyakinannya sewaktu ia masih hidup. Saya marah karena pilihan orangtua saya yang memilih untuk berbeda.
 
Kemarahan itu terus berlangsung sampai akhirnya saya bekerja di dunia film. Semakin lama, saya semakin mencintai dunia bercerita. Storytelling. Saya selalu kagum betapa kemampuan cerita dalam bentuk film, lagu, buku bisa punya efek sangat besar terhadap kehidupan manusia. Termasuk saya.
 
Lama-lama saya paham dan percaya bahwa ternyata hidup adalah tentang bagaimana kita bercerita dan melanjutkan cerita tersebut kepada sebanyak-banyaknya orang. Cerita yang membuat kita tahu bahwa hidup kita punya arti.
 
Cerita punya kemampuan untuk menanamkan satu ide atau keyakinan pada seseorang. Satu hari, saya sadar bahwa ide yang paling berhasil ditanamkan ke banyak manusia hingga menjadi keyakinan hakiki adalah agama. Dengan menggunakan cerita di dalam kitab suci, cerita tentang surga dan neraka, cerita-cerita nabi dan cerita-cerita agama yang kadang jauh dari logika. Cerita-cerita kreatif yang bisa saja dibuat orang ketika sedang mabuk atau ngeganja. Bagi saya, agama pada akhirnya tidak lebih hanya cerita best-selling buatan manusia.
 
Saya tidak seharusnya pernah menyesal memiliki ayah dan ibu yang berbeda keyakinan. Justru sebaliknya, saya seharusnya merasa spesial karena saya hidup di dalam cerita paling indah — cerita tentang keberagaman dan pluralisme.
 
Sekarang, saya tidak lagi percaya dengan agama tapi saya tetap mengagumi cerita solid yang dirancang dan diciptakan agar orang-orang memilih untuk beragama. Seandainya masih bisa direvisi, hukum wajib umat beragama seharusnya bukan percaya bahwa Tuhan itu Maha Esa melainkan Tuhan itu Maha Kreatif. Sehingga, saat kita bertemu manusia atau makhluk ciptaan Tuhan yang berbeda dengan kita, di saat itulah seharusnya keimanan manusia terhadap eksistensi Tuhan semakin bertambah.
 
Tapi kalau dipikir-pikir, esensi beragama (atau esensi bercerita) sebenarnya bukan untuk membela agama yang benar (atau membela cerita itu fiksi atau nyata), melainkan apakah agama (atau cerita) tersebut relevan bagi hidup manusia (atau pembaca/penonton). Bila tidak relevan, penonton berhak keluar bioskop dan mencari film lain. Manusia selalu punya pilihan.
 
Nurita Anandia bekerja sebagai Associate Producer di salah satu film company di Jakarta. Kamu mungkin bisa menemukan namanya di credit title beberapa film Indonesia yang tayang di bioskop. Tapi dia mengerti kalau kamu tidak terlalu suka nonton film Indonesia. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari namanya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Nurita Anandia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *