Mei 1998 yang Mengubah Saya
Dari seorang mahasiswi arsitektur yang hanya mencari aman karena etnisitas dan agamanya, ia bertransformasi menjadi aktivis pembangunan kota, berkat salah satu dari periode tergelap dalam sejarah bangsa ini.
Kelahiran anak biasanya merupakan peristiwa terpenting dalam kehidupan seorang perempuan, demikian juga dengan saya. Namun tonggak peristiwa yang paling penting dalam kehidupan saya adalah hari-hari penuh pergolakan pada Mei 1998 – serangkaian waktu yang telah membentuk saya menjadi seperti sekarang ini.
Bulan itu telah mentransformasi saya dari seorang perempuan muda apolitis dan tidak peduli menjadi seorang warga yang sangat terlibat dengan lingkungan saya. Peristiwa itu telah mengubah aspirasi saya dari arsitek terkenal menjadi seorang aktivis yang bekerja keras untuk membantu membentuk lingkungan yang lebih baik untuk anak perempuannya.
Saya masih menjadi mahasiswi pada Mei 1998. Sebagai mahasiswi arsitektur, saya selalu dihadapkan dengan setumpuk tugas dan proyek tanpa akhir, sehingga aktivisme politik merupakan prioritas terakhir. Saya juga seorang keturunan etnis Cina dan beragama Katolik, yang membuat saya seorang minoritas ganda. Sejak awal orangtua saya selalu mengajarkan kami untuk menghindari urusan terkait pemerintah dan politik supaya tetap aman.
Universitas Tarumanegara tempat saya belajar sering disebut Shanghai atau Peking karena mayoritas mahasiswanya saat itu, dan sampai sekarang, adalah warga Indonesia keturunan Cina. Satu-satunya ‘gejolak politik’ di dalam kampus waktu itu adalah ketika para mahasiswa fakultas teknik berkelahi satu sama lain. Demonstrasi politik merupakan sebuah konsep yang sangat asing.
Bahkan pada awal Mei 1998, ketika para mahasiswa Universitas Trisakti yang dekat kampus mulai bergabung dalam protes-protes, saya tetap bergeming. Mereka memblokir pintu depan kampus, yang saya anggap merepotkan karena saya tidak bisa menggunakan angkutan umum. Saya tidak punya empati. Saat itu saya hanya merasa senang karena ayah baru saja menaikkan uang saku saya.
Pada puncak demonstrasi mahasiswa pada 12 Mei, saya dan dua orang teman keluar dari pintu belakang kampus untuk menghindari demonstrasi saat menuju tempat melakukan tugas di Jakarta Selatan. Sementara para mahasiswa Trisakti memagari jalan tempat kedua kampus berada, kami bertiga melakukan riset mengenai tangga di dalam Hotel Gran Mahakam.
Tidak sadar dengan apa yang sedang terjadi, saya pulang ke tempat kost dekat kampus dengan naik bajaj. Supir bajaj mengatakan ada sesuatu yang buruk yang terjadi, namun pikiran saya sedang dipenuhi macam-macam sehingga saya tidak memperhatikannya. Saya tiba di tempat kost dengan selamat, sama sekali tidak tahu apa yang terjadi hanya satu kilometer dari tempat saya tinggal. Saya berpapasan dengan teman kost, seorang mahasiswi fakultas kedokteran yang sedang buru-buru pergi. Ada penembakan, ujarnya, dan ia perlu berjaga-jaga di klinik. Inilah yang kemudian menarik perhatian saya.
Teman-teman kost saya yang lain menunggu mahasiswi kedokteran tersebut pulang ke rumah dengan gelisah. Ketika ia sampai tempat kost kami pada pukul 10 malam, badannya gemetar menahan tangis. Ia menceritakan bahwa di rumah sakit banyak mahasiswa yang terluka dan meninggal dunia. Kami terperangah, sama sekali tidak menyangka. Di dalam diri saya, ada sesuatu yang rasanya sedang berubah.
13 Mei
Esoknya, berita utama harian Kompas memasang foto besar seorang gadis yang terbaring di tengah jalan, dengan barang berserakan di sekitarnya dan di atas genangan yang tampak seperti darah (belakangan dikabarkan bahwa gadis itu selamat). Rasanya sungguh tidak nyata. Banyak teman saya yang kemudian pulang ke kota asal. Saya berhasil meyakinkan orangtua bahwa saya akan baik-baik saja.
Dengan bodohnya saya memutuskan untuk mengunjungi Monumen Nasional untuk menyelesaikan tugas ‘Studi Tangga’. Saat kembali, masuk SMS dari seorang teman yang mengabarkan bahwa kuliah dibatalkan karena situasi yang semakin tegang.
Di jalan, saya melihat banyak mahasiswa dari berbagai universitas dengan beragam warna jaket almamater berjalan menuju Trisakti untuk mengikuti acara peringatan kejadian berdarah hari sebelumnya. Saya mengambil jaket saya dan memutuskan untuk ikut. Kami semua bergandengan tangan untuk membentuk barikade supaya orang lain, seperti intel pemerintah, tidak bisa masuk. Saya merasa sedikit patriotis, rasanya keren berpegangan tangan dengan orang yang tidak saya kenal.
Trisakti membuka gerbangnya sedikit, dan mahasiswanya memeriksa setiap orang sebelum mengijinkan masuk. Saya tidak membawa kartu mahasiswi, tetapi saya berhasil lewat setelah menunjukkan lambang universitas di jaket saya dan mengatakan, “Hei, kita tetangga!”
Di dalam, banyak yang berorasi. Sumbangan makanan dan air minum mengalir. Tapi kami dapat melihat kehadiran tentara di luar kompleks. Tiba-tiba, kami melihat helikopter tentara terbang sangat rendah. Mereka menembakkan gas air mata yang mengisi udara dengan asap yang menyesakkan. Suasana sangat membingungkan – saat itu merupakan salah satu pengalaman paling menakutkan dalam hidup saya.
Saya lari dan bersembunyi di dalam sebuah gedung. Mata saya rasanya terbakar, dan beberapa mahasiswi menyuruh saya pergi ke kamar mandi untuk membasuhnya dengan air mineral. Terdengar banyak tembakan, dan kemudian saya mendengar sebuah ledakan di luar, yang ternyata muncul dari SPBU yang dibakar.
Trisakti tidak memiliki pintu belakang – semua pintu masuk dan keluar menghadap jalan utama yang telah dikelilingi orang dan tentara. Baterai telepon genggam saya mati, dan saya mulai benar-benar takut bahwa hidup saya akan segera berakhir. Di tengah bunyi tembakan, naluri membawa saya ke dinding selatan Trisakti, yang memisahkannya dengan Tarumanegara.
Kampus saya memiliki beberapa pintu keluar ke gang-gang kecil yang terhubung dengan jalan-jalan utama. Beberapa mahasiswa membantu banyak orang yang ingin meninggalkan kompleks, termasuk staf universitas. Mereka menggunakan tubuh sebagai tangga sehingga kami dapat memanjat dinding, dan di sisi lain, beberapa satpam dan mahasiswa Tarumanegara membantu kami.
Saat itu hampir pukul 3 sore, dan saya tidak bisa pulang karena banyaknya tembakan yang masih terdengar. Saya bertahan di pos satpam dekat gerbang depan kampus dengan beberapa mahasiswa lain. Setiap ada bunyi tembakan terdengar, kami langsung merunduk. Air mata saya menetes dan seorang mahasiswi di sebelah saya memeluk saya untuk menenangkan saya.
Tidak ada bajaj yang lewat ketika magrib datang dan saya memutuskan untuk pulang. Gang-gang kosong dan sepi dengan latar belakang asap tebal di sebelah utara. Perjalanan pulang itu rasanya seperti jalan kaki paling panjang seumur hidup saya. Adzan dari masjid di dekat saya membuat hati sedikit lebih tenang. Kemudian saya menyadari bahwa ada seseorang yang mengikuti saya. Ternyata dia adalah seorang mahasiswa Trisakti. Dia tetap menjaga jarak, seperti hanya ingin memastikan saya sampai ke rumah. Saya naik jembatan penyeberangan dan melihat sebuah truk dan SPBU yang masih terbakar. Semua teman kost memarahi saya; salah satu di antara mereka menangis dan memeluk saya ketika dia tahu saya selamat.
Jalan Tol
Situasi bergulir menjadi kerusuhan di banyak tempat. Pusat perbelanjaan Topas (sekarang disebut Roxy Mas Square) dibakar di tengah malam. Kami dapat mendengar ledakan dan teriakan-teriakan dari atap tempat kost. Saya tidak bisa tidur malam itu. Kami terus mendapatkan informasi dari televisi dan radio, tapi karena kami ada di pusat kerusuhan, rasa takut kami membumbung tinggi. Pasar Grogol, yang hanya berjarak 300 meter dari tempat tinggal kami, dijarah habis.
Mulai 14 Mei, dari atap kami dapat melihat asap dan api dari lebih dari 20 tempat. Ketika seorang reporter Radio Sonora melaporkan dari sebuah rumah sakit, dia nyaris tersedu. Laporannya menggugah saya lebih dari berita TV manapun.
Saya mengecek kondisi adik saya yang bersekolah di SMA Kanisius, Jakarta Pusat. Dia tinggal di sebuah rumah kost di dekat rumah presiden, jadi kami pikir dia pasti aman di sana. Saya tidak bisa keluar dari rumah kost karena situasi masih berbahaya dengan kebakaran dan penjarahan yang terus berlangsung. Pada 14 Mei malam, ketua RT mengumpulkan warga untuk membuat rencana pengamanan dan evakuasi. Para mahasiswa/i diminta untuk mengenakan jaket universitas bahkan ketika sedang tidur. Pria-pria berpatroli di sekitar lingkungan tersebut di malam hari dengan dipersenjatai samurai dan parang.
Hari berikutnya, 15 Mei, orang tua saya menelepon beberapa kali karena mereka mendengar desas-desus mengenai pemerkosaan massal. Di tengah tangisan ibu saya, saya bertanya-tanya mengapa saya rasanya tidak setakut itu. Namun saat itu merupakan masa paling gelap dan menyedihkan bagi kami – saya, keluarga, dan teman-teman. Kami tahu bahwa kerusuhan tersebut dipicu oleh kondisi ekonomi dan politik yang buruk, dan seperti biasa kami, sebagai orang Indonesia keturunan Cina, akan selalu menjadi target.
Bergabung
Saya hampir tidak ingat bagaimana saya melewati beberapa hari berikutnya. Tiga hari kemudian, kami menyaksikan televisi bahwa mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR. Saya tidak tahu apa yang merasuki saya, tapi saya pergi ke sana bersama seorang teman. Saya pikir, cukup sudah, saya tidak mau lagi tinggal diam. Saya ingin mengambil bagian dalam perlawanan, betapapun kecilnya peran saya.
Kami adalah satu-satunya penumpang dalam bus yang kami naiki menuju ke sana. Supir bus tampak takjub ketika dia melihat kami. Sampailah kami di gerbang gedung DPR, dua gadis dengan mata sipit dan kulit putih. Tempat itu penuh dengan manusia, dan tidak ada yang terlihat seperti keturunan Cina. Sulit masuk ke dalam kompleks karena ketatnya penjagaan oleh mahasiswa, namun untungnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia menyambut dan membantu kami masuk.
Suasana tegang diiringi turunnya hujan. Tapi saya tidak bisa tidak merasa bangga bahwa saya berpartisipasi dalam revolusi ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, setelah selalu dipanggil “Hei, Cina” dan kata kasar lainnya, saya benar-benar merasa sebagai orang Indonesia. Saya tidak ingat sama sekali bahwa saya merupakan bagian dari minoritas ganda sebagai keturunan Cina dan pemeluk Katolik. Kami semua sama, berteriak tanpa henti, “Reformasi! Reformasi sampai mati!”
Kami datang kembali esok harinya, kali ini saya membawa kamera dan pacar saya. Kami mengambil beberapa foto di dalam gedung. Suasana sangat menyenangkan, karena akhirnya Soeharto memutuskan untuk turun.
Saya pergi dari Jakarta bulan Juni karena harus menjalani operasi lutut dan hanya dapat mengikuti perkembangan selanjutnya di televisi. Tapi saat itu saya telah menjadi orang yang berbeda. Saya mulai membaca banyak buku filsafat dan sejarah, terutama tentang sejarah perlawanan. Entah bagaimana saya kehilangan minat menjadi arsitek terkenal – rasanya sudah tidak perlu lagi. Saya melibatkan diri dalam serangkaian kegiatan urban, termasuk di LSM Rujak Center for Urban Studies yang ikut saya dirikan.
Saya merenungkan kembali kisah Mei 1998 pada 2011, ketika kehamilan saya mencapai tujuh bulan dan ketika saya sedang menyelesaikan bab tentang periode untuk buku Kata Fakta Jakarta. Sangat sulit membaca laporan-laporan Tim Gabungan Pencari Fakta dan buku-buku mengenai kerusuhan Mei: data perkosaan; teori tentang apa yang ada di balik penembakan, pemerkosaan, penjarahan dan kerusuhan; dan bagaimana persaingan antara jenderal-jenderal terkait dengan konflik-konflik tersebut. Saya menangis ketika membaca tentang pemerkosaan yang juga melibatkan anak-anak, dan menghadapi kesulitan memutuskan informasi mana yang sebaiknya menjadi fokus tulisan saya.
Saya tidak pernah melupakan apa yang terjadi pada Mei 1998, dan saya akan terus menceritakan kisah ini sepanjang hidup saya.
Diterjemahkan oleh Leony Aurora dari artikel “May 1998 and How It Changed Me.”