Hamil di Luar Nikah: Pilihan Tidak Sah?
Pilihan setiap perempuan atas rahimnya adalah sah, terlepas dari apa pun status yang dilekatkan padanya.
Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang menganggap pernikahan sebagai satu-satunya jalur resmi untuk bersetubuh tanpa ada rasa bersalah, untuk bisa memaksimalkan organ reproduksi demi menyenangkan hati orang lain, dan bergabung dalam sebuah komunitas “padat karya”.
Tidak dapat dipungkiri, pernikahan kadang menjadi alternatif pilihan bagi individu yang jenuh dengan kesendiriannya, maupun sarana untuk menghalalkan yang (dianggap) haram. Maka, kehamilan di dalam sebuah pernikahan menjadi sesuatu yang dinanti-nanti, dipuja-puja, dan dianggap suci.
Pertanyaan dan pernyataan seperti, “Udah isi belom?”, “Kok belum hamil?”, “Jangan nunda-nunda lho, pamali” dan sebagainya akan ramai memorak-poranda perasaan dan isi kepala pasutri yang baru saja menikah. Terutama, perempuan.
Kenapa? Karena perempuan punya rahim yang diklaim oleh berbagai pihak.
Negara mendisiplinkan rahim dengan undang-undang tentang perkawinan. Agama menertibkan rahim dengan reward & punishment sesuai dengan ayat-ayat dalam kitab suci. Orangtua mengendalikan rahim putri-putri mereka dengan pernyataan pasif agresif berbalut nasihat, “Kami sudah semakin tua, nak. Kami butuh cucu untuk digendong”. Belum lagi keberadaan media sosial, menjual kelucuan balita para selebriti dan membentuk wacana mupeng bagi perempuan: ingin punya bayi lucu juga, ingin kawin, ingin nikah.
Kehamilan bagi perempuan yang sudah menikah merupakan kehormatan. Derajatnya ditinggikan. Berbagai hak istimewa akan ia dapatkan. Semua orang akan tersenyum kepadanya, tanda kepuasan akan sumbangan kemanusiaan yang meramaikan zaman.
Lantas, bagaimana dengan kehamilan yang terjadi di luar pernikahan?
Aib. Mencoreng-moreng nama baik keluarga. Kesalahan terbesar. Dosa. Dan serentetan label lainnya.
Perempuan yang hamil dalam kondisi tidak menikah dianggap sampah. Ingat bagaimana Siti Maryam dikucilkan ketika tengah mengandung Nabi Isa, atau Pope Joan yang seketika melahirkan dalam kamuflasenya sebagai seorang paus (laki-laki)? Itu hanyalah segelintir cerita, bagaimana perjuangan perempuan dalam mengupayakan pilihan untuk kehidupannya sendiri.
Fertilitas yang berpusat pada rahim perempuan juga mendorong sel sperma laki-laki untuk diberi label oleh lingkungan sosial. Suami yang menghamili istrinya dianggap hebat; laki-laki yang menghamili pacarnya dianggap sesat.
Seorang laki-laki yang menghamili pacarnya (di luar nikah) akan diminta “pertanggungjawaban” oleh keluarga si perempuan. Tanggung jawab, label lain dari pernikahan.
Itulah yang akan terjadi ketika hasrat untuk berhubungan seksual menjadi sebuah momok karena butuh sertifikat untuk melegalkannya. Padahal, jelas-jelas hubungan seksual adalah simbiosis mutualisme antara sel telur perempuan dengan sel sperma laki-laki. Keduanya pelaku aktif. Keduanya bertemu dan saling berinteraksi; layaknya dialog, tidak ada satu pun di antara mereka yang pasif.
Terkadang perempuan kehilangan keberanian karena menjadi liyan. Menikah atau tidak menikah menjadi penting untuk menentukan status ibu dan bayi yang dikandungnya. Nyatalah kini, yang mendapat sinar lampu sorot bukan si jabang bayi dan perempuan hamil itu sendiri, melainkan ‘status’ ketika seorang perempuan tengah mengandung janin yang dikehendakinya.
Saya selalu tergelitik dengan pro-choice dan pro-life. Perempuan memiliki modal keberanian untuk memilih, apakah ia akan menghidupkan janin dalam rahimnya, atau mengeluarkannya karena konsekuensi yang ia pikirkan.
Bagaimana jika perempuan itu adalah remaja berusia 18 tahun, baru saja merdeka dari seragam putih abu-abunya, dan tidak memiliki apa pun, kecuali cinta dan keberanian untuk ‘melanjutkan’ kehamilan yang tak direncanakannya, di luar nikah? Sampai kapankah kehamilannya menjadi sebuah pilihan yang tidak sah?
Padahal, tentu saja, pilihan setiap perempuan itu legit, terlepas dari apa pun status yang dilekatkan padanya. Pilihan untuk mengaborsi kandungannya adalah sebuah keberanian, demikian pula dengan menghidupkannya, karena itu berarti ia harus mempersiapkan mental lahir dan batin untuk menjadi seorang ibu, membesarkan seorang calon manusia.
Teruntuk para puan yang berani mengambil sebuah pilihan dalam hidupnya, jangan gentar. Kalian tidak sendirian.
Dewi Fadhilah Soemanagara adalah seorang perempuan berusia 26 tahun yang gemar mempertanyakan tentang kesuburan, dan baru saja memiliki keponakan. Memandangi langit adalah caranya bercengkerama dengan diri sendiri.