Melihat ‘Qanun Poligami’ dan Aturan Terkait Lainnya Lebih Dekat
Melarang negara untuk mengatur dan melegalkan poligami tidak akan mencegah orang berpoligami.
Beberapa minggu yang lalu media sosial ribut soal Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga, yang sering disebut keliru oleh beberapa media, aktivis, dan pejabat sebagai Qanun Poligami. Raqan yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh ini diduga akan melegalkan praktik poligami di Aceh.
Raqan Hukum Keluarga Provinsi Aceh bukanlah yang pertama dan satu-satunya produk hukum yang mengatur poligami di Indonesia. Sejak tahun 1974, hukum di Indonesia telah melegalkan poligami melalui Undang-Undang Perkawinan. UU ini menyebutkan poligami diperbolehkan dan diakui negara jika mendapat izin pengadilan.
Namun UU Perkawinan ini melihat setiap laki-laki berbeda karena tidak semuanya bisa mendapatkan izin poligami. Pengadilan hanya memberikan izin poligami untuk laki-laki yang istrinya mengalami salah satu kondisi berikut: tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, masih ada yang harus dipenuhi oleh laki-laki jika ingin poligami, yaitu mampu menafkahi istri-istri dan anak dari perkawinan poligami itu.
Selain UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur poligami bagi umat Islam di Indonesia. Jika UU Perkawinan tidak memberi batas berapa perempuan yang boleh dinikahi laki-laki, KHI memperbolehkan laki-laki memiliki istri paling banyak empat orang secara bersamaan. Ketentuan KHI ini diikuti dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh laki-laki, yaitu harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Bagaimana mengukurnya? Mungkin bisa ditanya kepada para hakim yang pernah memberi izin poligami.
Sama seperti UU Perkawinan, KHI juga menyatakan poligami sah jika sudah mendapatkan izin dari pengadilan agama. Perkawinan poligami tanpa izin dari pengadilan agama tidak diakui oleh negara dan bisa dibatalkan.
Baca juga: Poligami: Ketika Nafsu Menunggangi Agama
Kembali ke Raqan Hukum Keluarga, apakah aturan ini akan melegalkan poligami? Ya, sama seperti UU Perkawinan dan KHI, Raqan ini akan melegalkan poligami. Ada ketentuan baru tentang poligami yang diatur Raqan ini, namun tidak signifikan, yaitu laki-laki yang ingin poligami harus membawa surat keterangan dokter ahli yang menyatakan bahwa istri memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri tidak dapat melahirkan keturunan. Surat keterangan dokter ahli ini tidak diatur oleh UU Perkawinan atau KHI.
Selain mengatur soal poligami, Raqan ini juga mengatur soal syarat menikah. Raqan ini menaikkan batas usia menikah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun. Raqan ini menyebutkan bahwa calon mempelai yang belum berusia 19 tahun harus mendapatkan dispensasi pernikahan dari Mahkamah Syar’iyah (sebutan khusus untuk pengadilan agama di Provinsi Aceh). Bandingkan dengan UU Perkawinan dan KHI yang sama-sama mengatur batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan hanya 16 tahun. Langkah ini patut diapresiasi mengingat susahnya meyakinkan pemerintah bahwa anak perempuan harus didukung untuk punya banyak pilihan selain menikah.
Apa yang lebih penting daripada meributkan Raqan Hukum Keluarga?
Sebenarnya cukup rumit melakukan poligami sesuai prosedur dan ketentuan yang diakui negara. Pengadilan Agama Madiun misalnya, mensyaratkan 10 hal bagi laki-laki yang mengajukan permohonan poligami. Mengurus akta perkawinan atau akta perceraian di pengadilan saja sulit, apalagi harus bolak-balik ke pengadilan mengurus permohonan poligami yang syaratnya lebih banyak.
Selain itu, tidak semua permohonan dikabulkan pengadilan. Mahkamah Agung mencatat ada 1.033 permohonan izin poligami sepanjang tahun 2018, dan ada 867 yang dikabulkan. Tidak heran jika akhirnya marak perkawinan poligami tanpa izin pengadilan. Perkawinan poligami tanpa izin pengadilan ini membuat perempuan dan anak lebih rentan untuk kehilangan hak-hak sipil dan perdatanya dibandingkan perkawinan poligami yang sah dan diakui oleh negara.
Perempuan yang bercerai dari perkawinan poligami tanpa izin pengadilan tidak mempunyai hak untuk menuntut nafkah dari mantan suaminya. Anak dari perkawinan ini disamakan statusnya dengan anak luar kawin. Akibatnya ia hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Anak bisa memperoleh hubungan keperdataan jika bapaknya mengakuinya di muka pengadilan, proses persidangan yang harus dilewati.
Baca juga: Diskresi Pemerintah untuk Batasi Poligami
Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 menyebutkan, “Permohonan isbat (pengesahan nikah) poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk menjamin kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal usul anak”, artinya negara tidak akan mengakui perkawinan poligami tanpa izin dari pengadilan.
Negara juga tidak memberikan Kartu Keluarga pada pasangan yang pernikahannya tidak diakui oleh negara, termasuk pasangan poligami tanpa izin pengadilan ini. Dampaknya apa? Walaupun memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan bantuan sosial atau jaminan sosial dari negara, keluarga dan anggota keluarga ini akan sulit sekali menerima bantuan karena tidak tercatat dalam basis data kependudukan.
Sebelum ada peraturan yang melegalkan poligami, praktik poligami ada di masyarakat, diakui dan diyakini oleh sebagian pemeluk agama mayoritas di negeri ini, termasuk perempuan. Bagi saya setiap orang boleh terlibat dalam perkawinan poligami jika memang menghendakinya. Sayangnya, poligami sering dianggap persoalan yang hitam-putih oleh banyak orang. Pandangan buruk soal poligami muncul karena praktik ini kerap disalahgunakan oleh laki-laki untuk menutupi perselingkuhan dan ketidaksetiaan pada istri, atau menghindari tanggung jawab sebagai suami dan orang tua.
Melarang negara untuk mengatur dan melegalkan poligami tidak akan mencegah orang berpoligami. Justru jika poligami tidak diatur maka akan semakin banyak perkawinan bawah tangan yang merugikan perempuan dan anak. Namun, aturan tentang poligami yang berlaku saat ini masih belum adil bagi perempuan. UU Perkawinan memandang perempuan sebagai objek yang bisa diganti begitu saja ketika dianggap tidak berfungsi. Itulah mengapa mengubah UU Perkawinan adalah hal yang penting di negara ini.