Dulu Obrolan Ringan, Kini Argumen Politik
Perdebatan yang berubah menjadi adu mulut yang panas mengenai para calon presiden adalah hal yang umum dalam pemilihan presiden yang sangat memecah belah tahun ini. Namun itu bisa menjadi sesuatu yang baik bagi Indonesia.
Layaknya kebanyakan orang Indonesia yang sangat bergantung pada ponsel pintar untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, saya tergabung dalam beberapa kelompok Whatsapp, sebuah aplikasi pesan instan.
Salah satunya adalah grup teman-teman di SMA, yang mayoritas anggotanya adalah ibu rumah tangga kelas menengah atas, dan ada pula wanita karir.
Percakapan kami biasanya berkisar pada temu janji atau berkaraoke di akhir pekan, rencana liburan, atau seputar anak-anak. Baru-baru ini, topik pembicaraan kami berubah menjadi pembicaraan politik yang cukup hangat.
Soal pemetaan, grup ini tidak berbeda dengan Indonesia, terbelah dua. Sebagian mendukung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan yang lain memberi dukungan kepada mantan jenderal Angkatan Darat Prabowo Subianto.
Perpecahan politik yang berujung pada perselisihan dan bahkan permusuhan mungkin sudah biasa terjadi di Amerika Serikat atau di negara-negara demokrasi yang sudah mapan. Di Indonesia, ini adalah fenomena baru, yang menurut saya sesuatu yang baik bagi negara kita. Meski pemilihan presiden secara langsung sudah berlangsung tiga kali, tapi baru kali ini kita hanya memiliki dua calon presiden.
Debat politik dimulai saat para pendukung Jokowi, terkejut mengetahui ada pendukung Prabowo diantara kami.
Seorang teman bertanya, “Apa kamu sudah lupa (peristiwa) 1998?”
Seorang pendukung Prabowo dengan cepat menjawab, “Tidak, saya tidak lupa. Saya hanya melihatnya dari perspektif yang berbeda.”
Peristiwa yang dimaksud adalah demonstrasi pro-demokrasi dan kerusuhan anti-Cina yang menyebabkan jatuhnya diktator Suharto pada 1998. Atas perintah Prabowo, yang saat itu menjadi komandan pasukan khusus Kopassus, Kopassus menculik dan menyiksa beberapa aktivis pro-demokrasi. Beberapa korban akhirnya dibebaskan, bahkan ada yang bergabung dengan partai politik yang didirikan Prabowo, tetapi tidak sedikit yang tidak pernah terdengar lagi kabarnya.
Prabowo yang dipecat dari militer pada 1998 -menyusul turunnya sang mertua Presiden Soeharto – selalu menyangkal bahwa ia lah dalang peristiwa penculikan ini. Prabowo berkilah ia hanya menjalankan perintah atasan untuk menangkap orang-orang yang dianggap sebagai teroris pada saat itu.
Berkat kerja keras mesin politik berdana besar yang digunakan untuk membangun pencitraaannya, pendukung Prabowo mempercayai hal ini.
Sementara itu, survei awal menunjukkan bahwa Joko Widodo, yang memimpin dalam survei tersebut, dikenal sebagai pemimpin yang kurang artikulatif dan kepopulerannya didapat dari citranya sebagai seorang yang bersih dan rendah hati.
Blusukan Jokowi ke daerah kumuh, pasar tradisional dan ke kawasan bisnis yang dilanda banjir, saat menjabat Gubernur Jakarta menarik banyak simpati dari masyarakat. Namun ketidakmampuannya untuk menjelaskan visi besar sebagai presiden dalam debat nasional di televisi, dianggap sebagai kelemahan yang bisa mempersempit keunggulannya atas Prabowo.
Dari sisi pengaruh media, Jokowi juga tertinggal dari lawannya. Saat hukum Indonesia mengharuskan media, khususnya televisi, memberi porsi pemberitaan yang berimbang kepada semua calon presiden (capres), jaringan televisi yang pemiliknya berafiliasi dengan capres tertentu dengan berani mengambil keputusan untuk berpihak pada capres tersebut.
Jokowi hanya didukung oleh satu stasiun televisi yang rating-nya di bawah tiga stasiun televisi yang berpihak pada kubu Prabowo.
Para capres ini juga bersaing di media sosial. Jokowi memiliki 1,6 juta pengikut Twitter, sementara pengikut Prabowo jumlahnya kurang dari satu juta orang. Namun baru-baru ini Prabowo berbangga karena Facebook-nya di ‘like’ lebih dari 6 juta orang, sementara Jokowi di Facebook memiliki 1,9 juta ‘like’.
Yang membuat masyarakat Indonesia sangat antusias, di tengah ‘perselisihan’ ini adalah untuk pertama kalinya sejak kita memasuki era demokrasi, Indonesia benar-benar mempunyai ikatan yang kuat dengan para capresnya.
Tentunya tidak sedikit orang yang sinis terhadap politilkus, yang menganggap mereka adalah orang-orang yang lapar uang dan rentan korupsi. Mari kita realistis saja, tidak ada satu presiden pun yang bisa menghentikan praktik-praktik suap atau bentuk korupsi lainnya yang sudah sangat mewabah dari tingkat pemerintahan terendah hingga yang tertinggi.
Tapi kali ini, keyakinan masyarakat yang kuat terhadap capres Jokowi maupun Prabowo membuat mereka percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi.
Pendukung Jokowi yang percaya bahwa perubahan bukanlah suatu yang mustahil karena karakternya sebagai orang yang jujur
Pendukung Prabowo percaya adanya perubahan karena dia adalah pemimpin yang kuat dan tegas, sehingga sulit bagi siapa untuk tidak mengikuti perintahnya.
Perubahan-perubahan apa saja yang mereka janjikan jika terpilih, nantinya? Keduanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi, menghentikan korupsi, pembangunan infrastruktur, adalah beberapa dari janji yang mereka sampaikan.
Untuk mencapainya, praktis tidak ada perbedaan ideologis diantara keduanya – namun pada kenyataannya, keduanya telah dituduh terlalu sosialis dalam kebijakan kesejahteraan, dan protektif dalam masalah-masalah yang menyangkut perdagangan luar negeri dan investasi.
Jika retorika mereka lebih dicermati, kedua calon mengatakan mereka ingin terus menaikkan upah minimum, sementara pada saat yang sama juga akan menaikkan pertumbuhan industri padat karya.
Keduanya ingin perusahaan asing datang dan membayar untuk proyek-proyek besar yang tidak mampu didanai pemerintah, tetapi mereka juga memastikan bahwa pihak asing tidak akan menuai hasil yang besar atas investasi mereka. Semoga saja berhasil.
Ada pula janji untuk memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM), sesuatu yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, tapi memiliki risiko politik. Siapa yang bisa menjamin baik Jokowi maupun Prabowo bisa melakukannya tanpa perlawanan yang kuat di parlemen dan aman dari demonstrasi masyarakan seperti yang pernah dialami pemerintahan saat ini?
Tapi kembali ke mengapa menurut saya ini adalah hal yang baik, dengan segala bentuk perhatian dan dengan setiap janji yang direkam pada media arus utama dan media sosial, ada harapan bahwa siapa pun yang menang akan selalu diawasi oleh 250 juta rakyat Indonesia yang tidak akan membiarkan dia melupakan janji-janjinya.
Jika ia lupa, orang Indonesia yang saat ini lebih terdidik secara politis akan memastikan bahwa dia tidak akan terpilih lagi di periode berikutnya. Dan inilah yang mendewasakan demokrasi di Indonesia.
Tentang Alice B
Alice adalah pecandu berita dan mengerjakan apa yang ia cintai. Jika tidak sedang menonton TV atau berselancar di Internet, ia mencoba membakar setidaknya 600 kalori per hari dengan berlari, bersepeda atau berenang. Namun ia sering gagal melakukannya.
Diterjemahkan oleh Lenita Sulthani dari artikel “Good-bye Small Talks, Hello Political Arguments!”