Otobiografi ‘Educated’: Menawar Patriarki Lewat Pendidikan Tinggi
Sebuah buku otobiografi dari Tara Westover ingin melawan patriarki lewat pendidikan.
Saya tidak membela sejarawan Tara Westover. Ketika saya membaca tulisan seorang feminis, Micki McElya, yang mengkritik memoarnya karena pengetahuan Westover tentang feminisme dianggap dangkal dan melabeli Westover sebagai feminis ambivalen di Boston Review, saya tersentak tapi juga jadi merenung dan memahami.
Perlukah perempuan melarikan diri ke kalangan yang terdidik terdahulu untuk mengungkapkan pengalamannya menawar dan melawan patriarki di dalam keluarga?
“In families like mine there is no crime worse than telling the truth (Di keluarga seperti keluargaku, tidak ada kejahatan yang lebih buruk daripada mengatakan kebenaran),” papar Westover dalam sebuah wawancara oleh The Guardian di tahun 2018.
Educated diterbitkan tahun lalu, menjadi perbincangan dan bahkan meraih berbagai penghargaan di Amerika. Namanya pun melesat sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di tahun 2019 versi majalah Time.
Didukung penuh oleh profesor pembimbingnya di Cambridge University, Westover menulis memoarnya dengan melakukan riset tambahan bersama saudara-saudaranya. Kendati demikian, tulisannya menuai kontroversi yang tidak lain datang dari orang tuanya sendiri. Ia digugat di pengadilan karena dianggap menulis spekulasi bahwa ayahnya menderita gangguan bipolar dan ibunya mengalami kecelakaan otak.
Di bukunya, tersaji jelas bahwa kuasa atas tawar menawar keputusan keluarga itu juga berpengaruh dalam dinamika hubungan orang tua dengan anak. Dinamika tawar-menawar di dalam rumah tangga tidak hanya dialami antara suami dan istri.
Meskipun saya terganjal hak istimewa Westover sebagai perempuan kulit putih dan perkenalannya terhadap dunia feminisme seolah-olah seperti angin lalu, namun pilihan dia untuk keluar dari keluarganya adalah pilihan personal dan itu sangat ideologis. Usahanya untuk membantu perempuan-perempuan di keluarganya membuat ia frustrasi, keluar masuk konseling kejiwaan di universitas, dan bahkan pernah gagal di ujian disertasinya.
Westover membagi ceritanya menjadi tiga babak: Babak pertama berkisah ketika ia dididik di keluarganya, babak kedua tentang kisah jatuh bangunnya di universitas sebelum menuju Cambridge, dan babak ketiga adalah ketika ia menyelesaikan PhDnya di Cambridge dan mengalami konflik keluarga.
Jangan membuang percuma
Pesan Westover jelas di sini: Jangan pernah menganggap remeh akses pendidikan, wahai kelas menengah.
Terlahir sebagai anak dari orang tua yang penganut Kristen Mormon yang konservatif; dalam keluarga petani di Idaho, AS; tanpa akte kelahiran; dengan didikan yang otoriter; diperkerjakan oleh ayahnya di junkyard; menghadapi ibunya yang sangat takut dengan ayahnya, membuat ia percaya bahwa pendidikan adalah jalannya keluar dari rantai kekerasan di keluarganya.
Terus terang, babak pertamanya adalah cerita yang paling membosankan. Ritmenya sangat pelan. Tapi tampaknya, ini keinginan Westover untuk membangun cerita dari usaha yang pelan-pelan tapi persisten. Bagaimana sang ibu yang merupakan bidan desa, dan bagaimana ia dididik di rumah bersama enam saudaranya dengan nilai-nilai yang konservatif, dari menganggap konsumsi obat itu adalah dosa, tidak mempercayai institusi pendidikan, etika berbusana hingga label “whore (pelacur)” yang didapatkannya ketika ia hanya bergaul dengan teman laki-laki sebayanya, secara pelan-pelan diperkenalkan oleh Westover dari narasi Westover yang dulu, yang belum mengenal institusi pendidikan yang formal dan dikenal sebagai pemberontak di keluarga.
Namun Westover tidak sendiri. Kakak laki-lakinya yang sudah dianggap pemberontak, Tyler, meyakinkan Westover bahwa pendidikan mungkin bisa menjadi pelariannya dan memperbaiki keadaan.
Memoar ini juga memperlihatkan pergulatan batin Westover untuk sekolah. Sebab sekolah adalah institusi yang dianggap bermasalah oleh keluarganya. Hingga akhirnya ia memberanikan untuk mengambil tes ACT (semacam ujian paket C) yang membuatnya bisa berkuliah di Brigham Young University (BYU) di Utah.
Baca juga: Bongkar: Siasat Feminis dalam Seni dan Budaya di Indonesia
Sabar juga bentuk perlawanan
Di sini kita akan membaca sosok Westover yang sabar dan cenderung patuh pada norma, sekalipun itu merugikannya. Tapi dengan kesabarannya meyakinkan orang tuanya, ia melakukan resistensi tersembunyi. Padanya, kita teringat konsep sabar bagi perempuan yang taat dari profesor Antropologi AS, Saba Mahmood, bahwa sabar adalah bentuk resistensi yang persisten dalam jangka panjang namun tetap membawa agenda yang transformatif.
Ketika profesor ekonomi Bina Agarwal dari India menguraikan salah satu determinasi kekuasaan di dalam hubungan tawar menawar adalah akses pendidikan, Westover melakukannya. Pendidikan adalah pilihan yang harus diperjuangkan Westover, baik secara ideologis maupun secara keuangan. Di tengah norma keluarga yang tidak mempercayai pendidikan formal, akhirnya ia keluar dari rumah. Pilihan untuk lanjut ke universitas, didukung oleh keluarganya.
Agarwal mengatakan bahwa kekuasaan tawar menawar di luar rumah justru meningkatkan kekuasaannya di dalam rumah. Westover tahu betul bahwa kegigihannya di luar rumah mungkin akan memengaruhi fallback position-nya di dalam rumah. Tidaklah mengherankan narasi perjuangannya dari mendapatkan pujian sebagai penulis esai terbaik di Universitas Cambridge hingga menjadi Doktor Tara Westover di universitas yang sama, selalu dibenturkan pada kehidupan personalnya di Idaho.
Begitulah narasi kehidupan, kita tidak akan bisa membedakan antara kehidupan privat dan publik, karena keduanya memang saling berpengaruh.
Pesan Westover jelas di sini: Jangan pernah menganggap remeh akses pendidikan, wahai kelas menengah.
Pendekatan kooperatif ke non-kooperatif
Bukunya mengantar pada kisahnya yang berusaha memperlihatkan bahwa pendidikan tidak akan memengaruhi penghormatannya terhadap keluarga hingga pada resistensi yang serba terbuka. Di babak pertama dan kedua, Westover menuliskan berbagai macam strategi kooperatif agar negosiasi pilihannya bisa diterima, dan tampaknya kemenangan diraihnya ketika ibunya mau datang ke upacara wisuda dan ayahnya yang akhirnya mau mengunjunginya di universitas. Namun di tengah pertarungan akademis, pergolakan Westover di dalam keluarga tidak berhenti hingga akhir cerita.
Dan seperti yang kita tahu, tidak ada kemenangan dan kekalahan yang abadi.
Yang menarik, Westover menjelaskan konsep hegemonic masculinity seperti celotehan temannya yang sedang mengantre di mesin kopi di Cambridge. Namun dalam memoarnya, kita mengetahui bahwa seluruh kisahnya dan bagaimana Westover menjadi Westover dibentuk dari norma yang melegitimasi maskulinitas yang hegemonik; norma yang membuatnya diam, diam-diam melawan, hingga melawan terbuka. Ayahnya dikonsepsikan sebagai kepala keluarga yang titahnya harus diikuti. Tampaknya, Westover ingin mengingatkan kita bahwa konsep tidak akan bermakna tanpa direnungi melalui pengalaman. Meaning making–making meaning.
Baca juga: Menjadi Feminis: Menyebarkan Kesadaran atau Memaksakan Kepercayaan?
Dukungan keluarga juga mendongkrakkan posisi tawar seseorang di dalam keluarga. Westover tidak tinggal diam ketika ia mendapatkan surat dari iparnya yang meronta-ronta meminta bantuan dia dan ibunya untuk mengubah kesadaran abangnya, Shawn, untuk berhenti melakukan kekerasan.
Berbagai macam cara ia lakukan, hingga surat Westover dengan keras dikirimkan pada orang tuanya dan aksesnya terhadap keluarga ditutup rapat. Ia dianggap berbahaya oleh keluarganya. Kondisi ini membuatnya pernah gagal di ujian PhD hingga ia harus keluar masuk ruang konsultasi kejiwaan. Penerimaan diri adalah proses yang harus dilalui.
“All my studying, reading, thinking, travelling, had transformed me into someone who no longer belonged anywhere (Segala pembelajaran, bacaan, pemikiran, dan perjalananku membuatku menjadi seseorang yang tidak berada di manapun),” tulis Westover.
Hingga ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari keluarganya. Dengan gamblang, ia menulis bahwa keputusannya bukan untuk menyerah, melainkan mengambil posisi terang: Bahwa patriarki itu harus dilawan.