Politics & Society

Menemukan Harmoni dalam Budaya Jawa, Feminisme dan Meditasi Vipassana

Meditasi Vipassana adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengembalikan saya pada pitutur luhur Jawa dan menemukan feminisme dalam paduannya..

Avatar
  • April 12, 2017
  • 8 min read
  • 1000 Views
Menemukan Harmoni dalam Budaya Jawa, Feminisme dan Meditasi Vipassana

Saya tertarik menjalani meditasi Vipassana berkat seorang teman yang sudah lebih sering mengikutinya.
 
Vipassana adakah sebuah rangkaian meditasi yang diajarkan oleh Gotama sang Buddha untuk mengenal alam diri kita sendiri dengan realitas yang ada untuk mengatasi impermanence (ketidakpastian), suffering (penderitaan) dan unsatisfactoriness (ketidakpuasan). Dapat disimpulkan meditasi ini menghilangkan penderitaan kita akibat ketergantungan atau candu pada suatu hal dengan mengenali perasaan tersebut. Meditasi ini terus diajarkan hingga dipopulerkan kembali oleh S.N. Goenka.
 
Yang membuat saya tertarik pada praktik meditasi ini adalah karena dilakukan dengan tidak berbicara dan lepas dari dunia luar selama 10 hari, dengan bermeditasi minimal enam hingga 10 jam per hari. Aktivitas ini tidak dipungut biaya. Akomodasi dan logistik disediakan, kita hanya menyumbang seikhlasnya saja. Terlepas dari fakta bahwa Vipassana merupakan ajaran Gotama dan dipraktikkan dalam agama Buddha, meditasi ini dapat dilakukan oleh siapa saja dan tidak ada bacaan tertentu yang harus kita ucapkan sehingga bersifat universal.
 
Awalnya terdengar intimidatif karena kita terkesan menghilang selama 10 hari dan terus terang saya agak curiga apakah ini penyebaran paham-paham radikal atau proses ‘pencucian otak’. Sebelum mendaftarkan diri saya sempat meriset panitia penyelenggara dan ternyata rangkaian meditasi ini tidak diselenggarakan oleh institusi agama tertentu karena sifatnya yang universal dan tidak meraih keuntungan sedikit pun kecuali untuk penyelenggaraan kegiatan saja. Nama penyelanggaranya adalah Dhamma dan sudah memiliki 171 cabang di dunia (termasuk Indonesia yaitu Dhamma Java di Bogor) dan sudah beroperasi sejak lama. Saya pun akhirnya yakin untuk berangkat dan mengikuti Vipassana di Phitsanulok, Thailand.
 
Saya kembali bertanya-tanya kepada teman-teman yang pernah mengikuti meditasi ini namun mereka tidak mau banyak berbicara karena takut saya berharap terlalu banyak. Mereka benar. Saya juga tidak akan mengisahkan terlalu rinci mengenai rangkaian proses tersebut, karena meditasi Vipassana sendiri bertujuan untuk mengatasi rasa ketidakpuasan yang berujung pada penderitaan seseorang.
 
Selama 10 hari saya diinstruksikan untuk fokus pada pernapasan dan sensasi yang terjadi pada tubuh. Saya tidak berbicara pada siapa pun kecuali pada panitia terkait kebutuhan akomodasi. Selama itu pula saya mengobervasi semua perasaan dan sensasi yang ada, entah itu perasaan marah, senang, sedih, serta sensasi yang terjadi pada tubuh seperti kaki kesemutan, empasan angin, keringatan, geli, gatal dan lain-lain. Setelah itu kami tetap diminta diam dan terus mengamati. Jika timbul rasa marah atau kesal, kita diperbolehkan istirahat dan keluar dari ruangan meditasi.
 
Dengan semua rangkaian emosi dan sensasi yang kita rasakan, kemudian apa? Kemudian kita tetap mengamati dan memahami kejadian yang terjadi pada kita tanpa memberikan respon apa-apa. Rasa-rasa emosi yang bergejolak itu akan terasa hingga ke akarnya. Hal-hal seperti kegelisahan dan ketidaknyamanan akan muncul ke permukaan dan kita tetap diminta untuk diam, mengamati dan memahami realitas perasaan itu sendiri.
 
Seperti yang dialami banyak orang, saya sempat kehilangan konsentrasi. Pikiran saya melantur ke mana-mana dan aneka pertanyaan yang menjadi kegelisahan saya saat itu berkecamuk di kepala. “Kenapa begitu banyak penderitaan di muka bumi? Kenapa manusia terus berperang? Kenapa banyak laki-laki yang menindas kaum perempuan? Kenapa banyak perempuan yang tidak boleh berperan aktif dalam memperoleh kedamaian? Kenapa laki-laki sering merasa terintimidasi oleh eksistensi perempuan?” Dan seterusnya.
 
Dalam kontemplasi selama meditasi, saya merasa mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan mengenai patriarki, yakni karena laki-laki tidak dapat mengatasi perasaan yang mereka rasakan sehingga demi memuaskan egonya, mereka merasa perlu mendominasi dan mendiskriminasi perempuan.
 
Dalam dunia patriarki, eksistensi perempuan dianggap hina dan dosa dan tidak sesuai ajaran agama yang dianutnya. Padahal tidak demikian halnya. Ssetiap ajaran agama memiliki nilai-nilai feminisme yang mengangkat kesetaraan dan keadilan untuk perempuan. Hanya saja narasi agama selalu dilakukan oleh laki-laki dan semua dilakukan untukmemuaskan ego lelaki semata.
 
Karena  selama meditasi banyak istilah yang mirip dengan bahasa Jawa seperti dhukka, samadhi  dan sila, benak saya berlari ke masa kejayaan Majapahit dimana kepercayaannya saat itu adalah Buddhisme. Vipassana yang diajarkan oleh Gotama sang Buddha ini masih melekat pada budaya orang Jawa hingga hari ini. Sebagai orang keturunan Jawa saya menemukan kaitan antara Vipassana, feminisme dan budaya Jawa. 
 
Vipassana mengajarkan kita untuk tidak terlalu banyak berekspektasi atau terobsesi pada suatu hal karena ekspektasi yang tidak menemui realitas dapat membuat kita kecewa dan menderita. Hal ini sama dengan pitutur luhur Jawa yaitu Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadoyan lan Kemareman (jangan terobsesi atau terkungkung dengan kedudukan, harta atau materi dan kesenangan duniawi), dan Aja Ngangsa-Angsa, Mundhak Miyar Miyur (jangan terlalu banyak keinginan, bersikap wajar dapat membantu orang hidup seimbang).
 

Dominasi patriarki merupakan hasil dari ketidakpuasan dan ekspektasi yang berlebihan dan tidak sesuai kenyataan sehingga dalam mengatasi ketidakpuasannya, hegemoni patriarki cenderung mengkotak-kotakkan manusia untuk mencapai kekuasaannya.

Jika kita dapat bersikap wajar pada hal-hal tersebut maka kita dapat menghindar dari penderitaan akibat kekecewaan karena realitas tidak sesuai dengan harapan. Obsesi yang berlebihan terhadap kedudukan, harta dan materi juga merupakan masalah feminisme yang disebut dengan Classism karena sering terjadi diskriminasi dan kesenjangan antara yang kaya dan miskin, antara yang normal dan difabel, antara perempuan dan laki-laki, antara kulit putih dan kulit hitam atau yang gelap, antara yang seagama dan yang tidak seagama atau yang tidak beragama sekali pun. Classism sangat erat kaitannya dengan patriarki karena menempatkan manusia berdasarkan kelasnya merupakan alat kekuasaan untuk menekan dan mengopresi yang bukan golongannya. Dan feminisme merupakan gerakan yang melawan penekanan tersebut.
 
Ada pitutur lain yang berhubungan dengan kekuasaan yaitu Aja Ambegya Siya (jangan sewenang-wenang kepada orang lain meskipun benar dan berkuasa, dan Aja (ng)Gugu Karepe Dhewe (jangan senang berbuat seenaknya sendiri). Feminisme juga tidak mendukung sikap kelompok yang mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan kelas karena ada sikap dominasi yang tidak adil terhadap sesama manusia.
 
Dapat disimpulkan bahwa dominasi patriarki merupakan hasil dari ketidakpuasan dan ekspektasi yang berlebihan dan tidak sesuai kenyataan sehingga dalam mengatasi ketidakpuasannya, hegemoni patriarki cenderung mengkotak-kotakkan manusia untuk mencapai kekuasaannya.
 
Penderitaan akibat ketergantungan
 
Hal lain yang diajarkan Vipassana adalah mengartikan penderitaan yang diakibatkan oleh ketergantungan atau candu. Salah satu candu sehari-hari di zaman modern ini adalah candu terhadap telepon genggam dan internet. Kita tidak pernah memahami bahwa ketika kita terpisah dengan dunia maya atau telpon genggam kita merasa sangat menderita. Penderitaan kecil seperti ini yang sering kita lewatkan tanpa kita sadari. 
 
Candu lain adalah bergosip atau mencemooh. Banyak individu yang merasa untuk perlu ikut dalam bagian dari lingkaran sosial kita harus mau ikut mencemooh dan menjatuhkan orang lain. Dalam beberapa kasus sering kita temui perempuan yang merasa perlu untuk menganggap dirinya superior karena dia iri atau tidak suka atau membenci perempuan lain sehingga untuk merasa puas dan merasa dirinya lebih baik, mereka menjatuhkan perempuan lain. Hal ini disebut dengan misoginisme terinternalisasi.
 
Dalam budaya pitutur luhur Jawa ada sebutan Aja Metani Alaning Liyan dan Aja Ngatur Alaning Liyan yang berarti jangan mencari-cari kesalahan atau keburukan orang lain. Ini terkait juga dengan feminisme yang sangat tidak menyukai sikap body shaming yaitu menjatuhkan individu lain karena bentuk tubuhnya, atau shaming (sikap mempermalukan) lainnya karena feminisme itu sendiri mejunjung tinggi keberagaman serta membebaskan perempuan dari idealitas tubuh sempurna.
 
Sama halnya dengan candu manusia untuk merisak seseorang. Manusia perlu merasa superior dalam segala hal sehingga jika mereka melihat seseorang yang tidak seperti idealnya dia, dia merasa perlu menunjukkan superioritasnya demi kepuasan tersendiri. Sehingga demi merasa puas dan mendapat sanjungan ia merasa perlu menjatuhkan orang lain.
 
Dalam pitutur luhur Jawa ada pepatah Aja Drengki Wong Urip Sabumi (jangan dengki melihat orang lain senang atau bahagia), Aja Meri, Mundhak Pepes Ati (jangan iri hati, nanti mudah patah semangat), dan Aja Dhawen Yen Kepengin Kajen (jangan suka menghina kalau tidak ingin dicela dan dihina orang lain), serta Aja Senang Gawe Rusaking Liyan (jangan senang membuat kerusakan terhadap orang lain). Feminisme juga memahami relasi kekuasaan antara yang ingin merasa superior karena ia iri dan tidak puas dengan dirinya sehingga untuk membuktikan superioritasnya seseorang perlu menunjukkannya dengan mencela orang lain.  
 
Pepatah lain adalah Aja Rumangsa Bisa, Nanging Kudu Bisa Rumasa atau jangan merasa bisa, tetapi harus bisa merasa. Seseorang yang baik tidak boleh merasa serba bisa, tetapi harus bisa menyadari kalau setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam Vipassana kita diajari untuk menyadari pentingnya kita memahami dan mengakui perasaan dan sensasi yang terjadi pada diri kita serta kapasitas dan kemampuan kita. Hal ini sejalan dengan feminisme yang juga menyadari pentingnya manusia mengakui kapasitasnya, karena feminisme sendiri juga tidak memaksakan individu untuk mematok dirinya pada sebuah standar ideal.
 
Seusai menjalani 10 hari meditasi Vipassana, saya memang tidak rajin melakukan meditasi itu dan memilih untuk menerapkan prinsipnya pada kehidupan sehari-hari. Walaupun terkadang masih lepas kendali, saya akhirnya bisa memahami perasaan saya sendiri dan menghindari hal-hal yang dapat membuat saya makin menderita atau sedih. 
 
Jika manusia baik perempuan ataupun laki-laki dapat memahami rasa-rasa yang dia alami secara nyata dan dapat menindaklanjutinya dengan berpikir logis tanpa menyakiti sesama manusia maka dunia akan menjadi lebih baik. Vipassana memberikan jalan dalam memahami perasaan yang terjadi dalam hidup kita, dan feminisme serta pitutur luhur Jawa membantu dalam menyikapi perasaan-perasan tersebut karena keduanya menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan saling menghargai individu yang berbeda, serta tidak memaksakan individu lain untuk mengikuti idealitas individu atau kelompok lain.
 
Bagi saya meditasi Vipassana adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengembalikan saya pada pitutur luhur Jawa dan menemukan feminisme dalam paduannya.
 
Dea Safira Basori adalah kelahiran Jawa yang senang melakukan eksplorasi jiwa mengalahkan segala rintangan untuk menemukan hasrat, hidup dan cinta. Sekarang sedang menyelesaikan studinya di kedokteran gigi dan mempelajari tarian tradisional Jawa serta menaruh minat pada isu perempuan, hubungan internasional dan kebijakan luar negeri. Ia dapat disapa di akun twitter @DeaSB dan situsnya di www.deasafirabasori.com.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Dea Safira Basori

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *