20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan
Tiap tahun harapan keluarga korban Tragedi Mei 1998 sama, bahwa pemerintah akan memperhatikan mereka.
Minggu pagi itu, 13 Mei 2018, tiga ibu yang didampingi beberapa kerabat berkumpul di depan Mal Citra Klender, Jakarta Timur. Dua puluh tahun yang lalu, mal yang sebelumnya bernama Yogya Plaza itu menjadi salah satu lokasi dari puluhan titik kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya pada Tragedi Mei 1998. Bangunan mal terbakar habis, memanggang orang-orang yang terjebak di dalamnya.
Para ibu ini membawa sekantung besar bunga tabur dan foto anak-anak mereka yang menjadi korban. Salah satu dari ibu ini adalah Maria Sanu, yang membawa foto hitam putih berbingkai dari mendiang anak laki-lakinya, Stevanus Sanu.
Stevanus masih berumur 16 tahun saat kerusuhan di Mal Citra Klender terjadi. Pada 14 Mei 1998, setelah merendam pakaiannya ia pamit pergi main ke mal. Itulah terakhir kalinya Maria bisa melihat anak lelakinya.
“Sudah tiga hari Vanus enggak pulang, akhirnya kepala lingkungan membawa kartu pelajarnya ke Romo Sandy (aktivis hak asasi manusia Sandyawan Sumardi). Ibu juga sudah tiga hari enggak mendapatkan kabar tentang Vanus. Di tayangan televisi sudah sekian banyak korban,” ujar Maria.
“Di belakang sudah ada yang teriak dan nangis. Wah, kena nih Vanus kebakar ini, pikir saya. Kalau kebakar, di hari ketiga itu kan sudah dikubur massal. Saya berdoa, andai dia takut pulang tolong beri dia jalan pulang, andai dia terbakar tolong diampuni segala dosanya,” tambah Maria sambil menahan tangisnya.
Menurut temuan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, ada 1.190 korban yang meninggal akibat terbakar dalam kerusuhan Mei 1998. Mayat-mayat yang menjadi korban di Mal Citra Klender dimakamkan secara massal di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon. Ada 113 batu nisan yang hanya bertuliskan “Korban Tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta”.
“Satu kuburan itu isinya bisa enam sampai delapan orang. Ada yang sudah jadi abu, campur reruntuhan bangunan. Ibu enggak tahu anak ibu dikubur di sebelah mana, ibu pasrah,” kata Maria, setelah menaburkan bunga ke salah satu makam.
TGPF menemukan bahwa kerusuhan terjadi di 88 lokasi. Selain wilayah Jakarta dan sekitarnya, kerusuhan juga terjadi di beberapa tempat di Bandung, Solo, Klaten, Boyolali, Surabaya, Medan, Deli, Simalungun, Palembang, dan Padang. Menurut TGPF, peristiwa-peristiwa ini merupakan pertemuan dua titik antara pergolakan elite politik yang berujung pada pergantian tampuk kekuasaan dan semakin memburuknya kondisi ekonomi.
Berbagai jenis kekerasan terjadi dalam kerusuhan itu, mulai dari pembakaran, perusakan, penyiksaan, penembakan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Tercatat ada 85 orang perempuan mengalami kekerasan seksual, dan sebagian besar adalah pemerkosaan secara beramai-ramai atau gang rape. Kekerasan banyak yang menimpa masyarakat etnis Tionghoa karena sentimen etnis.
Pada 2003, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM atas kasus Mei 98 dan sudah menyerahkan hasil penyelidikannya pada Jaksa Agung. Sebelum itu temuan-temuan kunci pun juga menjadi bukti-bukti untuk penyelesaian kasus ini. Dari banyaknya temuan-temuan ini, Komnas HAM mengategorikan kerusuhan Mei 1998 sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dan memberi rekomendasi untuk mengadakan pengadilan HAM ad hoc. Namun sampai sekarang semua rekomendasi itu masih belum dijalankan dan kasusnya masih belum diselesaikan sampai saat ini, dua dekade kemudian.
Di antara para tamu yang hadir pada peringatan 20 tahun Tragedi Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, ada satu penyintas Mei 1998 yang hadir bernama Iwan Firman, dari etnis Tionghoa. Kedua tangannya seperti meleleh dan lumpuh akibat luka bakar.
Pada saat kerusuhan, Iwan sedang mengendarai sepeda motor dekat Stasiun Senen, Jakarta Pusat, ketika ia dicegat oleh sekelompok laki-laki berambut cepak dan berbadan besar. Ia digebuki dan kemudian disiram bensin yang berasal dari tanki motornya sendiri, dan dibakar.
“Waktu itu aku ditolong oleh Pak Haji, yang memadamkan api dan membawa saya ke rumah sakit terdekat, rumah sakit Islam. Masuk gawat darurat, setengah jam kemudian aku sadar. Sadar ini dagingnya (di tangan) sudah enggak ada,” ujar Iwan sambil memperlihatkan kondisi tangannya dan kakinya.
Iwan sudah bolak-balik ke lembaga HAM, mendatangi beberapa kedutaan, hingga ia bosan karena kasusnya tidak kunjung selesai. Kompensasi dan biaya untuk pemulihan pun tidak pernah ia dapatkan. Hari Minggu itu, jika tidak diajak oleh Maria Sanu, ia enggan datang ke acara tersebut.
Tidak hanya Iwan saja, banyak keluarga korban yang tidak mendapatkan pemulihan trauma dan kompensasi pasca tragedi. Tiap tahun harapan mereka sama, bahwa pemerintah akan memperhatikan korban.
“Pedulilah dengan keluarga korban, sekedar say hi begitu, kami juga sudah senang kok. Pertanggungjawaban sebagai pemimpin itu di mana?” ujar Maria.
Meskipun dalam kesedihan mendalam, para keluarga korban saling menguatkan satu sama lain. Salah satu keluarga korban yang dipanggil Pak Darwin memberikan semangat pada keluarga korban lainnya dalam peringatan 20 tahun Tragedi Mei 1998.
“Mari kita bergandeng tangan terus, memperjuangkan kebenaran dan keadilan,” ujarnya.
Baca juga bagaimana 25 tahun telah berlalu, namun keadilan belum dicapai dalam kasus pembunuhan Marsinah