Memohon Empati dan Akal Sehat untuk LGBT
Sebelum menyalahkan LGBT sebagai sumber utama degradasi moral masyarakat, sebaiknya lihat sekeliling dan dapatkan informasi yang benar.
Mungkin beberapa di antara kalian sudah lelah mendengar perdebatan keras mengenai isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang mendominasi pemberitaan media dan media sosial beberapa bulan terakhir.
Namun, dilihat dari diskriminasi oleh aparatur negara melalui pelarangan program di televisi dan radio yang “mempromosikan LGBT”, serta kontroversi terkait Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), cukup jelas bahwa perdebatan tersebut telah berujung kepada konsekuensi nyata.
Kaum elit politik pun membuat situasi lebih buruk dengan pernyataan-pernyataan lancang mereka. Walikota Tangerang Arif Wismansyah mengatakan bahwa konsumsi mie instan dapat membuat seseorang menjadi homoseksual; Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu meyakini LGBT sebagai bentuk perang proksi untuk merusak Indonesia; mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mencuit di Twitter usulan kepada umat Islam untuk membunuh “kaum Luth”; dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyarankan pelatihan ESQ sebagai cara “mengobati” kaum LGBT. Buruknya lagi, Dewan Pelaksana Nahdlatul Ulama mengajukan rancangan undang-undang yang mengkriminalisasi kaum LGBT dan kampanye apa pun yang “mempromosikannya”. Hal-hal ini adalah pembenaran atas persekusi terhadap LGBT yang belakangan meningkat jumlahnya.
Mengingat bahwa kita hidup pada abad ke-21, di mana jumlah kekerasan dan diskriminasi telah terlampau banyak, situasi ini bukan hanya tidak masuk akal, tapi juga mengkhawatirkan. Sebagai seorang lesbian yang belum sepenuhnya mengaku kepada publik dan sedang berusaha hidup di negara yang terus melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas, saya khawatir.
Untuk itu saya memohon empati dan akal sehat anda. Dapatkan dan pahami informasi yang benar, sebelum menilai dan menghakimi.
Mari mulai dengan fakta sederhana, yaitu bagaimana negara-negara maju, perusahaan-perusahaan, serta ahli-ahli psikologi internasional telah menyatakan bahwa kelompok LGBT adalah manusia biasa, seperti anda. Ini berarti bahwa pemerintahan, masyarakat, dan perusahaan tersebut memahami bahwa orang-orang LGBT makan, tidur, bekerja, buang air, dan mencintai layaknya mereka yang heteroseksual.
Memang, ada sedikit perbedaan dalam aktivitas seksual kami, tapi kami melakukannya dengan persetujuan satu sama lain, tidak seperti para laki-laki yang menikahi anak-anak tidak berdosa dan meniduri tubuh-tubuh muda mereka atas nama agama.
Anda mungkin tidak percaya, tapi kami memiliki rasa takut, aspirasi dan impian yang sama seperti kalian. Kami ingin hidup dengan damai dan terbebas dari segala keburukan yang dapat terjadi di dunia ini, baik itu tindak kriminal, kemiskinan, kecelakaan, atau musibah. Beberapa dari kami pun memohon belas kasih Tuhan sembari hidup dalam kebimbangan atas identitas kami, tekanan sosial, dan ajaran agama.
Tidak, kami tidak pernah memiliki niat “mengampanyekan” gaya hidup ini. Tidak ada dari kami yang ingin menguasai dunia, mengubah semua orang menjadi homoseksual, sehingga mengakhiri siklus populasi dunia. Apa yang anda sebut “kampanye” hanyalah cara kami mengatakan: “Inilah kami, jangan persekusi dan memberi cap kepada kami.”
Bukan keinginan kami untuk membentuk “Bangsa LGBT” atau “Dunia LGBT”. Kami hanya ingin hak kami untuk memilih pasangan dan hidup damai bersama mereka tidak menghadapi diskriminasi dari seluruh aspek kehidupan.
Soal pernikahan? Kebanyakan dari kami bahkan tidak memikirkan hal itu. Kami hanya berusaha untuk hidup sebagai diri sendiri.
Kami pun tidak ingin membujuk anak-anak kalian agar menjadi seperti kami. Kami peduli dengan keselamatan anak-anak dan sangat khawatir atas mudahnya materi pornografi tersebar di media sosial. Kami sangat berang saat mengetahui berita mengenai pelecehan anak di bawah umur oleh Saiful Jamil – dia sendiri adalah selebritas buruk yang digunakan dalam acara-acara sensasional oleh stasiun-stasiun televisi tak tahu malu.
Banyak dari kami percaya bahwa Indonesia adalah negara yang harus terus berjuang untuk kemakmuran. Hal itu tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya keadilan untuk seluruh rakyat, tanpa mempedulikan etnis, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kelas, dan orientasi seksual. Keadilan sosial telah tertanam dalam proses pembangunan negara.
Dan sebelum kalian menyalahkan LGBT sebagai penyebab utama degradasi moral pada masyarakat, tolong lihat sekitar. Belajarlah untuk melihat apa yang ada di balik sebuah isu, cari sumber terpercaya dan mulai berpikir. Jika masyarakat kita telah rusak, itu disebabkan karena kita semua, sebagai bangsa secara keseluruhan, tidak cukup cerdas dan bijak dalam menangani masalah sosial kontemporer, tanpa menyinggung masalah yang telah ada dari masa lalu.
Mekanisme sosial dan politik kita tidak hanya rusak, dan sistem peradilan pun buruk, tapi pers yang disebut-sebut sebagai pilar keempat dari demokrasi juga digunakan dengan mudahnya untuk urusan politik, alih-alih mengabdi kepada publik. Struktur yang membentuk masyarakat sangatlah korup. Meskipun sistem khilafah difavoritkan oleh beberapa anggota masyarakat sebagai suatu jawaban, saya ragu mereka yang mempromosikannya bersedia untuk berdialog dengan anggota masyarakat lainnya, termasuk kelompok minoritas layaknya Ahmadi yang telah dianiaya dan juga orang-orang LGBT.
Saat ini, ketika beberapa di antara kita sibuk mempermasalahkan adanya belahan dada di TV dan memvisualisasikan aksi sodomi, sejarah telah mencatat bahwa Amerika Serikat dapat membuktikan eksistensi teori Einstein mengenai gelombang gravitasi (di mana salah seorang anggota tim tersebut adalah perempuan homoseksual), sebagian kabinet Kanada terdiri dari perempuan, dan Norwegia mengumumkan ladang angin terbesar di Eropa yang berlokasi di lepas pantai untuk semakin memajukan energi terbarukan.
Apakah kita telah betul-betul memahami arti dari ini semua? Ya, sudah seharusnya. Sebab kita akan menyadari betapa tertinggalnya kita dalam peradaban abad ke-21.
*Tulisan ini diterjemahkan oleh Radhiyya Indra dari artikel Magdalene “An Appeal for Empathy and Reason” dan telah disesuaikan dengan perkembangan terkini.