Gender & Sexuality

Pelajaran Berharga Jadi Korban Kekerasan dalam Pacaran

Diputuskan oleh seorang laki-laki pelaku kekerasan merupakan salah satu hal terbaik dalam hidup saya.

Avatar
  • August 31, 2017
  • 5 min read
  • 813 Views
Pelajaran Berharga Jadi Korban Kekerasan dalam Pacaran

Bagi sebagian orang, putus cinta mungkin bukan hal yang luar biasa atau pengalaman yang mengubah hidup mereka. Tapi tidak bagi saya.

Akhir 2013 lalu, laki-laki yang sangat saya cintai mengirim pesan via SMS, memutuskan hubungannya dengan saya sesaat setelah ia pamit pulang dari tempat kos. Ia mengatakan bahwa kami harus putus karena ia tidak bisa menjadi orang yang lebih baik jika masih bersama saya. Saya terdiam mematung, berusaha mencerna setiap kata-kata yang ia tulis. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu, padahal baru saja beberapa jam yang lalu ia meminta berhubungan seks dengan saya tapi saya tolak. Saat itu sebenarnya bukan kali pertama kami putus. Kami sering bertengkar dan kalimat putus sering dengan mudahnya terlontar dari kami berdua. Namun pada hari itu saya menyadari bahwa kali ini berbeda. Beberapa hari sebelumnya saya sudah merasa ada perubahan darinya. Ia menjadi semakin dingin dan kami semakin jarang berkomunikasi. Maka setelah ia memutuskan hubungan lewat SMS, saya tidak bereaksi apa pun.

 

 

Sayangnya, ketegaran saya tidak bertahan lama. Seminggu setelah hari itu tangis saya pecah di luar pintu kelas di tengah-tengah jam kuliah. Saya akhirnya mengetahui alasan sebenarnya mengapa kami putus: ada orang lain alias perselingkuhan. Ada alasan khusus mengapa hal itu begitu menyakitkan. Kami telah berpacaran hampir empat tahun. Selama itu aku jatuh cinta sangat dalam dengan laki-laki yang sebetulnya tidak tahu bagaimana memperlakukan saya dengan baik. Direndahkan di depan teman-teman adalah makanan saya sehari-hari. Saya sering meminta maaf kepadanya untuk sesuatu yang bahkan bukan salah saya. Saya harus mengikuti setiap perkataannya atau ia akan marah dan menyalahkan saya atas sikapnya. Selama itu pula ia selalu membuat saya percaya bahwa saya jelek, gendut, dan bodoh. Ia pun tidak pernah menghargai saya bahkan di depan orang tua dan teman-temannya. Pernah sekali ia dengan sangat marah sengaja menendangku sampai biru untuk membalas candaan saya yang tidak sengaja menyakitinya.

Namun meski saya sering dibuat merasa rendah diri setiap hari, saya begitu mencintainya lebih dari diri saya sendiri. Belum pernah sebelumnya saya begitu bergantung pada seseorang seolah-olah ia adalah matahari dalam hidup saya. Maka saat ia pergi, membuang saya begitu saja dengan mudahnya setelah berbagai kekerasan psikis dan fisik yang telah ia lakukan, hidup saya seketika runtuh. Saya juga merasa begitu marah padanya karena selalu membuat saya merasa tertekan bahkan hingga akhir kami berpisah. Sore itu saya memaksa bertemu dengannya untuk meminta penjelasan dan memberitahunya bagaimana perasaan  saya. Ternyata dia tidak pernah merasa ada yang salah dengan perlakuannya pada saya.

Seharian menangis, bukannya berkurang beban di hati, justru dada saya semakin sakit. Saya tidak bisa tidur karena lelah dan sesak. Nafsu makan saya hilang dan konsentrasi saya buyar. Sampai akhirnya pada suatu pagi saya menyadari bahwa saya butuh pertolongan. Maka pergilah saya ke rumah sakit dan mendaftarkan diri ke poliklinik psikiatri. Baru kali itu saya pergi ke psikiater seorang diri dan dengan keadaan setengah sadar menceritakan masalah pribadi saya lebih dari dua jam. Saya putus asa. Sudah saya curahkan perasaan saya kepada Tuhan dan teman terdekat, tetapi keadaan saya tidak kunjung membaik. Dokter kemudian memberi saya obat antidepresan dan meminta saya kembali dua minggu kemudian.

Setelah berhari-hari meratapi kenyataan dan mulai membiasakan diri hidup tanpa laki-laki itu, suatu pagi saya bangkit dari tempat tidur dan menatap lama bayangan saya di cermin. Saya pandangi lekat-lekat wajah saya dan menyadari ternyata tidak ada yang salah dengan saya. Ada banyak kelebihan diri yang saya punya. Saya tidak gendut seperti yang ia bilang. Saya tidak jelek meskipun bukan yang paling cantik. Saya pun tidak bodoh. Mana mungkin saya berhasil masuk salah satu perguruan tinggi negeri terbaik kalau saya bodoh? Lagi pula kalau saya memang tidak cantik, tidak langsing, dan tidak pintar, mengapa itu harus menghalanginya untuk memperlakukan saya dengan baik sebagai kekasihnya?

Saya menyadari bahwa ternyata saya telah bebas. Kini tidak ada lagi yang dapat mengatakan hal-hal negatif kepada saya setiap saat. Saya jadi punya banyak waktu luang dan banyak ruang kosong di dalam hati. Maka sejak hari itu saya putuskan untuk mulai mencintai diri saya sendiri lagi.

Saya mulai lebih memperhatikan diri, melakukan hal-hal yang selalu saya inginkan karena tidak ada lagi yang bisa melarang saya melakukan ini itu hanya karena ia tidak senang. Saya memotong pendek rambut saya seperti yang selalu saya inginkan, menindik telinga, merawat kulit, mencoba makeup untuk pertama kalinya, berpakaian seperti apa pun yang saya suka, dan mendaftarkan diri ke berbagai kegiatan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya jadi semakin aktif di beragam kegiatan kampus, menemukan hobi dan teman-teman baru, dan yang paling penting, menemukan diri saya yang baru.

Saya tahu saya bukan satu-satunya orang yang mengalami hal serupa. Beruntung saya dapat bangkit dan tidak lebih lama lagi mendapatkan kekerasan. Masih banyak perempuan lain yang menjadi korban, yang mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang mengalami kekerasan dalam berpacaran karena menormalisasi perbuatan semena-mena laki-laki terhadapnya.

Awal 2014, saya telah bertransformasi menjadi orang yang baru. Semua orang di sekitar saya menyadari perubahan positif ini setelah saya kembali belajar untuk mencintai diri sendiri. Begitu banyak hal yang telah saya pelajari terutama soal penghargaan diri sebagai seorang perempuan. Bagaimana caranya mencintai dengan benar, memegang kendali atas diri dan tubuh saya sendiri, dan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang dapat diandalkan selain diri saya. Sejak hari itu tidak ada yang lebih saya cintai selain diri sendiri dan tidak ada lagi orang yang saya izinkan untuk menyakiti saya tanpa seizin saya.

Jika ada pertanyaan apa sukses terbesar dalam hidupku, atau apa yang menjadikan saya seorang feminis, maka akan kuceritakan kemenangan saya bangkit dari kekerasan empat tahun yang lalu. Saat aku berhasil mendapatkan kebebasan saya sepenuhnya dari kontrol seorang laki-laki.

Esniraras adalah seorang sarjana desain yang berbahagia dengan statusnya yang belum menikah. Ia saat ini berniat untuk membuat buku mengenai kekerasan dalam berpacaran untuk membantu saudara-saudara perempuan di luar sana yang mengalami hal serupa. Bila ada yang ingin ikut berkontribusi dalam bukunya, silahkan email ke [email protected].



#waveforequality


Avatar
About Author

Esniraras

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *