Pentingnya Menentang Kriminalisasi LGBT
Kemunafikan yang diwariskan dari budaya konservatif, yang membuat kita terbiasa menakar dan membandingkan dosa orang lain sangatlah berbahaya.
Senin pekan lalu, Mama menyambut saya di rumah dengan peringatan untuk berhati-hati menyusul adanya penggerebakan di sebuah pusat kebugaran di daerah Kelapa Gading. Saya kemudian secara otomatis menceritakan kepada beliau tentang insiden Stonewall, serangkaian demonstrasi oleh komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di kota New York pada 1969.
Dalam penjelasan tersebut, saya menyadari bahwa sebagian besar narasi kasus penindasan terhadap kelompok LGBT memiliki banyak kesamaan. Dari kasus Stonewall, sampai pemenjaraan Oscar Wilde, dan yang paling baru, kampanye Love Wins, kelompok konservatif selalu berperan sebagai pemberi tekanan dan kaum LGBT sebagai obyek yang mendapatkan tekanan.
Dalam studi Hubungan Internasional, ada sebuah konsep bernama Boomerang Effect yang diperkenalkan oleh teoris Margaret Keck dan Ktryn Sikkink pada 1998. Teori ini masih menjadi alat utama dalam menganalisis berbagai bentuk pergerakan, mulai dari isu gender, lingkungan hidup, kesetaraan dan kasus-kasus lain yang terkait dengan penekanan. Logikanya adalah saat A sebagai kekuatan utama di wilayah tertentu melakukan penekanan terhadap B (si minoritas), B kemudian akan bersatu dan mengupayakan segala cara untuk bangkit dan melawan balik. Upaya yang dilakukan B dalam mempertahankan idealismenya bisa berbentuk jejaring bawah tanah, atau menarik simpatisan dengan kekuatan besar dari wilayah lain sehingga garis akhirnya adalah keberhasilan dari pergerakan tersebut. Namun hal tersebut tidak selalu terjadi, karena dalam praktiknya banyak sekali orang-orang yang gagal, bahkan mati dalam perjuangannya.
Tempat sauna Atlantis di Kelapa Gading menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam fase “melakukan segala cara untuk bisa melakukan apa yang mereka mau”. Walaupun bukan dalam konteks pergerakan, adanya tempat sauna khusus LGBT di Jakarta merupakan tindakan yang sangat berani dari pemiliknya. Memiliki nama PT dan izin usaha, tempat sauna itu jelas merupakan produk pasar yang komersial. Tempat tersebut memiliki pasar spesifik yang lebih dikenal dalam istilah ekonomi sebagai niche market atau blue ocean. Yang terpenting: bisnis tersebut memiliki permintaan atau demand. Ada 140 orang lebih yang berpartisipasi dalam pesta penutupan menjelang Ramadan.
Namun demikian, tidak semua pria gay datang ke tempat-tempat seperti ini. Tempat ini bisa saja menjadi favorit bagi pria gay yang menginginkan faktor praktis; para suami yang kabur dari realitas, pendatang asing, pemula yang tidak mau repot menghabiskan waktu melakukan proses pendekatan pacaran dan mengambil jalan pintas langsung ke urusan ranjang. Pria gay dengan kehidupan sosial yang bahagia dan jujur (tidak memiliki dua dunia) mungkin saja pergi ke tempat seperti ini untuk percobaan (karena percobaan merupakan bagian dari kehidupan semua orang). Namun meletakkan kehidupan organik dalam risiko dengan mendatangi lingkungan sarat criminal merupakan resiko yang besar. Berbeda dengan para discreet, gay yang sudah terbuka dan memutuskan untuk menerima keadaan dirinya cenderung memiliki jaringan yang lebih sehat dan relasi yang cukup luas.
Kembali pada masa Stonewall, masyarakat Amerika pada saat itu masih tergolong sangat konservatif, terapi konversi gay merupakan upaya yang disarankan pemerintah dalam menangani orang-orang dengan orientasi seksual berbeda. Untuk menghindari hal tersebut, banyak sekali remaja yang diusir dan kabur dari rumahnya untuk menuju kota New York, tanpa uang, relasi atau bahkan rencana bertahan hidup. Kaum gay berkumpul di kota New York pada saat sebelum World Fair 1964 dilaksanakan dan keberadaan mereka dianggap walikota mengganggu estetika kota New York. Kaum gay yang juga diusir dari tempat perlindungannya akhirnya memutuskan untuk memberontak. Pergerakan ini berbuah manis Gay Pride March (1970) yang warisannya tetap berlanjut sampai sekarang.
Di saat sebagian dunia merayakan kemenangan kelompok LGBT, kasus-kasus ekstrem masih sering terjadi. Salah satunya adalah fenomena dancing boy atau bacha bazi di Afghanistan, di mana ada sindikat yang menculik anak-anak serta tunawisma yang berwajah rupawan dan mengubahnya menjadi budak seks. Kasus ini menjadi perhatian karena merupakan kasus perdagangan manusia yang serius. Bacha bazi merupakan produk dari masyarakat konservatif ekstrem, yang masih memiliki ‘permintaan pasar’. Permintaan dari kebanyakan suami yang istrinya sama sekali tidak mengetahui bahwa suami gagah dengan turbannya bersenang hati memperkosa anak laki-laki di bawah umur.
Selain perdagangan manusia, masih ada lagi kasus yang lebih menyedihkan. Gully Queens, kelompok gay di Jamaika, yang hidup di gorong-gorong selokan ibukota. Republik Chechen di Rusia mengeluarkan kebijakan untuk membasmi kaum gay sebelum Ramadan. Namun demikian, waria di Jamaika tetap bertahan, mendapat simpati dan publikasi dari aktivis di belahan dunia lain. Sama seperti banyak negara Eropa yang membukakan gerbangnya untuk melindungi pengungsi pelangi dari Republik Checen. The Boomerang Effect.
Bila kemunafikan dan kesewenang-wenangan berlanjut, penekanan akan menjadi lebih besar. Orang-orang yang ditindas akan mencari cara untuk menggali jalan keluar. Jadi semakin konservatif Anda terhadap LGBT, akan semakin banyak Bath Houses, Glory Holes, ‘taman gay’ dan pernikahan palsu yang terus muncul. Semakin ditolak dan ditindas, semakin banyak juga perempuan yang secara tidak sadar ‘dikelabui’ oleh orientasi seksual suaminya, semakin tidak manusiawi kasus sarat kriminal yang akan terjadi.
Saya sangat tidak mengharapkan masa depan Indonesia seperti di Timur Tengah. Karena saya, GBF (Gay Best Friend) dan ‘cowok bersama’ yang terbuka dan diterima merupakan contoh yang juga bermunculan dari produk toleransi di Indonesia. Indonesia masih memiliki harapan. Di saat seperti inilah Indonesia sangat membutuhkan aktivis pendidikan seksual dini, fluiditas dan kesetaraan gender sebanyak mungkin untuk dapat bergerak maju.
Orang-orang di sauna tersebut memutuskan untuk mengikuti pesta dengan nalar dewasanya. Kita sudah cukup melihat penggerebekan pesta seks gay dengan identitas pesertanya menjadi viral. Wajah mereka bahkan tidak disamarkan, atau dipakaikan topeng, lebih buruk dari para pembunuh dan bandar narkoba. Apakah asas praduga tak bersalah sudah hilang di negara ini? Wajah, nama, agama, alamat, orientasi dan status HIV berubah menjadi konsumsi publik.
Keprihatinan lain dengan kasus Indonesia adalah di saat melihat beberapa kawan gay di linimasa saya ikut mempermalukan saudaranya sendiri. Sekali lagi, kemunafikan yang diwariskan dari budaya konservatif, yang membuat kita terbiasa menakar dan membandingkan dosa orang lain sangatlah berbahaya.
Saya sangat berharap tulisan ini dapat membuka mata pembaca yang memiliki pemikiran sederhana untuk sadar bahwa kasus ini memiliki skema yang jauh lebih besar. Tulisan ini juga sebagai ajakan untuk para waria, flamboyan, bear, otter, poz, top, bottom, femme, butch, androginy, straight ally, feminis, progressive liberal dan para discreet untuk melakukan refleksi, apakah ini yang kalian inginkan dari masa depan LGBT di Indonesia?
Arie Raditya adalah akademisi Hubungan Internasional dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia, yang fokus pada lingkungan hidup, kesejahteraan hewan dan kesetaraan LGBT. Kadang-kadang menyalurkan kesenangan sebagai penyanyi, penerjemah Bahasa Korea dan penyuka komik Marvel.