Sebuah Permintaan di Ulang Tahun ke-12 Kami
Hari ini, 19 September 2025, Magdalene merayakan ulang tahunnya yang ke-12. Kalau dihitung dalam “tahun manusia”, ini seperti masa remaja awal, fase transisi dari anak-anak yang dipenuhi perubahan fisik, emosional, sosial. Kalau tak dikelola dengan baik, semuanya bisa bikin kacau.
Sebagai pemimpin sekaligus salah satu pendiri, saya merasakan semua tantangan itu. Meski bangga dengan posisi kami sekarang, perjuangan dan “growing pain” atau sakit yang datang selama masa pertumbuhan selalu mengingatkan bahwa jurnalistik berkualitas dan bertanggung jawab adalah pekerjaan seumur hidup, dan ini hanya untuk mereka yang benar-benar berdedikasi.
Situasi terasa semakin nyata karena jurnalistik berkualitas kini menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama satu dekade terakhir, media di seluruh dunia berjuang keras; banyak yang kelelahan, terluka, dan terus berusaha bertahan.
Baca juga: Satu Dekade Mengikis Patriarki: Refleksi 10 Tahun Magdalene
Di Indonesia, media besar maupun kecil menghadapi kesulitan finansial yang serius. Model bisnis mereka terganggu oleh persaingan asimetris dengan kreator konten, agregator, akal imitasi (AI), homeless media, influencer, hingga buzzer berbayar, semuanya dalam ekosistem yang dikendalikan platform raksasa. Persaingan kini bukan sekadar media versus media, melainkan media melawan seluruh pemain di internet, menjadikan ekosistem padat, cepat berubah, dan tidak menentu.
Ancaman politik pun tetap ada, tetapi kini lebih halus, mulai dari tekanan hukum dan sensor terselubung. Belum lagi manipulasi ruang komersial berupa native ads atau kemitraan yang menyamarkan kepentingan politik, ekonomi, atau citra tertentu, seperti pinkwashing, greenwashing, atau artwashing. Dalam kondisi ini, media harus gesit dan adaptif, menjaga keseimbangan antara bertahan secara ekonomi dan menjalankan jurnalistik yang kredibel, transparan, dan profesional.
Perubahan cepat di ekonomi media dan tekanan politik ini berdampak langsung pada kehidupan jurnalis. Beberapa tahun terakhir, konglomerat media besar dan redaksi menengah melakukan PHK besar-besaran; ribuan jurnalis kehilangan pekerjaan. Industri media yang sempat mekar pasca-Reformasi 1998—dengan lebih dari 40.000 media—kini terlihat lesu. Menurut Dewan Pers, pada 2024 tercatat 5.019 perusahaan media aktif, 77,4 persen daring. Dari media baru yang lahir karena jurnalis dipecat, banyak yang berhenti beroperasi atau “mati suri”, sementara hanya sebagian kecil bertahan.
Di tengah situasi ini, Magdalene tetap bertahan. Kekuatan kami ada di banyak hal, tapi yang utama adalah keyakinan dan dedikasi tim yang berfokus pada misi, serta kepercayaan dan dukungan hangat publik terhadap pekerjaan kami.
Kami jelas berkembang dari awal yang sangat sederhana: dua orang plus satu magang. Pertumbuhannya lambat, wajar saja untuk organisasi kecil yang dijalankan pendiri tanpa modal eksternal. Kami bertahan bertahun-tahun sambil memegang dua atau tiga pekerjaan lain, sampai akhirnya hibah signifikan di tahun keenam memungkinkan kami berhenti dari pekerjaan harian dan membangun tim kecil. Kini, Magdalene masih organisasi kecil dengan kurang dari 30 orang, tapi hampir 10 kali lebih besar dari awal.
Pertumbuhan yang lambat justru memberi kami konsistensi. Kami tetap setia pada inti dan misi, belajar dari keberhasilan dan kesalahan sendiri maupun orang lain. Kami bisa berkembang secara organik, tanpa kehilangan arah.
Yang paling penting, pertumbuhan lambat memungkinkan kami menegakkan nilai interseksional yang ada dalam DNA Magdalene. Nilai yang membimbing kami dalam setiap keputusan. Dari rekrutmen, kebijakan SDM, kegiatan komunitas, hingga produk editorial, kami selalu memastikan inklusi.
Pertumbuhan ini juga membuka jalan untuk kemitraan strategis tahun lalu dengan The Jakarta Post Group. Kemitraan ini memberi kami “waktu bernapas lebih panjang” (kata seorang teman yang juga pendiri media independen) untuk mengeksplorasi potensi, menyesuaikan diri dengan perilaku audiens yang berubah, dan membangun model bisnis berkelanjutan.
Ukuran tim bukan satu-satunya yang bertumbuh. Selama dua belas tahun, kami fokus memperkuat posisi sebagai media yang digerakkan komunitas. Dari komunitas pemimpin muda, praktisi media yang peduli perspektif gender, hingga penulis dan pecinta buku, kami percaya berinteraksi dengan beragam komunitas bisa memperluas jangkauan, keluar dari “ruang gema”, dan mendorong perubahan sosial positif.
Baca juga: Our Lives as Start-up Editors
Evolusi Cara Kami Bekerja
Kalau kamu sudah mengikuti Magdalene sejak lama, perubahan yang paling terlihat mungkin adalah cara kami menggunakan media sosial dan teknologi untuk menjangkau audiens. Magdalene terus bereksperimen dengan cara baru menyampaikan berita. Produksi audiovisual menjadi fokus utama Podcast, video panjang, video pendek.
Kami juga menjalankan proyek jurnalisme data tahunan dan mengembangkan rubrik-rubrik baru, termasuk Madge PCR (fokus pada relasi), rubrik Environment yang membahas perubahan iklim, serta Wave for Equality, sebuah kampanye yang didukung oleh Investing in Women yang berfokus pada isu-isu ekonomi perawatan. Inisiatif-inisiatif ini membangun ekosistem konten yang saling melengkapi, mendorong Magdalene untuk tetap inovatif dan adaptif.
Inovasi-inovasi ini diperluas ke media sosial. Dari Instagram, TikTok, hingga YouTube, konten kami tidak sekadar dibagikan, tetapi menjadi medium untuk memantau isu, mendengar respons audiens, dan mengajak mereka berinteraksi secara langsung. Konten disesuaikan dengan karakter audiens, dari penjelasan sederhana, komik, meme, polling, hingga template “Add Yours” dan kompetisi konten. Semua agar tetap relevan dengan Gen-Z dan Milenial. Di era algoritme yang mendominasi distribusi dan tren yang bergerak cepat, adaptabilitas bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mutlak. Tanpa kemampuan menyesuaikan strategi di media sosial maupun format-format baru, Magdalene akan sulit bertahan dan tetap relevan.
Lebih dari sekadar saluran distribusi, media sosial juga menjadi perpanjangan dari salah satu pilar utama kami: jurnalisme berbasis solusi. Dengan pendekatan Jurnalisme Konstruktif, Magdalene ingin mengembalikan minat dan kepercayaan publik pada jurnalistik sekaligus menggeser fokus dari berita buruk ke dampak, dialog, dan keterlibatan. Melalui cara ini, pengalaman membaca tidak hanya lebih positif dan memberdayakan, tetapi juga mendorong loyalitas audiens dan partisipasi komunitas, memperkuat hubungan antara media, pembaca, dan isu-isu yang diangkat.
Jurnalisme Konstruktif berawal sebagai gerakan di Denmark dan Eropa Utara untuk mengatasi maslah menurunnya kepercayaan pada media. Pendekatan ini melihat isu secara bernuansa, berorientasi solusi, dan menarik. Sebagai media pionir yang mengadopsi pendekatan ini di Indonesia, kami menggunakan pendekatan ini dalam konten dan kegiatan komunitas, bahkan membagikannya dalam lokakarya untuk jurnalis di seluruh negeri.
Sebagai media kecil, kami juga sadar pentingnya kolaborasi sebagai strategi bertahan hidup di ekosistem media yang terbatas, bising, dan kompetitif. Awal tahun ini, dengan dukungan International Media Support, Magdalene memprakarsai Women News Network (WNN), kolektif sembilan media yang dipimpin dan fokus pada perempuan dari tujuh provinsi.
WNN adalah bukti nyata dari prinsip “perempuan mendukung perempuan”, alih-alih berkompetisi apalagi saling menjatuhkan. Sebaliknya, kami memanfaatkan solidaritas, sumber daya bersama, dan pengaruh kolektif untuk tetap layak finansial, kredibel, dan berdampak di ekosistem yang sulit.
Pendekatan kolaboratif ini terasa semakin penting karena iklim politik dan hukum sangat memengaruhi kesehatan media. Sebagai jurnalis yang memulai karier menjelang Reformasi 1998, saya menyaksikan semangat harapan yang muncul bersamaan dengan kebebasan politik dan demokrasi baru. Namun selama 25 tahun terakhir, banyak peluang terlewat karena kualitas demokrasi menurun, membawa kita ke kondisi saat ini.
Baca juga: Era Baru Kolaborasi, ‘Magdalene’ Lakukan Kerja Sama Strategis dengan ‘The Jakarta Post’
Protes publik terkait remunerasi tinggi anggota parlemen, kebijakan ekonomi pemerintah yang kontroversial, dan kekerasan polisi yang menewaskan pengunjuk rasa jadi pengingat bahwa demokrasi rapuh, dan peran masyarakat sipil sangat penting.
Ketika demokrasi terancam, kebebasan pers sering kali berperan sebagai “kenari di tambang” yang mendeteksi ketika ada kebocoran gas beracun. Ancaman seperti pengiriman kepala babi ke redaksi Tempo atau kematian jurnalis yang meneliti isu penting membuktikan bahwa kebebasan pers tidak boleh dianggap remeh.
Di era algoritma, AI, dan ekonomi perhatian, mendukung jurnalistik berkualitas jadi lebih penting dari sebelumnya. Melawan disinformasi, menuntut pertanggungjawaban kekuasaan, dan memberikan konteks di era informasi cepat adalah beberapa alasannya. Melalui kerja editorial dan komunitas, Magdalene ingin memperkuat literasi media, berpikir kritis, dan memastikan selalu ada ruang untuk suara beragam serta perspektif inklusif.
Jadi, di ulang tahun ke-12 ini, kami punya permintaan sederhana: Dukung media independen. Baca, sukai, ikuti, bagikan dan konstribusi sebisa kau. Kami masih di sini, berkomitmen penuh, tapi dukungan kalian sangat berarti bagi keberlangsungan kami.
















