20 Tahun Reformasi dan Narasi Gerakan Perempuan
Apa yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan di akar rumput dapat dijadikan contoh oleh pemerintah.
“Dulu musuh kita patriarki dan rezim otoriter, tapi sekarang patriarki dan paham-paham konservatif,” ujar Misiyah, direktur Institut KAPAL Perempuan, yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan, khususnya di perdesaan.
Dalam acara “Refleksi 20 Tahun Reformasi” yang diadakan oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), minggu lalu, Misiyah dan sejumlah aktivis perempuan mengenang bagaimana gerakan perempuan turut berperan besar dalam mendorong terjadinya reformasi di Indonesia. Yang menyatukan para perempuan saat itu adalah semangat melawan ketidakadilan rezim otoriter Soeharto yang terus menekan kebebasan berpendapat dan juga hak berdemokrasi.
Pendekatan politik gerakan perempuan berbeda dari gerakan-gerakan lainnya. Menurut Ruth Indiah Rahayu, peneliti dari Institut dan Kajian Strategi Pembangunan Alternatif, ada empat penanda gerakan perempuan sebelum reformasi. Pertama ketika majalah Tempo dibredel untuk pada 21 Juni 1994 karena dianggap terlalu keras mengkritik pemerintah. Peristiwa ini memantik kelompok perempuan untuk bersuara menuntut demokrasi.
Penanda kedua adalah pada 23 Februari 1998, ketika sekelompok perempuan aktivis dan akademis yang menyebut diri Suara Ibu Peduli memprotes pemerintah atas kelangkaan susu bayi di tengah krisis ekonomi. Mereka memelopori digunakannya lokasi Bundaran Hotel Indonesia untuk melangsungkan demonstrasi terhadap pemerintah. Istilah “ibu-ibu” juga digunakan untuk kamuflase agar tidak mudah diciduk penguasa saat berdemontrasi, dan pendekatan politik empati ini juga untuk mendorong perempuan lebih terlibat dalam perubahan politik.
“Kata susu menjadi salah satu cara untuk membangun solidaritas bersama di antara perempuan di kala itu,” ujar Ruth.
Penanda ketiga adalah lahirnya inisiatif-inisiatif dari organisasi perempuan untuk membuka crisis center pemulihan perempuan korban kekerasan seksual dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998. Crisis center ini juga berlanjut untuk pemulihan keluarga yang mengalami trauma karena kehilangan anggota keluarga mereka pada tragedi pelanggaran hak asasi manusia di saat itu.
Penanda yang terakhir yaitu, Gerakan perempuan menuntut dan melawan pengingkaran militer terhadap kekerasan seksual termasuk pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998.
Empat penanda gerakan perempuan ini jugalah yang kemudian memunculkan Komnas Perempuan, salah satu tonggak gerakan politik perempuan yang mengedepankan etika kepedulian dan solidaritas dalam demokrasi di Indonesia. Politik gerakan perempuan terus bergulir dan memberikan beberapa hasil seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, termasuk kuota 30 persen untuk kandidat perempuan.
Tantangan gerakan perempuan
Setelah 20 tahun reformasi, masih banyak kendala yang dihadapi gerakan perempuan, salah satunya adalah kurangnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di sektor birokrasi, legislatif, dan yudikatif. Ani Sucipto, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengatakan aturan 30 persen kuota masih belum bisa menjanjikan keterwakilan perempuan dan kelompok marginal.
“Representasi perempuan kita masih dalam tahapan asal perempuan, tetapi tidak membicarakan tentang bagaimana perempuan itu mau berbuat apa. Kuota itu bukan tujuan tapi sarana awal untuk politik yang lebih berkeadilan,” ujar Ani.
Politik representasi dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan yang menyasar pada kelompok perempuan dan minoritas, dan menghasilkan sebuah kebijakan yang berkeadilan. Namun hal ini belum tercapai karena elite politik, baik perempuan maupun laki-laki, masih terjebak dalam polarisasi politik jangka pendek dan memandang demokrasi sudah dijalankan ketika pemilihan umum sudah dilaksanakan, ujar Ani.
Misiyah mengatakan, reformasi masih belum berjalan, bahkan musuh yang menghalangi suburnya keberagaman semakin kuat bahkan tidak teridentifikasi.
“Ini bahayanya adalah kelompok dan paham konservatif ini merebak di berbagai ranah yang sulit kita identifikasi. Hal ini bermuara pada politik identitas yang melahirkan kebijakan yang diskriminatif,” ujarnya.
Padahal setelah 20 tahun reformasi ini, kata Misiyah, banyak sekali pelajaran dan refleksi gerakan perempuan. Salah satunya adalah bagaimana penguatan dan pengorganisasian perempuan desa dapat ikut membentengi masyarakat dari konservatisme.
“Saya percaya kemajuan Indonesia itu ditopang sekali oleh desa-desa, apalagi 76 persen perempuan Indonesia ada di desa. Bayangkan kalau ini digarap terus menerus secara bersama-sama dan semakin meluas, ini dapat melawan konservatisme ini” tutur Misiyah.
Siti Musdah Mulia, Direktur Umum Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan, seharusnya apa yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan di akar rumput, seperti yang telah dikerjakan oleh KAPAL Perempuan, dapat dijadikan role model oleh pemerintah.
Musdah mengapresiasi kinerja-kinerja organisasi perempuan yang bergerak di akar rumput seperti yang dikerjakan oleh Institut Kapal Perempuan dan beberapa organisasi perempuan lainnya yang bekerja untuk memperkuat persatuan dan kesejahteraan perempuan di desa-desa.
“Negara bisa mencontoh yang sudah ada, dan dijadikan gerakan. Kalau ini dilakukan oleh negara secara masif di daerah-daerah rawan seperti perbatasan dan lainnya, itu akan memberikan efek lebih besar. Media harusnya mendorong pemerintah untuk melihat, ini loh sudah ada contoh-contohnya, ini akan membantu akselerasi pembangunan lebih cepat,” kata Musdah.
Baca tentang keluarga korban tragedi 1998 yang terus meminta keadilan.