5 Catatan Penting CATAHU Komnas Perempuan 2023
Dari femisida, hingga kekerasan yang dilakukan mantan pacar, apa saja temuan penting dalam CATAHU Komnas Perempuan 2023?
Seperti momen Hari Perempuan Internasional yang sudah-sudah, tahun ini Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kembali merilis Catatan Tahunan (CATAHU). Laporan yang rutin dibuat sejak 2001 itu relatif penting karena menjadi rujukan kompilasi data nasional tentang kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dalam peluncurannya pada (7/3) di Hotel Santika Premiere, Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Komnas Perempuan menghadirkan sejumlah pihak. Mulai dari Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dan deretan komisioner, Dr. Bahrul Fuad, MA, Theresia Sri Endras Iswarini, Mariana Amiruddin, M.Hum., dan Dewi Kanti Setianingsih.
Andy Yentriyani dalam sambutannya berharap, dengan CATAHU ini, ada percepatan proses integrasi data demi perlindungan dan pemulihan terhadap para korban di ranah publik dan negara.
“Mengingat kebutuhan data nasional tentang kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai basis perumusan kebijakan, Komnas Perempuan berharap ada percepatan proses integrasi data yang ditopang dengan dukungan penguatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di semua lembaga terkait, termasuk di Komnas Perempuan,” ujarnya.
Lantas, apa saja temuan menarik dan penting dari CATAHU 2023? Apakah pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah andil menekan angka kekerasan di Indonesia? Berikut Magdalene rangkum jawabannya untukmu.
- Laporan Kekerasan Seksual Meningkat
Secara umum, CATAHU 2023 Komnas Perempuan mencatat, terdapat peningkatan angka pengaduan langsung kekerasan terhadap perempuan ke Komnas Perempuan. Pada 2021 sebanyak 4.322 kasus, meningkat menjadi 4.371 kasus di sepanjang 2022.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Perempuan Naik Tahun Ini
Adapun data pengaduan ke Komnas Perempuan dibagi menjadi tiga ranah. Di antaranya ranah personal terdapat 2.098 kasus, ranah publik 1.276 kasus, dan ranah negara 68 kasus. Kekerasan personal sendiri disebut-sebut paling dominan setiap tahunnya.
Jika dihitung, artinya rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 17 kasus setiap harinya. Angka ini tentu adalah fenomena gunung es, karena tak semua korban melaporkan kekerasan yang mereka alami. Namun, adanya peningkatan ini di sisi lain juga jadi sinyalemen positif karena semakin banyak korban berani bicara.
“Peningkatan data pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan ke Komnas Perempuan dapat juga dilihat sebagai bentuk peningkatan kesadaran dan keberanian perempuan korban kekerasan untuk mengadukan kasus kekerasan yang mereka alami,” jelas Bahrul Fuad.
Untuk mengoptimalkan data yang riil di lapangan, Komnas Perempuan berinisiatif untuk menambah sumber data dari berbagai lembaga layanan yang dikelola negara atau publik. Misalnya, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Kabar Bumi, The International Organization for Migration (IOM), juga Safe Circle Community. Pun, Badan Peradilan Umum (Badilum) dan Badan Pembinaan Hukum (BABINKUM) TNI. Alasannya, demi meningkatkan partisipasi lembaga negara dalam menghadirkan data kekerasan terhadap perempuan. Sayangnya, sumber data dari dua lembaga terakhir belum dapat dikompilasi karena format informasi yang berbeda.
- Kekerasan Terbanyak Dilakukan Mantan Pacar
Sebanyak 339.782 dari total pengaduan yang masuk adalah kekerasan berbasis gender (KBG), yang mana 3.442 di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan. Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99 persen atau 336.804 kasus. Pada pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61 persen atau 2.098 kasus. Rata-rata aduan yang masuk berupa kekerasan psikis atau emosional.
Menariknya, kekerasan yang terjadi di ranah personal yang dilakukan mantan pacar, tercatat sebanyak 713 kasus. Ini menjadi kasus yang paling banyak diadukan, menyusul kekerasan terhadap Istri (622 kasus), kekerasan dalam pacaran (422 kasus), kekerasan terhadap anak perempuan (140 kasus), KDRT lain, seperti dilakukan menantu, mertua, sepupu (111 kasus), dan kekerasan mantan suami (90 kasus).
Baca Juga: Permendikbud Kekerasan Seksual yang Penuh ‘Catatan Kaki’
Untuk laporan aduan ranah personal yang ditangani lembaga layanan, ada 8.172 kasus yang masuk. Paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan dalam pacaran (3.528 kasus), kekerasan terhadap istri (3.205 kasus), kekerasan terhadap anak perempuan (725 kasus), KDRT lain (421 kasus), kekerasan mantan pacar (163 kasus), kekerasan mantan suami (47 kasus), dan kekerasan lainnya di ranah personal 83 kasus. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik.
Untuk kasus di ranah publik, tercatat total 2.978 kasus di mana 1.276 di antaranya dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Dalam hal ini, kasus tertinggi adalah kekerasan siber sebanyak 869 kasus, disusul kekerasan di tempat tinggal (136), kekerasan di tempat kerja (115), kekerasan di tempat umum (101), kekerasan di tempat pendidikan (37), kekerasan di fasilitas medis 6 kasus, kekerasan di tempat kerja luar negri (pekerja migran) 6 kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 6 kasus. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di ranah publik adalah kekerasan seksual.
Sementara itu, kasus kekerasan di ranah negara hanya ditemukan di Komnas Perempuan, dengan peningkatan hampir 2 kali lipat, dari 38 kasus di 2021 menjadi 68 kasus di 2022. Kasus yang tertinggi adalah perempuan berhadapan dengan hukum (35 kasus), selanjutnya konflik Sumber Daya Alam (SDA) (11 kasus), kekerasan terhadap perempuan dengan pejabat negara, penggusuran, dan konflik agraria masing-masing 5 kasus, diskriminasi dalam proses pemilihan pejabat publik 3 kasus, kekerasan terhadap perempuan dalam administrasi kependudukan 2 kasus, intimidasi oleh pemerintah daerah 1 kasus, dan kebebasan beragama/berkeyakinan 1 kasus.
- Kekerasan PRT Masuk ke Ranah Publik
Jika pada CATAHU sebelumnya, kekerasan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dikategorikan sebagai kekerasan di ranah personal, maka berbeda dengan tahun ini. Itu dimasukkan dalam ranah publik sebagai kekerasan di tempat kerja. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan advokasi RUU PRT yang hendak menekankan bahwa kekerasan yang dialami mereka tak cukup diakomodasi oleh UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004. Karena itu, perlu adanya urgensi perlindungan bagi PRT dalam konteks hubungan kerja.
Laporan Magdalene menguraikan, sudah kurang lebih 19 tahun berbagai organisasi masyarakat sipil termasuk JALA PRT, mengajukan dan memperjuangkan RUU PPRT ke DPR. RUU PPRT sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir sudah disepakati oleh Pleno Baleg DPR RI pada 1 Juli 2020 untuk diserahkan ke Bamus DPR agar diagendakan di Rapat Paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif.
Agustus 2022, pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) juga sudah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT. Dan pada 18 Januari 2023, Presiden RI Joko Widodo telah berkomitmen atas perlindungan PRT dan secara resmi memberikan pernyataan secara tegas untuk menggenjot pengesahan RUU PPRT.
Baca Juga: Cinta dan Kekerasan, Pentingnya Mengenal Batasan di Antara Keduanya
Komnas Perempuan sendiri berpandangan, kehadiran peraturan yang komprehensif dalam bentuk UU PRT bakal menjamin pengakuan dan perlindungan PRT. Ada tiga poin utama yang ditekankan untuk pengaturannya dalam RUU PRT menurut Komnas Perempuan. Di antaranya, ada pengakuan PRT sebagai pekerja. Lalu, perlindungan bagi PRT yang tidak hanya terbatas pada diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, tapi juga perjanjian kerja, jaminan atas hak dan perlindungan sosial, serta pemenuhan hak-hak pekerja lainnya. Terakhir, pengaturan terhadap pemberi dan penyalur kerja demi memastikan keseimbangan posisi tawar dan menghapuskan perdagangan orang.
- Perhatian Khusus pada Femisida hingga Pelanggaran HAM Berat
Komnas Perempuan juga menjadi lebih interseksional karena turut mengangkat berbagai kasus. Sebut saja masalah pelanggaran HAM berat, kekerasan seksual, femisida, perempuan dengan disabilitas, kekerasan yang dialami minoritas seksual, perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS), perempuan pembela HAM, kekerasan dengan pelaku anggota TNI atau POLRI, dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Lebih detailnya, untuk data perempuan dengan HIV pada 2022, Komnas Perempuan menerima langsung data dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). Salah satu temuan masih tingginya Ibu Rumah Tangga sebagai korban (terdapat 42 orang yang sudah menikah, 8 orang belum menikah dan 5 orang bercerai). Bentuk kekerasan yang paling tinggi dialami oleh perempuan positif, yaitu kekerasan fisik, baik pemukulan atau penganiayaan. Sementara, kekerasan psikis terhadap perempuan positif HIV berupa larangan melanjutkan pengobatan atau menebus antiretroviral (ARV).
Untuk data kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas dari lembaga layanan sepanjang 2022 sebanyak 72 kasus. Perempuan dengan disabilitas ganda–lebih dari satu disabilitas–merupakan kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan, yakni mencapai 27 korban. Sementara, data pengaduan Komnas Perempuan mencatat 7 pengaduan perempuan dengan disabilitas yang mengalami kekerasan, umumnya di ranah personal.
CATAHU 2023 Komnas Perempuan menerima kasus minoritas seksual dari empat lembaga layanan yang tersebar di Jakarta, Surabaya, dan Jawa Barat. Dalam hal ini, angka tertinggi kekerasan berbasis gender (KBG) adalah kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 23 kasus; 4 kasus kekerasan perempuan dicatat oleh Komnas Perempuan.
Ada satu kasus KBG terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilaporkan oleh lembaga layanan Safe Circle Community. Kasus yang diadukan adalah penyebaran konten yang merusak reputasi/ nama baik korban dan organisasi. ini menunjukan, keamanan terhadap perempuan pembela HAM masih perlu mendapatkan perhatian.
Selain itu, pada 2023 masih terdapat kasus KBG yang pelakunya adalah TNI dan POLRI. Data CATAHU menunjukan terjadinya peningkatan angka pelaku yang konsisten selama lima tahun.
- UU TPKS Saja Tak Cukup
Pada 12 April 2022, UU TPKS disahkan di Parlemen. Laporan Magdalene mencatat sembilan bentuk kekerasan seksual yang dimasukkan, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektronik, dan eksploitasi seksual.
UU TPKS juga mengatur pemidanaan (sanksi dan tindakan); hukum acara khusus yang menghadirkan terobosan hukum acara yang mengatasi hambatan keadilan bagi korban, mulai dari restitusi, dana bantuan korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Kendati telah disahkan, tapi ternyata penegakan hukumnya tak berjalan optimal. Salah satu indikatornya adalah belum ada payung hukum turunan yang berpihak pada korban. Pada 2022, Komnas Perempuan mencatat terbitnya 20 kebijakan di bawah UU yang memuat diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perempuan. Kebijakan diskriminatif masih menggunakan pola pengaturan yang sama, yaitu potensi kriminalisasi, kontrol terhadap tubuh perempuan melalui pembatasan hak berekspresi dan berkeyakinan, serta pembatasan kehidupan beragama yang berdampak pada pembatasan dan atau pembedaan atas dasar agama.
Tak cuma itu, yang urgent untuk menegakkan UU itu adalah dengan memastikan aparatnya memiliki perspektif gender yang baik. Namun, melihat CATAHU 2023, aparat seperti TNI/ Polri nyatanya justru andil menjadi pelaku kekerasan. Berangkat dari situlah, butuh pendidikan gender yang komprehensif untuk seluruh stake holders termasuk negara.
Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat juga perlu lebih serius menambah dan menyediakan akses pemulihan dan perlindungan korban. Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan, hal ini untuk menyikapi tingginya kekerasan dalam bentuk psikis baik di ranah personal maupun publik, serta kebutuhan pendampingan psikis pada semua kasus kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual. Bukankah dalam UU TPKS, urusan perlindungan dan pemulihan korban ini juga menjadi perhatian khusus dalam Pasal 67 ayat (1).
Hak penanganan maksudnya hak memperoleh dokumen hasil penanganan, hak pelayanan hukum, layanan kesehatan, psikologis, layanan atau fasilitas sesuai kebutuhan korban, hingga penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Pendamping korban juga berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi dan tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana, maupun perdata atas pendampingan dan pelayanannya.
“Pada akhirnya, pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif yang lebih optimal juga akan berkontribusi positif dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan,” tutup Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan.