December 6, 2025
Issues Politics & Society

Melawan Sambil Rebahan, Apa itu Aktivisme Digital dan Tantangannya

Kasus Korlantas yang mengevaluasi penggunaan ‘voorijder’ dan aksi massa di Nepal, jadi bukti aktivisme digital penting. Namun bukan berarti strategi perlawanan ini tak imun dari hambatan.

  • October 2, 2025
  • 5 min read
  • 661 Views
Melawan Sambil Rebahan, Apa itu Aktivisme Digital dan Tantangannya

Kematian Affan Kurniawan akhir Agustus lalu menjadi puncak kemarahan masyarakat terhadap kondisi negara. Selain turun ke jalan, kemarahan itu tersalurkan lewat media sosial. Warna-warna seperti hero green, brave pink, dan resistance blue digunakan sebagai simbol perlawanan, bahkan menjadi foto profil netizen. Poster-poster ajakan mengikuti aksi massa bermunculan, disertai penggalangan dana untuk kebutuhan medis dan makanan, serta tuntutan 17+8 yang dipublikasikan lewat Instagram. 

Berbagai upaya kolektif ini menunjukkan aktivisme di media sosial kini menjadi salah satu cara melawan rezim. Platform digital menjadi wadah untuk menyuarakan aspirasi sekaligus mendesak pemerintah merespons tuntutan masyarakat. 

Fenomena serupa terjadi di Nepal, saat masyarakat menuntut akuntabilitas dan penggulingan pemerintahan pada pertengahan September lalu. Akun Instagram @gen.znepal, yang memiliki lebih dari 20 ribu pengikut, menyuarakan tuntutan terhadap pemerintah: Mengecam brutalitas aparat terhadap aksi protes Gen Z, menuntut pengakuan resmi atas korban yang meninggal, serta meminta penyelidikan menyeluruh dan pengadilan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab. 

Di Filipina, masyarakat juga mengekspresikan kemarahan melalui TikTok, Facebook, dan X (dulunya Twitter). Mereka menyasar anggota parlemen dan taipan konstruksi yang terlibat skandal proyek fiktif pengendalian banjir, yang menimbulkan kerugian negara miliaran dolar. 

Melansir South China Morning Post, sejumlah kreator dengan beragam jenis konten membentuk kelompok Creators Against Corruption (CAC). Mereka menggunakan platformnya untuk mengungkap kasus korupsi dan menuntut akuntabilitas pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa perlawanan digital dapat menjadi bagian dari perjuangan sosial secara nyata.  

Kejadian di Indonesia, Nepal, dan Filipina menunjukkan, media sosial memudahkan siapa pun untuk menyuarakan isu. Pertanyaannya, sejak kapan aktivisme digital menjadi medium bagi masyarakat? 

Baca Juga: ‘Call-Out Culture’ di Media Sosial: Berfaedah atau Bikin Lelah? 

Aktivisme Digital Jadi Cara Melawan 

Aktivisme digital mulai populer sejak tagar gerakan #MeToo viral di medsos pada Oktober 2017. Gerakan tersebut ramai setelah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh produser film Harvey Weinstein terekspos. Kemudian, aktor Alyssa Milano mengajak penyintas kekerasan seksual menggunakan #MeToo di medsos, untuk memberikan gambaran besarnya masalah ini. 

Dari gerakan #MeToo dan solidaritas perempuan di medsos, kita bisa melihat netizen bukan cuma mengungkapkan kemarahan, tapi membentuk struktur. Contohnya penggunaan tagar yang menunjukkan solidaritas, menyatukan isu yang disuarakan, sekaligus membuat gerakan terorganisir. 

Aktivisme digital yang terorganisasi juga memberikan ruang untuk melawan. Masyarakat bukan cuma meluapkan kemarahan, tetapi mempercepat mobilisasi politik dan siklus tindakan, serta membentuk kolektivitas baru. 

Namun, aktivisme digital sering dikritisi karena dianggap tak dapat memberikan perubahan pada struktur politik dan sosial. Dalam The myth of ‘us’: digital networks, political change and the production of collectivity (2014), sosiolog Inggris Nick Couldry menyatakan, solidaritas dan aksi yang cepat belum tentu membentuk perubahan politik dalam jangka panjang. Salah satu alasannya, cara ini belum menjamin pembentukan identitas politik yang stabil maupun transformasi mendalam. 

Meski begitu, di situasi saat ini, aktivisme digital menjadi langkah efektif bagi masyarakat Indonesia, Nepal, dan Filipina. Setidaknya untuk “didengarkan” pejabat negara. Sosiolog Imam Prasodjo melihat, ini karena menyuarakan langsung, seperti melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), justru sarat akan kepentingan partai politik. Akhirnya, masyarakat pun tak bisa bergantung pada anggota parlemen. 

Karena itu, masyarakat bersolidaritas dan memanfaatkan platform digital untuk mengkritik pemerintah. Tuntutan yang viral, diharapkan lebih mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan, meski belum tentu secara substantif. 

“Kalau enggak responsif, yang akan muncul itu sanksi sosial. Paling ekstrem kayak di Nepal,” ujar Imam. 

Baca Juga: Belajar dari Negara Lain Gencarkan Aktivisme Berbasis Karya Seni Digital

Aktivisme di Tengah Represi Digital 

Realitasnya, aktivisme digital juga rentan terhadap represi. Awal September silam, Laras Faizati ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan provokasi. Tuduhan itu muncul dari anggota kepolisian, yang menilai Laras mengunggah postingan Instagram, agar masyarakat membakar gedung Mabes Polri. 

Kasus lain juga menimpa FZ, pelajar dan penulis di Omong Omong Media. Ia menuliskan keresahan terhadap sistem pendidikan pascareformasi, yang membutakan pelajar SMA terhadap hak asasi manusia (HAM). 

Tindakan represif ini menjadi tantangan bagi aktivisme digital. Ketika ruang berekspresi terus dipersempit, menurut Imam, justru dapat memicu ketidakpuasan masyarakat yang berujung pada ledakan, seperti terjadi di Nepal. 

Pemerintah yang represif mencerminkan, negara menganggap ekspresi digital sebagai ancaman, bukan partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Selain ruang aspirasi, idealnya aktivisme digital menjadi kontrol sosial, bukan dihadapkan pada kriminalisasi dan intimidasi. Situasi ini membuat aktivisme digital tak hanya memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, tetapi mempertahankan hak kebebasan berpendapat.  

Meski demikian, bukan berarti aktivisme digital belum berbuah baik. Keberhasilannya justru datang dari hal-hal kecil. Misalnya di medsos, netizen sepakat untuk tak memberikan jalan bagi voorijder, yang termasuk bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Hasilnya, (20/9) Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho menyatakan, penggunaan strobo dan sirine dalam layanan patroli dan pengawalan (patwal) di jalan raya, dievaluasi dan dihentikan sementara. 

Ada juga tren spill harga outfit pejabat, yang juga mencerminkan harta mereka. Awalnya tren ini dilakukan di Nepal, untuk menunjukkan ketimpangan sosial dari nepo baby pejabat saat menggulingkan rezim. Kemudian diadaptasi oleh masyarakat Indonesia melalui akun Instagram @cabinetcouture_idn. Atau ajakan datang terlambat ke bioskop, saat iklan capaian Presiden Prabowo Subianto ditayangkan. 

Baca Juga: Aktivisme Iklim Hari Ini yang Lebih Digital dan Inklusif 

Inisiatif-inisiatif ini kecil, tapi dapat memberikan sanksi sosial bagi pemerintah, penguasa. Imam mengatakan, pemerintah cenderung merespons aspirasi yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik, seperti protes terhadap voorijder. Ini menjelaskan mengapa Korlantas segera menindaklanjuti keluhan tersebut, ketimbang enam poin kesepakatan DPR terhadap tuntutan 17+8 yang belum inklusif. 

Tantangan aktivisme digital memang besar, tetapi ruang digital tetap bisa digunakan sebagai alat perlawanan yang efektif—meski artinya masyarakat harus sambil memperjuangkan kebebasan berpendapat. Sebab, keberhasilan-keberhasilan yang membawa perubahan ini, mengingatkan ada harapan dari berbagai upaya perlawanan. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.