Ada Apa dengan Aldi Taher dan Sirkus Media yang Mengelilinginya?
Apa yang salah dari cara media mempertontonkan Aldi Taher?
Baru-baru ini, stasiun televisi TVOne mewawancarai aktor Aldi Taher dalam kapasitasnya sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Wawancaranya berkisar perihal Aldi yang terdaftar sebagai bacaleg dari dua partai politik (parpol) yang berbeda, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Namun, wawancara tersebut justru banyak mengundang perhatian dan diperbincangkan di media sosial karena perilaku dan pernyataan yang dibuat Aldi.
Meskipun tingkah Aldi memang mengundang gelak tawa, masyarakat Indonesia – terutama yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 – perlu waspada dan kritis terhadap bagaimana figur publik memanfaatkan media guna meningkatkan elektabilitas, namun dengan mengesampingkan substansi tujuan berpolitik.
Baca juga: Politik Identitas Masih Akan Laku di Pemilu 2024?
Afiliasi Dua Partai Politik
Aldi sebelumnya terdaftar sebagai bacaleg DPRD DKI dari PBB. Pada saat yang bersamaan, dia juga terdaftar sebagai bacaleg DPR RI dari Perindo. Padahal, persyaratan pencalonan anggota legislatif yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) jelas menyatakan bahwa bacaleg hanya dapat diajukan oleh satu parpol untuk satu lembaga perwakilan.
Kita juga perlu mencatat bahwa Aldi pernah beberapa kali berpindah-pindah partai. Pada 2019, ia merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), lalu pindah ke PBB pada 2021. Meskipun tidak pasti kapan Aldi secara resmi pindah ke Perindo, dia menyatakan dalam wawancara di TVOne bahwa dia sudah mengundurkan diri dari PBB sebelum menjadi bacaleg dari Perindo.
Namun, Sekretaris Jenderal PBB, Arfiansyah Noor, mengaku Aldi masih menjadi anggota resmi PBB per tanggal 13 Mei 2023, sehari sebelum menjadi bacaleg Perindo.
Riwayat gonta-ganti partai ini membuat keyakinan ideologi Aldi Taher sulit dipahami. Jika ada bacaleg yang bertingkah serupa, masyarakat perlu mempertanyakan secara kritis apakah betul mereka benar-benar berniat menjadi seorang pelayan publik. Apakah benar tujuan mereka mencalonkan diri sebagai bacaleg untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, atau jangan-jangan hanya untuk sarana promosi diri semata.
Baca juga: 4 Isu yang Perlu Diutamakan di Pemilu 2024 Menurut Generasi Z
Paparan media untuk kepentingan pribadi
Selama wawancaranya di stasiun televisi tersebut, alih-alih memberikan jawaban substansial atas pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara, Aldi malah membuat pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal dan melakukan aksi yang tidak relevan dengan konteks wawancaranya.
Di awal wawancara, misalnya, Aldi secara tiba-tiba menyanyikan lagu “Yellow” (2000) yang dipopulerkan oleh Coldplay, grup musik legendaris asal Inggris.
Ketika ditanya tentang afiliasinya dengan dua partai, Aldi merespons dengan mengatakan qadarullah (kehendak Tuhan). Aldi akhirnya menjawab bahwa dia sendiri “bingung” kenapa dia menjadi bacaleg dari Perindo. Ketika ditanya tentang apa yang ingin dia perjuangkan jika nantinya terpilih sebagai wakil rakyat, Aldi merespons dengan membaca surat Al-Fatihah, sebelum akhirnya mengatakan “lihat saja kerja saya nanti”.
Tindak-tanduk Aldi ini menimbulkan pertanyaan tentang strategi politiknya untuk mendulang suara jelang pemilu mendatang.
Praktik Politik Tontonan
Strategi politik Aldi Taher sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang unik, apalagi kalau kita melihat lanskap politik global. Strategi yang mirip juga bisa dilihat dalam kampanye politik mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, misalnya.
Meski tidak sama persis, Trump juga menggunakan bahasa dan tingkah laku yang mengundang sensasi. Hal ini bisa dilihat ketika dia menyombongkan ukuran kejantanannya dalam debat calon presiden, sampai dengan usulannya untuk menyuntikkan disinfektan untuk mengobati COVID-19.
Tingkah laku semacam ini merupakan bentuk “media spectacle” (tontonan media) yang dirumuskan Douglas Kellner, profesor di Columbia University, sebagai konstruksi media yang menjadi tontonan yang dikonsumsi dan menarik perhatian media dan masyarakat.
Media spectacle disebarluaskan melalui televisi, internet, media sosial, serta teknologi komunikasi dan media baru lainnya. Penggunaan media spectacle terbukti sangat efektif dalam menarik perhatian media selama kampanye Donald Trump dan berkontribusi dalam kemenangannya di pemilihan presiden AS tahun 2016.
Baca Juga: Tiktok Jadi Alat Pemilu Politikus di Asia Tenggara
Ancaman di Balik Layar
Penggunaan praktik politik tontonan dalam kampanye pada dasarnya bukan hal yang salah. Namun, hal ini menjadi masalah ketika tontonan yang disajikan justru mengalihkan perhatian dari wacana politik yang substansial dan isu-isu yang penting bagi masyarakat.
Sepintas, Aldi terlihat lucu dan jenaka, tetapi jawaban “lucu”-nya atas pertanyaan-pertanyaan penting tentang agenda politik justru terkesan mengesampingkan bahkan mengabaikan isu-isu serius yang tengah dihadapi konstituennya. Padahal, masih banyak masalah yang dirasakan masyarakat Jawa Barat, seperti jalan rusak, tingkat pengangguran yang tinggi, serta pemulihan perekonomian pasca-pandemi.
Ketika seorang calon anggota legislatif begitu tak acuh akan tujuan politik mereka dan malah berfokus pada lelucon dan sensasi demi mendulang suara, ini bisa jadi pertanda bahwa dia tidak benar-benar memiliki komitmen untuk melayani dan mewakili rakyat.
Donald Trump, misalnya, berhasil memanipulasi media spectacle hingga memenangkan pemilu presiden AS meski tak punya rancangan kebijakan yang jelas untuk kepentingan rakyat AS.
Belum lagi potensi bahaya tontonan semacam ini terhadap proses demokrasi. Degradasi debat dan wacana politik kemudian menjadi sensasionalisme semata dan, sebagai dampaknya, dapat menggerogoti keseriusan iklim politik. Hal ini kemudian dapat melemahkan kemampuan konstituen untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang relevan tentang pemimpin terpilih.
Selain itu, ketika politikus berperilaku sedemikian rupa, dia membuka pintu untuk bentuk politik tontonan yang lebih ekstrem yang dapat digunakan untuk memanipulasi para pemilih. Ini merupakan ancaman yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap proses dan institusi demokrasi.
Artinya, meski media spectacle mungkin efektif dalam menarik perhatian pemilih dalam kampanye politik, strategi ini harus digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab.
Para kandidat politik harus ingat bahwa tujuan utama mereka adalah melayani dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Maka dari itu, perilaku mereka harus pula sesuai dengan tujuan tersebut.
Dalam era ketika garis antara tontonan dan politik semakin kabur, penting pula bagi para pemilih untuk waspada dan berpikir kritis. Kita sebagai pemilih harus menuntut lebih dari sekadar tontonan dan hiburan dari pejabat terpilih. Penting bagi semua kalangan masyarakat untuk menuntut tanggung jawab dan kebijakan substantif yang menjawab kebutuhan dan persoalan dalam masyarakat.
Ashika Paramita, PhD Candidate, Deakin University
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.