Sebuah Pembacaan Ulang: Benarkah Alquran Pinggirkan Perempuan?
Melalui pembacaan ulang Alquran dengan perspektif gender, penafsir perempuan Amina Wadud menunjukkan, Islam memang penuh kasih sayang.
“Perempuan yang menolak berhubungan seks dengan suaminya, akan dilaknat malaikat sampai Subuh.”
“Perempuan tak perlu bekerja di luar, cukup melayani suami di rumah karena di sanalah surganya perempuan berada.”
Familier dengan konten-konten ceramah semacam itu? Biasanya ceramah ini terlontar dari “ustaz karbitan” yang punya basis massa lumayan di media sosial. Jika kata-kata yang ditafsirkan secara tekstual itu dipakai sebagai alat untuk membatasi perempuan atau justru melanggengkan kekerasan termasuk marital rape misalnya, kita berhak mengkritisinya. Bukankah perempuan diberi tempat istimewa untuk ikut berpikir?
Feminis Muslim Musdah Mulia, dalam bukunya Muslimah Reformis (2021) mengatakan, banyak sekali ayat Alquran yang berbicara tentang tauhid (keesaan Allah). Tauhid menurut Musdah menekankan pentingnya prinsip keadilan dan kesetaraan manusia, lelaki dan perempuan. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang diciptakan dengan derajat lebih rendah. Sayangnya, hal ini kerap dilupakan orang ketika membicarakan perempuan dalam Islam.
Dengan tafsir dari mufassir (penafsir laki-laki) yang mayoritas membaca Alquran secara tekstual, para ustaz memberikan pemahaman pada masyarakat, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Dalam hal ini, keberadaan mufassirah (penafsir perempuan) pun jadi sangat penting. Pembacaan ulang Alquran oleh mufassirah dapat membantu kita untuk memahami lebih dalam mengenai Islam yang berpusat pada pesan keadilan dan kesetaraan bagi setiap manusia sesuai prinsip tauhid.
Bagaimana Alquran Melihat Perempuan dalam Perspektif Gender?
Amina Wadud, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, seorang mufassirah progresif, dan penulis buku Qur’an and Woman (1992), melalui diskusi publik yang bertajuk ‘Gender in The Alquran: The Perspectives and Social Movement’, (25/8) angkat bicara. Ia melihat perempuan harus berjuang melawan tafsir-tafsir Islam yang sangat patriarkal dari mereka yang nir-perspektif gender.
“Wacana Islam yang selama ini hadir di tengah masyarakat hanya hadir untuk menyerang perempuan atas nama Islam, seakan-akan Islam ada untuk membenarkan tindak ketidakadilan terhadap perempuan,” kata dia.
Hal ini terjadi karena pemahaman perempuan dalam Alquran sayangnya diteropong dari sudut pandang laki-laki saja. Padahal faktanya, Alquran sendiri secara jelas memperhitungkan pengalaman perempuan. Contohnya, Alquran menggambarkan proses persalinan dalam surah Maryam ayat 22-26 sebagai pengalaman perempuan yang sangat menyakitkan dan melelahkan.
“Alquran memberikan arti penting pada pengalaman perempuan, sehingga pengalaman perempuan selalu berharga di dalamnya,” tandas Amina.
Karena itulah, imbuh Amina, penting untuk menggunakan metode baru dalam membaca ulang Alquran agar lebih relevan. Dengan pembacaan ulang Alquran, kita diajak untuk melihat ketidakadilan terhadap perempuan. Pembacaan ulang ini juga memberikan kita ruang untuk mempertanyakan kembali apakah pengalaman perempuan itu penting bagi Islam dan apakah benar anggapan nyinyir soal Alquran yang meminggirkan perempuan?
Amina menjelaskan, kita tidak boleh memandang Islam sebagai ajaran agama yang tidak berkembang sejak abad ke-7 Masehi. Tradisi Islam di masa itu cenderung membaca teks apa adanya tanpa memperhitungkan konteks di mana ayat itu lahir, bagaimana kondisi sekarang, dan seterusnya. Berangkat dari sejarah tersebut, penting untuk membaca ulang teks dalam perspektif gender agar membuatnya tetap relevan.
Pertama, yang harus dilakukan untuk melakukan pembacaan Alquran berperspektif gender adalah dengan menggunakan paradigma tauhid. Dalam konteks ini, Tauhid menitikberatkan kesetaraan hubungan antara manusia. Tauhid tak mengenal adanya penindasan terhadap perempuan dalam Alquran. Kedua, mempertimbangkan suara dan pengalaman perempuan itu sendiri. Perempuan sering mengalami pengalaman yang berbeda dengan laki-laki dan melalui tafsir tradisional yang dilakukan lelaki, pengalaman mereka kerap terpinggirkan. Ketiga, melakukan pembacaan ulang Alquran dengan menafsirkannya secara kontekstual, tidak hanya memahaminya secara tekstual, seperti yang dilakukan mayoritas mufassir dalam karya-karya mereka.
Dari sinilah kemudian kita dapat melihat perbedaan yang paling tajam bahwa Alquran berbicara secara adil.
“Saya tidak melihat adanya dominasi bahasa yang sangat bias gender yang biasanya saya lihat di dalam tafsir para mufassir” tutur Amina lagi.
Gerakan Perempuan Islam Indonesia Menerapkan Ketauhidan
Pembacaan ulang Alquran dengan memasukkan perspektif gender dan ketauhidan tampaknya telah diterapkan oleh berbagai gerakan perempuan Islam Tanah Air. Siti Ruhaini Dzuhayatin, staf khusus Kepresidenan RI bidang keagamaan internasional mengatakan, kelompok-kelompok ini melakukan penyesuaian dengan memasukkan aspek modernitas. Hasilnya adalah kemunculan gerakan perempuan Islam yang cenderung moderat, seperti Aisyiyah.
Dalam artikel akademik yang ditulis oleh Dyah Siti Nura’ini, sekretaris pimpinan pusat Aisyiyah, sebagai organisasi perempuan, Aisyiyah melihat berapa pentingnya partisipasi dan peran perempuan dalam dakwah Islam demi tercapainya masyarakat yang sejahtera. Dalam pergerakannya, Aisyiyah mendirikan sekolah-sekolah agar perempuan bisa jadi madrasah yang baik, setidaknya untuk ia sendiri.
Tak hanya membuat sekolah-sekolah, Aisyiyah juga ajek menulis buku progresif, termasuk Adabul Maráh fil Islam (1974). Dalam buku ini, teks dalam Alquran mengenai kepemimpinan, dikaji ulang dengan memberikan pernyataan pada perempuan bahwa mereka bisa menjadi pemimpin. Mereka bisa menjadi gubernur, bupati, jendral, atau bahkan dokter.
Dari contoh ini, kita kemudian dapat memahami Islam dan kitab sucinya, Alquran sebenarnya mengandung pesan welas asih yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan. Dengan penafsiran yang berperspektif gender, maka kemuliaan (karamah) atas harkat martabat perempuan bisa terwujud.