Anak Muda Kunci Atasi Kekerasan Terhadap Perempuan, Radikalisme
Anak muda memiliki peran penting dalam menanggulangi masalah-masalah dari kekerasan terhadap perempuan sampai radikalisasi agama.
Mataram, NTB – Anak muda memiliki peran penting dalam menanggulangi masalah sosial dalam masyarakat, mulai dari kekerasan terhadap perempuan, pernikahan anak, hingga radikalisasi agama. Inilah topik yang dibahas di salah satu sesi dalam konferensi pemuda yang diselenggarakan oleh Oxfam Indonesia pada 15 Januari di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Provinsi ini menempati urutan kelima di Indonesia dalam hal prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, serta peningkatan penyebaran radikalisme Islam.
“Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan terhadap anak mencapai 23.000 dari 2012 sampai 2016. Ini bukanlah jumlah yang sedikit,” kata Ruby Kholifah, perwakilan Asian Muslim Action Network (AMAN) di Indonesia.
Perkawinan anak juga merupakan bentuk kekerasan terhadap anak, kata Ruby, yang juga salah satu dari 100 perempuan BBC pada 2014, sebuah program yang memilih 100 perempuan yang berpengaruh di seluruh dunia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF menunjukkan bahwa 340.000 anak perempuan di bawah 18 tahun sudah menikah setiap tahunnya.
Pembicara lain, Atun Wardatun, Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, menekankan pentingnya peran keluarga dalam mengakhiri siklus kekerasan.
“Jika orang tua mendidik anak-anaknya dengan memukul, itu akan diinternalisasi oleh anak mereka. Kelak ketika anak mereka menikah dan memiliki anak, mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika siklus kekerasan ini terjadi, budaya kekerasan akan terus merajalela,” kata Atun.
Berbicara tentang masalah radikalisme, perempuan juga harus dilibatkan, karena mereka juga memiliki peran dalam gerakan radikal.
“Di Indonesia, perempuan yang beremigrasi dan kemudian melakukan jihad biasanya pergi bersama keluarga mereka. Kementerian Sosial menemukan bahwa 78 persen orang yang kembali ke Indonesia, baik dari Suriah, Turki atau Irak adalah perempuan dan anak-anak. Sering kali mereka pergi karena paksaan oleh suami mereka,” ujar Ruby.
“Perempuan juga dikonstruksikan bahwa jika dia berjihad, maka dia akan memiliki derajat yang sama, bahkan mungkin lebih tinggi dari laki-laki,” tambahnya.
Ruby mengatakan bahwa kita juga perlu melihat bagaimana perempuan dan anak perempuan menjadi target dalam proses radikalisasi.
“Mereka saat ini mengalami kebingungan yang luar biasa karena banyaknya propaganda di media sosial,” kata Ruby.
Kampanye mereka berkisar dari pernikahan anak atau menekan anak muda untuk segera menikah, hingga mengenakan niqab untuk menutupi wajah mereka. Meskipun Ruby tidak mengasosiasikan pemakaian niqab dengan radikalisme, dia berargumen bahwa hal itu sering kali menjadi pintu masuk bagi anak-anak muda untuk bergabung dengan kelompok radikal.
“Ada gerakan yang menggambarkan bahwa memakai niqab membuat perempuan terlihat modis, seksi dan keren. Dan kampanye itu dipoles dengan sangat cantik, sehingga mereka ingin seperti itu,” katanya. Proses ini memengaruhi pemuda untuk bergabung dengan gerakan radikalisasi, bahkan “mempersiapkan mereka untuk menjadi martir,” jelasnya.
Cara termudah untuk menjadi agen perubahan adalah dengan memulai dari diri kita sendiri dan lingkungan sekitar kita, saran Ruby. Sering kali kekerasan terjadi di depan mata kita sendiri, entah dalam bentuk fisik, psikologis atau verbal, tapi kita sering tidak menyadarinya, sehingga kita tidak melakukan apa pun tentang hal itu, ujarnya.
“Sebagai anak muda, mulailah dari diri sendiri untuk melakukan anti kekerasan terhadap perempuan. Kita bisa mulai dari rumah, juga di masyarakat di sekitar kita,” katanya.
Artikel original dalam bahasa Inggris bisa dibaca di sini.