Politics & Society

Andal(iman): Resep Spiritual Butet

Kita tidak perlu langsung berputus asa, tidak pula perlu berambisi mengubah dunia secara luar biasa.

Avatar
  • July 18, 2017
  • 4 min read
  • 783 Views
Andal(iman): Resep Spiritual Butet

Lahir sebagai seorang anak dari orangtua berlatar belakang suku dan agama yang sama adalah hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Di Indonesia, seorang perempuan dari suku Jawa biasanya menikah dengan pria dari suku Jawa pula. Begitu pula soal agama, sangat jarang ditemukan sepasang kekasih berbeda agama yang langgeng hubungannya sampai pernikahan akibat tidak direstui orangtua. Fenomena ini pula yang saya alami sebagai seorang Butet dari keluarga besar beradat Batak kental dan beragama Kristen metal (baca: konservatif).

Butet kecil tidak tahu Harry Potter itu keren, sebab majalah rohani langganan Mamak menyatakan kalau itu film setan. Rak buku Butet remaja dipenuhi buku-buku teologia Kristen. Sampai SMA, Butet belajar di sekolah swasta berbasis agama. Butet bersyukur kuliah jauh dari rumah, mengenyam pendidikan tinggi di universitas yang cukup plural. Inilah titik kejatuhan sekaligus kebangkitan Butet.

 

 

Semasa kuliah, Butet bertemu cukup banyak orang hebat berwawasan luas dan penuh toleransi. Itulah masa-masa dimana Butet mengalami gegar budaya dan dalam dua tahun terakhir masa perkuliahan mengalami depresi berat, mencoba bunuh diri empat kali. Tidak banyak teman-teman kuliah dan dosen tahu keadaaan Butet ini karena sakit mental memang kerap kali tidak tampak jelas pada kehidupan sehari-hari penderita.

Setiap kali bangun pagi, matahari tampak terbit sembari mengacungkan jari tengahnya dari balik tirai kamar. Kebingungan menyelimuti pikiran Butet seharian. Apa benar dunia memang ditakdirkan Tuhan sangat suram dan muram? Peperangan, pembunuhan, pemerkosaan, pertikaian. Apa Tuhan yang Butet kenal sejak kecil dan Tuhan yang Butet kenal sekarang adalah sosok yang sama? Eh, apakah Tuhan benar ada?

Sebelum Butet memutuskan apa yang harus dilakukan, hari sudah berakhir. Malam jalang menjelang menerjang tubuh Butet yang makin enggan bergerak dari atas ranjang. Butet lapar tetapi tidak ingin makan. Butet ketakutan dan kelelahan. Butet sendirian, terperangkap dalam pikiran gelap dan perasaan kalap.

Butet kesepian walau banyak saudara dan teman. Butet merasa tidak ada seorang pun yang mengerti Butet, Tuhan sekalipun tidak. Butet yang sudah lama lupa akan pengalaman-pengalaman pahit sewaktu kecil, tiba-tiba sering teringat kembali hal-hal buruk itu. Saat Butet kecil diremas-remas dadanya oleh seorang guru sekolah. Saat Bapak dan Mamak berkelahi dan saling menyakiti.

Saat kuliah Butet harus menghadapi dunia yang ternyata tidak hitam dan putih lagi. Butet mengenal seorang sahabat yang taat beribadah namun homoseksual. Butet mengenal seorang sahabat yang melakukan aborsi karena paksaan kekasihnya dan juga takut dengan stigma buruk masyarakat akan kehamilan di luar nikah. Butet sendiri pun entah mengapa mencintai seorang Muslim bersuku Jawa yang tentunya tidak akan direstui orangtua.

Butet mulai banyak membaca buku-buku filsafat, kosmologi dan kitab suci dari agama samawi lainnya. Butet mencoba beribadah di berbagai gereja. Butet mencoba ikut berbagai diskusi terkait spiritualitas dan ilmu pengetahuan lainnya. Butet mencoba berdoa kepada Tuhan setiap saat untuk memohon petunjuk. Butet enggan didiagnosa berpenyakit mental, Butet takut dianggap gila. Butet harus mencari suatu titik temu dari kebingungan ini ataukah hidup seperti biasa seolah-olah Butet baik-baik saja?

Akhirnya Butet memutuskan untuk mencari suatu titik temu. Butet mulai jujur pada diri sendiri dengan terbuka pada teman-teman dekat dan beberapa anggota keluarga. Butet harus berani. Apa pun risikonya, menjadi jujur bukan suatu pilihan tetapi keharusan agar kita bisa damai sejahtera. Ternyata, respon mereka tidak seburuk yang Butet duga walau mereka terkejut. Saat Butet belajar memahami diri sendiri dan dunia di luar Butet, saat itu juga lah teman-teman dan keluarga belajar mengasihi Butet apa adanya.

Delapan bulan telah berlalu sejak percobaan bunuh diri terakhir dan Butet baik-baik saja. Inilah resep Butet: andaliman. Tetaplah beriman ketika kita dalam keadaan sulit. Iman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: kepercayaan; keyakinan; ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin. Iman pada siapa pun itu dan soal apapun itu, mari tetap beriman.

Sesungguhnya, kita punya kendali atas diri kita. Kita punya kuasa.

Saat ini, Butet sedang menikmati keseharian. Saat bermain dengan ketiga kucing Butet. Saat mendengarkan gemerisik daun dari pepohonan. Saat mengerjakan setumpuk tugas. Saat mendengarkan musik klasik di sore hari sambil menunggu senja berakhir di langit. Bahkan saat Mamak dan Bapak mengomeli Butet dengan sayangnya.

Kita tidak perlu langsung berputus asa, tidak pula perlu berambisi mengubah dunia secara luar biasa. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah jujur dan menerima diri sendiri. Segala hal baik lainnya akan terjadi begitu saja ketika kita baik pada diri sendiri kita terlebih dahulu. Inilah yang Butet imani. Andaliman bah!

Yasha Nomiva adalah seorang sarjana muda yang tinggal bersama ketiga kucingnya, selalu tertarik pada kosmologi dan demonologi, menyukai acara pemakaman.



#waveforequality


Avatar
About Author

Yasha Nomiva

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *