Issues Opini

Jakarta Masih Jadi Magnet ‘Job Seeker’, Perlukah Antisipasi Pengangguran?

Butuh strategi matang agar kedatangan perantau tak bikin Jakarta kian kumuh dan disesaki pengangguran.

Avatar
  • June 27, 2024
  • 5 min read
  • 610 Views
Jakarta Masih Jadi Magnet ‘Job Seeker’, Perlukah Antisipasi Pengangguran?

Arus perpindahan penduduk produktif ke Jakarta sudah jadi langganan tahunan. Khususnya setiap arus balik Lebaran dan liburan panjang, banyak warga non-Jakarta berbondong-bondong datang. Kedatangan para perantau ini pun menuai respons beragam.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jakarta menunjukkan, kedatangan perantau lantaran Jakarta masih jadi magnet ribuan pencari kerja. Karena itulah, penting untuk memastikan transisi ini membawa manfaat optimal bagi semua.

 

 

Data terakhir dari Dashboard Statistik Kependudukan DKI Jakarta mencatat, ada peningkatan signifikan pendatang dari luar DKI sekitar hampir lebih 8000 orang terhitung semenjak Lebaran 2024 hingga sekarang yang mengurus administrasi kependudukan untuk menjadi warga resmi Jakarta.

Musim liburan seperti Lebaran umumnya memang menjadi momentun urbanisasi tiap tahunnya, dengan pendatang yang mencari peruntungan selama Ramadan memutuskan untuk tinggal serta dipicu arus balik dari desa ke kota selama musim mudik.

Jajak pendapat Litbang Kompas pada 25-29 Maret 2024 mengenai topik seputar Lebaran menunjukkan bahwa 25,2 persen responden mengatakan berencana mengajak saudara atau kerabat keluarga untuk ikut ke kota tempat tinggal mereka.

Arus urbanisasi ini menegaskan kebutuhan akan strategi yang matang dalam mengelola arus masuk penduduk baru.

Baca Juga: Duh, Angka Pengangguran Muda Naik Gara-gara Pandemi

Tantangan Menghadapi Lonjakan Calon Pekerja

Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah rendahnya tingkat pendidikan di kalangan pendatang. Data yang masih dihimpun dari Dashboard Statistik Kependudukan Dukcapil DKI Jakarta menunjukan bahwa dari 8000-an pendatang yang terekam, hampir sekitar 84,11 persen yang pendidikan akhirnya hanya sebatas SMA/SMK. Fenomena ini perlu mendapat perhatian khusus karena aspek pendidikan menjadi variabel penting dalam menentukan keberhasilan seseorang mendapatkan lapangan pekerjaan.

W. Arthur Lewis, ekonom asal Amerika Serikat (AS) peraih Nobel Memorial Prize, membahas perpindahan penduduk berpendidikan minim ke daerah ibu kota melaui Teori Migrasi Dual-Sektor. Teori tersebut diterbitkan dalam karya ilmiah berjudul Economic Development with Unlimited Supplies of Labour (Pembangunan Ekonomi dengan Pasokan Tenaga Kerja tak Terbatas).

Teori yang dikembangkan pada 1954 ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dampak migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan, khususnya dalam konteks negara berkembang. Inti dari teori ini adalah pembagian ekonomi menjadi dua sektor utama: sektor tradisional atau pedesaan, dan sektor modern atau perkotaan.

Dalam sektor pedesaan tradisional, produksi pertanian atau pekerjaan yang kurang produktif mendominasi. Tenaga kerja di sektor ini sering kali berlimpah dan kurang dimanfaatkan secara optimal, dengan tingkat produktivitas yang rendah.

Sebaliknya, sektor modern atau perkotaan terdiri dari industri modern dan jasa dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Sektor ini menawarkan peluang pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi, menarik tenaga kerja dari sektor pedesaan.

Menurut Lewis, perpindahan penduduk dari sektor tradisional ke sektor modern adalah hal yang tak terelakkan seiring dengan proses pembangunan ekonomi, terutama di Indonesia.

Namun, jika kita melihat statistik pengangguran terbuka per provinsi berdasarkan data BPS, Jakarta menduduki peringkat keempat pengangguran terbanyak di angka 6,03 persen per Februari 2024, di atas rata-rata nasional yang sebesar 4,38 persen dari penduduk usia produktif. Ranking Jakarta hanya di bawah Banten, Riau, dan Jawa Barat–namun perlu diingat bahwa sebagian sebagian wilayah Banten dan Jawa Barat masuk dalam wilayah aglomerasi Jakarta.

Teori Lewis juga menyatakan bahwa urbanisasi yang tidak terencana ini menghasilkan kawasan kumuh dan kondisi hidup yang buruk di kota-kota besar. Klaim ini didukung dengan data dari peta dari KOTAKU, program yang diusung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk memperbaiki fasilitas wilayah kumuh dan menjadikannya hunian layak.

Tergambar masih banyaknya persebaran daerah kumuh di DKI Jakarta, diwarnai dengan zona merah, terutama daerah Jakarta Utara. Ini menciptakan tantangan besar bagi pemerintah Jakarta dalam menyediakan layanan dasar dan infrastruktur yang memadai.

Baca Juga: Perempuan Pekerja Lepas: Akrab dengan Stigma Pengangguran, Perawan Tua

Prospek Masa Depan

Datangnya pekerja pendatang ke ibu kota bukanlah hal buruk karena dapat membantu mengurangi kemiskinan, namun dengan catatan perlunya pengelolaan yang baik terutama dengan investasi di sektor dan layanan publik.

Namun, munculnya pendatang menimbulkan kenaikan persaingan pekerjaan dan berpotensi mendongkrak tingkat pengangguran terbuka, dengan banyaknya pekerja baru yang berebut posisi yang terbatas dengan kompetensi pendidikan yang rendah. Belum lagi aspek lainnya seperti kebutuhan akan hunian layak yang semakin mendesak, terutama bagi mereka yang datang dengan keterampilan dan pendidikan yang minim.

Mengingat ini adalah fenomena yang terus berulang terutama di musim liburan, pemerintah dan stakeholder terkait perlu menyediakan langkah-langkah antisipatif dan lanjutan. Hal ini meliputi peningkatan kapasitas infrastruktur, penyediaan program pelatihan, dan penyesuaian kebijakan yang fleksibel.

Peran individu pendatang juga tidak kalah penting dalam mengatasi tantangan ini melalui peningkatan keterampilan dan adaptasi terhadap dinamika pasar kerja yang baru.

Mendorong kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam menciptakan peluang kerja dan pelatihan bagi pendatang. Perusahaan swasta dapat berkontribusi dengan menyediakan program magang dan pelatihan di tempat kerja. Memastikan bahwa pendatang memiliki akses ke sistem perlindungan sosial yang dapat membantu mereka selama masa transisi dan mencari pekerjaan. Ini termasuk akses ke Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Kesehatan.

Baca Juga: Pandemi Turunkan Partisipasi Kerja, Perempuan Miskin Paling Terdampak

Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, lonjakan calon pekerja menuju ibu kota dapat dikelola dengan baik, sehingga memberikan dampak positif bagi perkembangan kota dan masyarakat secara keseluruhan.

Pinto Buana Putra, Research associate di Institute for Democracy and Welfarism (IDW) Jogja, Universitas Gadjah Mada.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Pinto Buana Putra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *