Hai, Aku Negara dan ini Kenyataan Pahit di Balik Abolisi Tom Lembong
Pada 2014 hingga 2016, aku sedang diguncang krisis. El Nino terburuk dalam dua dekade mengganggu produksi pangan, termasuk padi dan tebu. Harga kebutuhan pokok melonjak. Seperti yang dicatat Think Policy, ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison dan pakar kebijakan pangan Meutia Mohsin menyebut langkah membuka keran impor sebagai kebijakan yang sah dan rasional. Itulah yang Tom Lembong lakukan.
Tom tak bertindak sendiri. Kebijakan itu lahir dari koordinasi lintas kementerian dan disetujui Presiden Jokowi. Semuanya dilakukan demi menjaga stabilitas nasional.
Tapi kepala kalian pasti penuh tanya: Mengapa Tom divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 miliar atas tuduhan korupsi impor gula, padahal ia hanya menjalankan tugas? Bahkan, hakim—seperti ditulis Detik—mengakui bahwa Tom tidak menikmati hasil korupsi.
Banyak yang menyebut proses hukum ini janggal. Salah satunya Mamik Sri Supatmi, kriminolog Universitas Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Magdalene, ia bilang:
“Meski segala tuduhan di pengadilan sudah di-counter oleh Tom Lembong dengan bukti dan fakta yang kuat, tujuan peradilan beliau bukan untuk membuka kebenaran dan mewujudkan keadilan. Tapi, ada tujuan lain.”
Aku tak perlu membantah ketika ini disebut peradilan sesat. Itu justru deskripsi yang tepat. Karena aku, negara, tak selalu tunduk pada kebenaran. Aku bergerak mengikuti arah kekuasaan.
Baca Juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Sandiwara Itu Bernama Lawfare
Kalian kira hukum dalam tubuhku selalu bicara soal keadilan? Mari kita realistis. Hukum berpihak. Seperti kata sosiolog Richard Quinney dalam teorinya The Social Reality of Crime, hukum dibentuk oleh yang berkuasa untuk melindungi status quo mereka.
Inilah yang disebut lawfare—strategi menggunakan hukum sebagai senjata politik. V Veigh Weis menulis soal ini dalam “What does Lawfare Mean in Latin America?”. Praktiknya melibatkan elite politik, aparat hukum, dan media, demi menggiring pertarungan politik menjadi seolah-olah perkara hukum.
Tulisan Bernat dan Whyte dalam “Spain Must Be Defended” menjelaskan, hukum jadi kabut untuk menyamarkan konflik kekuasaan. Di Argentina, mantan Presiden Fernández de Kirchner sempat dikriminalisasi lewat tuduhan manipulasi nilai dolar dan korupsi infrastruktur. Targetnya? Bukan keadilan. Tapi melemahkan kekuatan politiknya.
Baca Juga: Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa
Wajah Hukum yang Sebenarnya
Kini, lihatlah Tom Lembong. Gagalkah kalian melihat bahwa kriminalisasinya bukan soal hukum, tapi soal ketidaknyamanan kekuasaan atas pikirannya?
Mamik kembali tepat:
“Afiliasi, ide, pemikiran politik, dan keberpihakan Lembong tidak sejalan dengan kepentingan rezim penguasa, maka ia dianggap berbahaya dan harus direspons melalui praktik hukum.”
Jika dulu musuh politik diculik atau disiksa, hari ini mereka dilumpuhkan lewat dakwaan. V Veigh Weis menyebut, militerisme berganti rupa dalam bentuk proses pidana.
Aku hanya perlu menggeser narasi: dari negarawan jadi pesakitan. Pengaruhnya akan runtuh dengan sendirinya.
“Kalau Tom Lembong saja bisa dikriminalisasi dengan cara kotor, bagaimana dengan orang biasa?” tanya Mamik.
Dan benar. Justru mereka yang paling rentanlah—anak, perempuan, miskin, buruh migran—yang paling sering dihukum. Bukan karena pelanggarannya berat, tapi karena tak punya kuasa untuk membela diri.
Sementara itu, elite yang melanggar hukum tetap melenggang. Itulah wajah hukum dalam tubuhku.
Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri
Prabowo dan Ilusi Abolisi
Kasus Tom bukan hanya penyimpangan hukum, tapi cermin liciknya kekuasaan. Seperti kata Mamik:
“Ini mengkonfirmasi bagaimana praktik-praktik kekuasaan, abuse of power, kemudian juga otoritarianisme dari rezim yang berkuasa hari ini.”
Filsuf Italia Antonio Gramsci menjelaskannya lewat konsep hegemoni. Dalam “The Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony”, Boothman menyebut, kekuasaan modern tidak lagi memaksa, tapi membentuk keyakinan bahwa semua ini demi rakyat. Maka, kriminalisasi Tom dibungkus rapi agar tampak sah.
Puncaknya: Presiden Prabowo memberi abolisi. Dalam unggahannya di akun X, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berkata:
“Ini politisasi hukum ‘dibereskan’ dengan politik lagi. Konsisten.”
Jadi, apakah ini bentuk keadilan? Tidak. Ini hanya penutup dari sebuah sandiwara besar yang mempertontonkan bagaimana aku, negara, melanggengkan kuasa.
Dan Tom? Ia hanya salah satu korbannya.
Catatan Penulis: Tulisan ini adalah narasi alegoris. Penulis memosisikan negara sebagai tokoh yang berbicara untuk mengungkap bagaimana kekuasaan bekerja dalam kriminalisasi Tom Lembong.
















