Aplikasi Eror sampai Munculnya Dugaan Korupsi: Apa Itu Coretax?
Digadang-gadang jadi solusi andal sistem perpajakan, Coretax justru diduga memunculkan banyak masalah.

Setelah hampir tiga bulan diresmikan, sistem perpajakan baru, Coretax, masih menimbulkan persoalan. Di media sosial, tak sedikit netizen yang mengeluh lantaran selalu mendapati kendala saat coba melapor atau membayar pajak. Beberapa dari warganet bahkan ada yang memilih untuk datang secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Untuk coba masuk atau log-in ke aplikasi baru ini pun sulit.
“Mita”, seorang staf finance perusahaan swasta di Jakarta jadi salah satu yang mengeluhkan hal ini. Ketika ingin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, Mita bilang, ia bahkan kesulitan untuk masuk ke aplikasinya. Mita sendiri khawatir lantaran tenggat waktu pelaporan sudah hampir habis. “Susah banget. Waktuku habis hanya untuk bolak-balik nyoba masuk ke aplikasinya aja,” ungkap Mita kepada Magdalene (25/3).
Sebelumnya, Coretax merupakan sebuah pengembangan sistem administrasi pelayanan perpajakan lanjutan. Melansir laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Coretax ditujukan untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang sebelumnya belum terintegrasi. Integrasi ini pun diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akurasi dalam pengelolaan administrasi perpajakan. Mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran pajak, sampai pemeriksaan dan penagihan pajak, semuanya bisa dilakukan di aplikasi satu ini.
Selain ditujukan untuk memugar sistem pajak di Indonesia, Coretax juga digadang-gadang dapat menjadi katrol yang bisa meningkatkan rasio pajak sampai mengurangi tax gap. Dalam Konferensi Pers Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang disiarkan CNBC Indonesia (9/1), Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Ketua DEN bilang, hal ini dapat terjadi lantaran Coretax bisa meningkatkan kepatuhan para wajib pajak.
“Yang bayar pajak di Indonesia, sebagai contoh, kendaraan saja, itu paling hanya 50 persennya. Jadi Anda bisa bayangkan kepatuhan kita itu sangat rendah. Dengan ini (Coretax), keuntungan dari pajak itu bisa dimaksimalkan,” kata Luhut.
Baca Juga: Riset: Wajah Ketimpangan Indonesia Warisan Zaman Kolonial Belanda
Lagu Lama Ketidaksiapan Aplikasi Baru
Meskipun dinilai dapat menjadi alat efisiensi sistem perpajakkan, nyatanya Coretax masih diwarnai dengan banyak kendala teknis. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri, setidaknya terdapat 22 persoalan teknis yang kerap ditemui dalam penggunaan Coretax. Hal ini antara lain kegagalan validasi wajah, pendaftaran nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang terhambat, penampilan profil wajib pajak yang gagal, tidak munculnya faktur pajak, sampai kendala saat pendaftaran.
Merspons hal ini, Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP menjelaskan, persoalan teknis tadi bukan disebabkan karena adanya kendala server. Kepada Tempo, Dwi bilang, masalah ini terletak pada sinkronisasi data yang banyak dan besar lantaran Coretax adalah aplikasi dengan sistem baru.
“Perlu kami sampaikan bahwa kendala-kendala yang dialami wajib pajak dalam penggunaan Coretax DJP bukan merupakan kendala terkait server.”
Masih dari media yang sama, Dwi menambahkan bahwa tingginya volume pengguna jadi salah satu alasan mengapa Coretax banyak eror dalam penggunaannya. Hal ini tentu memengaruhi bagaimana sistem Coretax bekerja.
Untuk diketahui, Coretax sendiri terhubung dengan sistem dari 89 entitas lain, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan juga kementerian. Melansir laman DJP, sinkronisasi ini juga terjadi pada sistem perpajakan yang ada, meliputi e-Bupot, e-Filing, e-PBK dan e-Riset.
Baca Juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025
Munculnya Dugaan Korupsi
Selepas diluncurkan dan menimbulkan kegaduhan, pengadaan Coretax pun memunculkan dugaan tindak korupsi. Tepatnya di akhir Februari, dilansir dari Bloomberg Technoz, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) akhirnya melaporkan dugaan korupsi megaproyek aplikasi Coretax yang menghabiskan anggaran lebih dari Rp1,3 triliun.
Kepada media yang sama, Ketua Umum (Ketum) IWPI Rinto Setiyawan bilang, pihaknya telah menyerahkan sejumlah bukti dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Coretax pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Tahun Anggaran 2020–2024.
Enggak hanya itu, Rinto juga mengungkapkan, IWPI telah menyiapkan beberapa alat bukti. Di antaranya: Pengumuman tender, bukti petunjuk dari berbagai media massa, sampai keterangan saksi dan ahli
Erma Nuzulia, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) turut memberikan komentar perihal masalah ini. Dari pemantauan Erma, dugaan tindak korupsi ini terletak pada proses pengadaan sistem yang cenderung tidak transparan dan enggak sesuai dengan prosedur. Ada beberapa tahapan yang terlewat dan cenderung diubah.
“Kalau misalnya kita bicara pengadaan, itu memang harus ada tahapan yang harus dilalui gitu ya. Kalau dari pemantauan saya ya, seharusnya pembuatan software itu seharusnya yang pertama adalah bisnis prosesnya dulu. Nah kalau di Coretax, ini agak kebalik. Jadi buat regulasinya dulu, kemudian baru teknologi, baru dipikirin bisnis prosesnya seperti apa,” jelasnya.
Erma menambahkan bahwa dugaan korupsi ini juga berkaitan dengan tidak terbukanya pemerintah dalam merinci biaya untuk pengadaan sistem. Tidak ada nilai yang persis untuk menggambarkan berapa anggaran sesungguhnya yang dibutuhkan dalam pengadaan Coretax.
“Jadi Rp1,3 triliun itu kan untuk pengadaan sistem informasinya sendiri. Nah kalau untuk manajemen sistem, itu ada sendiri anggaranya di Rp 110 miliar. Terus tadi saya cek di beberapa sistem informasi rencana umum pengadaan itu memang juga ada beberapa pengadaan untuk Coretax. Misalnya, pengambangan sistem, itu di angka Rp 300 juta. Jadi memang sebetulnya tidak tahu persis, ini nilainya berapa. Agak tertutup gitu ya untuk dilakukan pengawasan publik,” pungkas Erma.
