Pemerintah Memanipulasi Emosi Rakyat, Apa itu Politik Emosi?
Kamu stres di-gaslight pemerintah dan kebijakannya yang memancing emosi? Pengalaman kolektif ini valid.
Kondisi demokrasi di Indonesia saat ini menunjukkan indikator mengkhawatirkan. Berbagai berita politik hingga hukum muncul dengan begitu banyak isu yang mayoritas mendesak.
Sebut saja biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang kian mahal, wacana pengenaan pajak untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang memberatkan rakyat, proyek investasi Ibu Kota Nusantara (IKN) yang belum jelas, hingga perubahan aturan-aturan tanpa melibatkan publik demi kepentingan politik kelompok tertentu.
Meski beberapa dari rencana kontroversial tersebut akhirnya ditunda atau dibatalkan, masyarakat tetap dibuat was-was dengan segala gerak gerik pemerintah. Ketidakpastian dan tekanan terus-menerus dari berbagai wacana kebijakan ini menciptakan perasaan cemas, kecewa, marah, hingga frustrasi di kalangan masyarakat.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kita tengah mengalami kondisi ketika emosi dimainkan penguasa untuk mengambil celah atau keuntungan dari situasi demikian. Fenomena ini dapat disebut politik emosi.
Menurut teori politik emosi, penguasa atau elite politik sering kali menggunakan emosi masyarakat sebagai alat untuk memengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan politik. Dengan memanipulasi emosi seperti ketakutan, kemarahan, dan kebanggaan, mereka dapat mengarahkan perhatian masyarakat dan mengontrol narasi yang berkembang.
Dampak fenonema ini terhadap negara dan kehidupan rakyat sangat signifikan. Politik emosi dapat mengarah pada polarisasi yang semakin tajam di masyarakat, yang mengakibatkan perpecahan sosial dan ketidakstabilan politik. Ketika masyarakat terpecah, kerja sama dan kohesi sosial menurun, yang pada akhirnya dapat melemahkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Dari sisi masyarakat, dampak langsungnya adalah meningkatnya stres dan ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah, yang dapat mengurangi partisipasi aktif warga dalam proses demokrasi dan pembangunan negara. Karena itu, masyarakat perlu mengambil beberapa langkah penting seperti meningkatkan literasi politik, memperkuat institusi demokratis, aktif terlibat, dan membangun solidaritas sosial.
Permainan Politik Emosi
Jurnal berjudul The Emotional Citizen: Emotion as a Function of Political Sophistication, Patrick R. Miller menjelaskan bahwa emosi memiliki pengaruh yang kuat dalam dunia politik.
Dalam konteks ini, emosi masyarakat menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan opini publik dan mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Selain itu, politik emosi sering kali mengaburkan isu-isu penting dengan mengalihkan perhatian masyarakat ke konflik emosional yang tidak produktif. Hal ini dapat menghambat proses pengambilan keputusan yang rasional dan berbasis data, sehingga kebijakan publik yang dihasilkan menjadi kurang efektif.
Politik Emosi Rusak Demokrasi
Salah satu contoh penggunaan politik emosi yang merusak demokrasi dapat dilihat dari pengalaman Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chávez dan Nicolás Maduro. Chávez, yang berkuasa sejak 1999 hingga kematiannya pada 2013, sering menggunakan retorika emosional yang kuat untuk mengkonsolidasikan dukungannya. Chávez memainkan emosi kebanggaan nasional dan ketidakpuasan sosial untuk memperkuat basis dukungan di kalangan rakyat miskin dan kelas pekerja.
Dia mengarahkan kemarahan rakyat terhadap elite tradisional dan pengaruh asing, terutama Amerika Serikat (AS), yang disebutnya sebagai penyebab ketidakadilan dan kemiskinan di Venezuela. Narasi ini menciptakan polarisasi yang mendalam di masyarakat Venezuela, membelah negara menjadi pendukung setia Chávez dan lawan-lawannya yang dianggap sebagai pengkhianat.
Di bawah pemerintahan Nicolás Maduro, penerus Chávez, strategi politik emosi ini berlanjut dan makin parah. Maduro sering menggunakan ketakutan terhadap ancaman asing dan konspirasi domestik untuk membenarkan tindakan represif terhadap oposisi dan pembatasan kebebasan pers.
Pada tahun 2014 dan 2017, ketika protes besar-besaran meletus akibat krisis ekonomi yang parah, pemerintah Maduro menanggapi dengan tindakan kekerasan yang brutal terhadap demonstran, menggunakan retorika bahwa protes tersebut adalah bagian dari plot kudeta yang didukung oleh kekuatan asing. Kebijakan ini berhasil memecah belah masyarakat dan menekan oposisi, tetapi dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berkumpul, kebebasan berbicara, dan transparansi pemerintahan.
Penggunaan politik emosi di Venezuela telah menyebabkan kemunduran signifikan dalam kualitas demokrasi di negara tersebut. Negara ini kini menghadapi krisis politik dan ekonomi yang mendalam, dengan jutaan warganya menderita akibat hiperinflasi, kekurangan pangan dan obat-obatan, serta pelanggaran hak asasi manusia yang meluas.
Contoh lain adalah Turki di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan. Sejak awal karier politiknya, Erdoğan telah menggunakan politik emosi untuk memperkuat kekuasaannya. Melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Erdoğan menggabungkan narasi kebanggaan nasional, identitas Islam, dan retorika melawan elite sekuler dan kekuatan asing untuk mengonsolidasikan dukungannya.
Setelah kudeta yang gagal pada tahun 2016, Erdoğan memanfaatkan ketakutan dan ketidakpastian yang dihasilkan oleh peristiwa tersebut untuk memberlakukan keadaan darurat, yang memberikan kekuasaan luar biasa kepada dirinya dan memungkinkan tindakan keras terhadap oposisi, media, dan masyarakat sipil. Ribuan orang ditangkap, termasuk akademisi, jurnalis, dan aktivis, atas tuduhan keterlibatan dalam kudeta atau terorisme.
Penggunaan emosi ketakutan dan nasionalisme oleh Erdoğan telah memperkuat otoritarianisme di Turki, merusak prinsip-prinsip demokrasi, dan mengurangi ruang bagi perbedaan pendapat dan kebebasan berpendapat. Demokrasi di Turki kini berada dalam kondisi yang sangat rentan, dengan banyak institusi demokratis yang melemah atau dimanipulasi untuk melayani kepentingan pemerintah yang berkuasa.
Politik Emosi dalam Dinasti Politik
Dalam kedua contoh di atas, penggunaan politik emosi telah berfungsi sebagai alat yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi dengan konsekuensi yang merusak dua hal penting, yaitu demokrasi dan hak asasi manusia. Di Indonesia, hal buruk serupa mungkin saja akan terjadi, atau mungkin jauh lebih buruk.
Baru-baru ini, misalnya, di tengah kebijakan pemerintah yang satu per satu mencekik masyarakat, Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat batas usia calon kepala daerah membuka ruang bagi putra bungsu Jokowi untuk maju dalam kontestasi Pilkada DKI. Kondisi kelelahan psikologis masyarakat habis dengan merespons isu-isu yang ditebarkan hingga pada akhirnya tak lagi bisa merespons dengan objektif situasi terkini.
Buruknya lagi, upaya dinasti politik tampak dinormalisasi oleh beberapa orang dan menganggap keputusan atau manuver yang dilakukan Jokowi sah-sah saja.
Upaya dinasti politik yang terlihat dari tindakan Jokowi yang membuka jalan bagi putra bungsunya untuk maju dalam kontestasi pilkada DKI adalah contoh nyata dari bagaimana politik emosi dan manipulasi institusi dapat digunakan untuk memperkuat kekuasaan keluarga atau kelompok tertentu.
Ketika dinasti politik mulai menguasai struktur pemerintahan, prinsip-prinsip demokrasi seperti meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas mulai tergerus. Kepentingan publik sering kali dikorbankan demi menjaga kekuasaan keluarga atau kelompok yang berkuasa. Dinasti politik juga cenderung menciptakan lingkungan yang koruptif yang mengutamakan loyalitas kepada keluarga atau kelompok daripada kompetensi dan integritas.
Langkah Penting dari Masyarakat
Untuk mengatasi situasi ini dan melindungi demokrasi, masyarakat perlu mengambil beberapa langkah penting. Pertama, meningkatkan literasi politik dan kesadaran kritis adalah kunci. Masyarakat harus didorong untuk aktif mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel, menganalisisnya secara kritis, dan tidak mudah terpengaruh oleh retorika emosional yang sering digunakan oleh pemerintah atau media tertentu.
Pendidikan politik yang baik dapat membantu masyarakat memahami hak dan kewajibannya dalam sistem demokrasi, serta cara-cara untuk mempertahankan integritas sistem tersebut.
Kedua, memperkuat institusi demokratis dan memastikan bahwa mereka beroperasi secara independen dari pengaruh politik adalah langkah krusial. Ini termasuk lembaga penegak hukum, badan pengawas pemilu, dan media. Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan melalui hukum dan regulasi yang ketat, serta dengan memastikan bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi mendapatkan sanksi yang tegas.
Ketiga, masyarakat perlu aktif terlibat dalam proses politik dan sipil. Ini bisa dilakukan melalui partisipasi dalam pemilu, bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, atau berpartisipasi dalam diskusi publik. Partisipasi aktif membantu memastikan bahwa suara rakyat didengar dan diakui dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan cara ini, masyarakat dapat mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Terakhir, penting bagi masyarakat untuk bersatu dalam menghadapi upaya-upaya yang merusak demokrasi. Solidaritas sosial dan kerja sama antar berbagai kelompok dalam masyarakat dapat menjadi kekuatan besar dalam melawan otoritarianisme dan dinasti politik.
Masyarakat yang bersatu dan memiliki tujuan bersama untuk mempertahankan demokrasi akan lebih kuat dalam menghadapi tekanan dan manipulasi dari pihak-pihak yang ingin menguasai kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Dengan langkah-langkah ini, masyarakat dapat melawan efek negatif dari politik emosi dan dinasti politik. Pada akhirnya, politik emosi, jika dibiarkan tanpa pengawasan dan penanganan yang tepat, dapat merusak fondasi demokrasi dengan memperdalam polarisasi, melemahkan institusi demokratis, dan mengurangi partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk tetap waspada, meningkatkan literasi politik, dan aktif terlibat dalam proses demokrasi. Dengan begitu, kita dapat membangun ketahanan terhadap manipulasi emosional oleh elite politik dan memastikan bahwa demokrasi tetap menjadi sistem pemerintahan yang inklusif dan berkeadilan bagi semua warga negara.
Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.