Issues

‘Strict Parenting’: Pola Asuh yang Mendisiplinkan, tapi Bikin Anak Sesak

‘Strict parenting’ kerap dilihat sebagai cara mendisiplinkan dan mendorong anak untuk punya pencapaian. Padahal, ada dampak jangka panjang bagi relasi dengan orang tua maupun pertumbuhan anak.

Avatar
  • December 3, 2023
  • 9 min read
  • 2908 Views
‘Strict Parenting’: Pola Asuh yang Mendisiplinkan, tapi Bikin Anak Sesak

Sejak SMA, “Anna”, 25, sudah bermimpi bisa kuliah jurnalistik di perguruan tinggi swasta. Ingin jadi travel journalist, kata perempuan yang begitu menyukai alam tersebut. Karena itu, saat ada program kunjungan perguruan tinggi ke sekolah, Anna mengikuti tes beasiswa di kampus ini.

Setelah diumumkan Anna merupakan salah satu penerima beasiswa, orang tua calon mahasiswa diharuskan datang ke kampus, untuk negosiasi besaran bantuan yang diterima. Sayangnya, orang tua Anna memutuskan sepihak untuk enggak hadir.

 

 

“Soalnya aku harus ngekos. Katanya (mama papa) juga ngapain jadi jurnalis, aku kan cewek, nanti jadi garda terdepan,” cerita Anna. “Tapi dari awal, mereka enggak bilang kalau enggak setuju. Mungkin dipikir aku bercanda kali ya, kepengen jadi jurnalis.”

Sebelum kejadian itu, Anna mengaku kedua orang tua cukup menyetir hidupnya, terutama soal pendidikan.

Anna pernah berniat mengambil jurusan kedokteran, tetapi keinginannya dipatahkan oleh respons ibu dan ayah, yang meragukan kemampuan Anna. Lalu saat menentukan SMA, Anna nekat mendaftar di sekolah swasta di bilangan Jakarta Selatan, tanpa sepengetahuan orang tua.

“Makanya selama tiga tahun sekolah di sana, aku enggak boleh ngeluh capek. Soalnya nanti mama papa bilang, ‘Siapa suruh sekolah di sana?’ Mau capek, sakit, ditelen aja,” ujarnya.

Kemudian perihal nilai akademis, orang tua Anna berekspektasi besar. Mereka berharap Anna mendapatkan nilai tertinggi, dan mengomel jika yang terjadi sebaliknya. Secara enggak langsung, itu membuat Anna menjadi seorang high achiever.

Baca Juga: Pola Asuh Otoritatif yang Hangat namun Tegas Bermanfaat Bagi Anak

Ironisnya, orang tua Anna enggak memperlakukan “Mita”, adik pertamanya demikian. Ayah dan ibu enggak begitu mengejar nilai akademis Mita, dan memberikan hadiah apabila sang adik mendapatkan peringkat di kelas. Ini membuat Anna enggan giat belajar, meski nilainya masih tergolong bagus.

Pola asuh orang tua Anna merupakan contoh strict parenting. Orang tua dengan gaya parenting ini banyak menerapkan aturan ketat, sulit ditoleransi, dan biasanya memberikan hukuman ketika dilanggar. Kemudian enggak memberikan kebebasan untuk berpendapat, maupun mengambil keputusan. Lalu, apa yang membuat orang tua menerapkan pola asuh ini pada anak?

Di Balik Strict Parenting

Pada 2020, Jubilee mempublikasikan video diskursus seputar pola asuh, antara orang tua strict dan free-range parents—orang tua yang mendorong anak untuk mandiri dengan pengawasan terbatas. Di antara enam peserta, Hal, salah satu orang tua strict, adalah satu-satunya yang meyakini, memukul bokong anak merupakan hukuman efektif bagi anak. Ia melihat pukulan bukan berarti ekspresi kemarahan.

“Ini soal anak yang melakukan sesuatu yang enggak seharusnya (dilakukan), dan dia akan mendapatkan pukulan setelahnya,” kata Hal. “Nanti anak-anak saya akan punya kenangan sewaktu dipukul, tapi saya rasa mereka akan bersyukur tentang itu.”

Di tengah diskusi, Hal bercerita, pemberian hukuman tersebut dipengaruhi oleh kultur semasa dibesarkan, terutama teman-teman Hal. Mereka dibesarkan dengan cinta kasih dari orang tua, yang menghukum dengan memukul bokong saat masih anak-anak. Kemudian, teman-teman Hal tumbuh sebagai orang dewasa yang berfungsi dengan baik, menghormati orang tua, dan bersyukur orang tuanya memukul bokong mereka.

Alasan Hal menerapkan hukuman pada anak-anaknya, mencerminkan latar belakang seseorang dapat memengaruhi pola asuh seseorang. Dalam wawancara bersama Magdalene, psikolog klinis anak Melissa Magdalena menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat orang tua menjadi strict parents.

Pertama, riwayat pola asuh yang dialami saat masih kecil. Ini dipengaruhi gaya parenting kakek dan nenek yang lebih ketat, atau membebaskan dan enggak begitu peduli.

Kedua, kepribadian orang tua yang perfeksionis dan mementingkan kontrol, serta kekuatan. Kepribadian mendukung pola strict parenting karena umumnya mereka berusaha mengontrol anak, dan merasa memiliki kekuasaan atas hidup anak.

Ketiga, sumber informasi orang tua. Enggak terdapat pendidikan formal untuk mendidik dan merawat anak, layaknya pendidikan akademis atau suatu profesi. Jika orang tua jarang mengakses informasi seputar perkembangan anak dan ilmu parenting, mereka cenderung mengikuti cara yang diterapkan sewaktu dibesarkan.

Keempat, tuntutan dari lingkungan. Menurut Melissa, faktor ini yang sulit dilepaskan. Berdasarkan pengalaman pribadi, ada tuntutan bahwa orang tua harus tegas dan itu menjadi sesuatu yang dipegang.

“Kadang-kadang definisi tegas jadi salah arti, diartikan jadi ketat dan nggak toleransi,” tutur Melissa. “Ada juga tuntutan anak nangis harus segera didiamkan. Padahal, seharusnya anak itu dimengerti, bukan langsung dibentak atau diancam biar diam. Ini kan informasi yang dipunya dan dipengaruhi parenting style kita.

Baca Juga: Pelajaran Soal ‘Parenting’ dari Ibuku yang Anti-Mainstream

Kelima, kesehatan mental. Tak harus gangguan mental, kecemasan dan depresi pun berpengaruh pada cara orang tua memperlakukan anak—salah satunya membuat mereka menerapkan banyak aturan. Lalu juga parenting stress, yang didorong oleh tuntutan pekerjaan, masalah finansial, minimnya dukungan orang-orang di sekitar, ataupun tuntutan terhadap diri sendiri.

“Yang paling jarang dibahas itu marital satisfaction,” ungkap Melissa.

Pernikahan tak luput dari konflik, sehingga berdampak pada gaya orang tua mengasuh anak. Dalam Marital relationship, parenting practices, and social skills development in preschool children (2017), Rikuya Hosokawa dan Toshiki Katsura menerangkan, orang tua dengan kualitas pernikahan yang lebih buruk menunjukkan pendekatan, kepercayaan, dan perilaku pengasuhan yang otoriter dan permisif. Pola pengasuhan tersebut menyebabkan peningkatan emosi pada anak, serta gangguan perilaku.

Di samping itu, Melissa menambahkan, kondisi anak juga memengaruhi gaya strict parenting orang tua—seperti usia, temperamen, dan perkembangan anak. Lalu ada juga budaya, yang sering kali lebih membatasi ruang gerak anak perempuan.

Mungkin kamu sering mendengar, atau mengalami, anak perempuan dilarang pulang larut malam—bahkan enggak boleh keluar rumah di malam hari. Anggapannya, perempuan harus lebih dilindungi dan menjaga diri, meski perempuan pun bisa mandiri.

Hal itu pernah dialami Anna selama tinggal bersama orang tua, sebelum menikah di usia 25 tahun. Orang tuanya melarang Anna berlibur dan menginap bersama teman-teman, sekali pun perempuan, dan harus berada di rumah pukul delapan malam. Alhasil, banyak momen bersama teman-teman yang Anna lewatkan.

“Padahal kalau hangout sama teman-teman cuma nonton bioskop, makan, atau pergi ke kafe. Giliran aku tawarin solusi, minta dijemput kalau pulang malam, mereka enggak mau. Alasannya kasian sama adik di rumah sendirian,” cerita Anna.

Ketatnya aturan dari orang tua membuat Anna sesekali berbohong, atau memilih enggak memberitahu destinasi tujuannya sebelum bepergian. Salah satunya saat pergi ke pameran pernikahan bersama pacarnya—kini menjadi suami. Anna sekadar mengatakan ingin ke luar rumah sebentar, sesaat sebelum meninggalkan rumah.

Baca Juga: Jerat Orang Tua Toksik dan Sulitnya Anak Menentukan Nasib Sendiri

Menurut Anna, ibu dan ayahnya bersikap demikian lantaran terdapat sejumlah urusan yang belum terselesaikan, dalam hidup masing-masing. Misalnya ibu Anna, yang enggak punya banyak teman dan memiliki kebebasan untuk menikmati masa muda, karena harus bekerja. Kemudian, sang ibu juga bekerja di laboratorium kesehatan, yang banyak menangani pekerja seks dengan infeksi menular seksual (IMS). Bagi Anna, ini membuat ibu khawatir jika Anna terkena penyakit serupa.

Sementara ayah Anna, berdasarkan cerita-cerita saudaranya, adalah orang yang senang di rumah. Begitu melihat Anna yang senang hangout bareng teman-teman, ayah Anna merasa asing dan menerapkan aturan ketat.

Terlepas dari pengalaman pribadi kedua orang tua Anna, budaya patriarki juga turut berperan dalam kebebasan anak perempuan. Misalnya perihal anak perempuan enggak boleh pergi di malam hari atau jangan pulang larut malam. Ini mengarah pada keamanan karena banyaknya kasus kekerasan seksual. Ujung-ujungnya, perempuan yang harus melindungi diri demi keamanannya. Padahal, kasus tersebut merupakan salah pelaku. 

Atau citra “bukan perempuan baik-baik”, bagi perempuan yang bepergian di malam hari. Alasannya karena masyarakat begitu lekat dengan pemahaman, pergaulan di malam hari mengarah pada konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang, dan pekerja seks.

Dengan melihat realitas demikian, orang tua menganggap aturan yang ketat adalah salah satu cara melindungi anak. Padahal, ada berbagai dampak dari strict parenting.

Dampak Strict Parenting dan Cara Meningkatkan Kualitas Hubungan

Sebenarnya, strict parenting kerap dilihat sebagai suatu cara mendisiplinkan anak. Yang perlu diperhatikan, adalah arti disiplin yang diinginkan dan caranya. Apakah ingin anak sekadar patuh pada pemahaman, atau melakukan dengan kesadaran.

Apabila ingin anak hanya patuh, strict parenting merupakan caranya dan melibatkan kontrol serta kekuatan dari orang tua. Namun, jika ingin disiplin dengan kesadaran dan negosiasi, orang tua dapat mengajak anak berdiskusi.

Contohnya soal jam belajar. Orang tua mengarahkan anak untuk belajar pukul tujuh malam, dan menyertakan beberapa alasan—seperti biar enggak terlalu malam sehingga mengantuk, tapi dalam keadaan kenyang setelah makan malam. Setelah itu, orang tua memberikan kesempatan bagi anak, untuk menyarankan dan mencoba sendiri jam-jam belajar yang dirasa akan sesuai, sebelum menjatuhkan pilihan.

Baca juga: Melirik 3 Karakter Ayah Tunggal dalam ‘Itaewon Class’

Pada akhirnya, yang enggak kalah penting adalah proses bagi anak dan orang tua, untuk meningkatkan kualitas hubungan. Diskusi itu juga akan mendorong anak untuk berani menyampaikan pendapatnya, dan terbuka pada orang tua.

Sebab, berdasarkan pemaparan Melissa, ada beberapa dampak strict parenting. Pertama, anak enggak melihat ortu sebagai safe space, karena relasinya penuh ketakutan dan kepatuhan. Kedua, komunikasi searah dan cenderung mengikuti instruksi. Ketiga, anak enggak belajar negosiasi, toleransi, dan saling mendengarkan—yang sebenarnya dibutuhkan ketika berelasi dengan orang lain, sekaligus untuk meregulasi emosi sendiri.

“Dan anak-anak (yang orang tuanya) strict parenting enggak fleksibel karena penuh aturan. Sama begitu mementingkan power, yang enggak mereka dapat di rumah karena cuma dipegang orang tua,” ucap Melissa.

Namun, Melissa menilai ada dampak negatif dari strict parenting, yakni membentuk individu yang teratur, patuh, dan ambisius—karena dituntut untuk menjadi high achiever. “Tapi ini juga bikin anak punya kecemasan tinggi, dan sulit membuat keputusan karena apa-apa mikirnya enggak sesuai dengan orang tua,” tambahnya.

Meski demikian, Melissa menerangkan sejumlah hal yang bisa dilakukan jika strict parents ingin menyesuaikan pola asuhnya. Di antaranya mengenal parenting style dengan merefleksikan, dari skala satu sampai 10, seberapa ketat sikap dalam mendidik anak?

Kemudian tanyakan pada diri, tujuan membesarkan anak dan apa yang diinginkan saat anak dewasa. Jika ingin anak menjadi seorang pemimpin, misalnya, orang tua dapat membantu mengarahkan anak dalam memiliki kontrol dan kekuatan, tetapi juga bisa mengayomi.

Selanjutnya adalah mempunyai pengetahuan yang tepat, tentang berbagai parenting style. Diikuti dengan berkomunikasi yang tepat dengan anak saat masih kecil, remaja, hingga dewasa—karena anak terus berkembang dan cara komunikasinya akan berubah. Pastikan orang tua juga memiliki support system dari orang-orang di sekitar. Seperti pasangan, guru, orang tua, serta bantuan profesional.

“Orang tua butuh resilience, kalau selama ini merasa bersalah dalam memperlakukan anak,” kata Melissa. “Tapi enggak apa-apa. Orang tua tetap bisa bangkit, punya kesempatan dan mampu berubah.”

Di antara bermacam parenting style, sebenarnya terdapat satu kunci dalam parenting yang dibutuhkan anak. Yakni menyadari, selain fisik, anak memiliki kebutuhan emosional: Merasa didengarkan, diinginkan, diperhatikan, disayang, keberadaannya dianggap ada dan berharga. Beberapa hal tersebut perlu disampaikan secara langsung, supaya anak merasa kebutuhan emosionalnya terpenuhi.
“Dengan punya pengetahuan ini aja, kita (orang tua) akan peka dan berusaha memenuhi kebutuhan itu,” tutup Melissa.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *