Mengenal “Tobat Ekologi”, Istilah yang Dilempar Cak Imin Saat Debat Cawapres
Cak Imin sebut tobat ekologi saat debat cawapres. Apa sebenarnya tobat ekologi itu?
Calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sempat menyinggung istilah tobat ekologi di debat keempat Pilpres 2024, Minggu (21/1) lalu. Tema debat malam itu adalah pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, serta masyarakat adat dan desa.
Lewat segmen kelima, Cak Imin mengingatkan Indonesia saat ini sedang mengalami ancaman bahaya lingkungan dan krisis iklim dalam beberapa tahun terakhir. Dia menyoroti pemanasan global sebagai salah satu biang kerok gagal panen, gagal tanam, dan masalah lainnya.
“Kita saksikan kerusakan iklim dalam beberapa tahun terakhir, kerusakan lingkungan hidup yang mengkhawatirkan, bencana ekologi, banjir, longsor. Kalau mau jujur, kiamat makin dekat,” ucapnya.
Muhaimin pun bilang Indonesia ancaman bahaya lingkungan dan krisis ini tak ayal juga terjadi karena masifnya pembangunan tanpa pertimbangan etika ekologi serta sosial. Di Indonesia eksplorasi nikel, bahan penting buat baterai mobil listrik hingga ponsel jadi contohnya.
Cak Imin lalu mengajak Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo, dan Mahfud MD untuk sama-sama bertobat ekologi. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi Bumi yang sebelumnya dikatakan Cak Imin sembri mengutip QS Ar-Rum ayat 41 mengalami kerusakan-kerusakan oleh manusia sendiri.
“Saya hanya ingatkan Pak Prabowo, Pak Gibran, Pak Mahfud, Pak Ganjar, saya sama Mas Anies, untuk sama-sama tobat ekologi memperbaiki ke depan supaya lebih baik lagi,” ucapnya dalam debat Minggu malam.
Baca Juga: Pilpres 2024: Siapa Calon Paling Komit pada Energi Bersih?
Mengenal Tobat Ekologi
Istilah tobat ekologi mungkin belum familier di telinga masyarakat Indonesia, tetapi istilah ini sudah tak asing lagi bagi umat katolik. Dikutip dari laman Laudato Si’ Movement, istilah tobat ekologi atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ecological conversion pertama kali digunakan Gereja Katolik pada masa kepausan Yohanes Paulus II tahun 2001.
Yohanes Paulus II memang dikenal punya perhatian besar keserasian penciptaan, tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dan tanggung jawab umum manusia dalam penggunaan sumber-sumber alam. Ia menyoroti bagaimana umat manusia telah mengecewakan harapan Allah dengan merusak dataran dan lembah, mencemari air dan udara, dan merusak habitat bumi. Padahal menurutnya, manusia diciptakan sesuai dengan “gambaran Allah” dan diberi tahu untuk mengelola bumi.
Yohanes Paulus II pun bilang kerusakan ini terjadi tak lain karena kemerosotan moral manusia. Karena itu, pertobatan ekologi dibutuhkan agar manusia jadi lebih peka terhadap bencana dan mampu menjalin hubungan baik dengan antara manusia, Tuhan, serta alam semesta. Istilah pertobatan ekologi kemudian dipakai dan dipopulerkan oleh Paus Fransiskus melalui Ensiklik (surat amanat Paus) Laudato Si yang terbit pada 24 Mei 2015.
Dalam penelitian yang diterbitkan Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka pada 2021 dijelaskan Ensiklik Laudato Si merupakan ensiklik pertama yang mengangkat isu lingkungan hidup sebagai topik utama dan menyebut bumi sebagai rumah bersama. Berangkat dari refleksi Paus Fransiskus soal perilaku pengrusakan alam oleh manusia, ensiklik ini membahas berbagai persoalan lingkungan dan sosial terkini. Ini mulai dari polusi dan perubahan iklim, masalah air dan limbah industri, hilangnya keanekaragaman hayati, deforestasi, penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, hingga ketimpangan global.
Ensiklik Laudato Si pun kemudian mengkritik antroposentrisme. Dalam judul besar Akar Manusiawi Krisis Ekologi, Paus Fransiskus melihat secara lebih mendalam hubungan antara antroposentrisme modern dengan persoalan ekologi. Antroposentrisme menempatkan manusia dalam derajat lebih tinggi dan terhormat dibandingkan alam dan seisinya, karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (free and rational being).
Baca Juga: Berita Krisis Iklim Perlu Hindari Unsur Kiamat
Alam dan seisinya karena bukan makhluk berkesadaran dijadikan mesin yang memungkinkan pikiran manusia untuk mempertahankan posisi yang lebih tinggi dan seperti Tuhan ‘di luar’ dunia. Paradigma ini mengakar dalam benak manusia dan menjadikannya sebagai alat justifikasi kerusakan dan eksploitasi alam. Lewat teknologi, khususnya teknosains logika antroposentrisme tak luput dimainkan. Berangsur-angsur teknologi memainkan kunci utama dalam memaknai eksistensi absolut manusia sebagai penguasa dan pencipta.
Manusia pada prosesnya pun tidak hanya menjauhkan diri dari alam tetapi kesulitan memahami sesama. Paus Fransiskus pun menilai manusia sudah menyalahi kodrat Tuhan sebagai “tuan” yang bertanggung jawab atas dunia. Kodrat manusia sebagai “Imago Dei” sejatinya memungkinkan manusia untuk turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah di dunia. Hal ini ditunjukkan dengan berpartisipasi aktif dalam memelihara keutuhan alam.
Sebab itu, Paus Fransiskus menyerukan suatu pertobatan ekologi. Tindakan manusia yang merusak alam merupakan pencederaan atas karya Allah dan persekutuan universal seluruh alam semesta yang harus diperbaiki. Pertobatan ekologi sendiri memuat enam poin kunci.
Pertama, upaya manusia untuk memperbarui kemanusiaan yang di dalamnya termasuk kepedulian terhadap sesama dan alam mesti berangkat dari keyakinan iman yang terdapat dalam nilai-nilai Injil. Kedua, pertobatan ekologi pada dasarnya memang merupakan pertobatan batin yang mendalam.
Ketiga, hubungan yang sehat dengan dunia ciptaan merupakan salah satu dimensi pertobatan manusia yang utuh. Hal ini ditandai dengan sikap kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan berani membangun komitmen bertobat sepenuh hati. Keempat, persoalan ekologi tidak cukup hanya menjadi pertobatan individu. Sebaliknya tobat ekologi harus dilakukan secara kolektif atau disebut sebagai tobat komunal yang menyasar semua orang yang tinggal di bumi.
Kelima, pertobatan ekologi menyiratkan berbagai sikap yang menumbuhkan semangat perlindungan murah hati dan penuh kelembutan. Artinya, manusia mesti bersyukur kepada kasih Allah yang telah menganugerahkan dunia untuk didiami dan digunakan sehingga kesadaran bahwa manusia tak bisa eksis tanpa alam jadi terbangun.
Keenam, pertobatan ekologi mesti berjalan tidak hanya berada dalam tataran batiniah, tapi juga mesti terhubung dengan dunia sekitar dalam persaudaraan bersama seluruh ciptaan Allah. Persaudaraan dalam hal ini mengacu pada bagaimana baik manusia maupun alam punya nilai penting sebagai ciptaan Allah dan menjadi tempat pewahyuan Allah di dunia. Karenanya, usaha manusia untuk kembali bersatu dengan alam sebagai bentuk penghormatan atas sumbangannya bagi kehidupan manusia jadi sangat penting.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Pentingnya Narasi Agama dalam Mengatasi Krisis Iklim
Sejak diterbitkan pada 2015, Ensiklik Laudato Si sudah menjadi panduan bagi gerakan umat Katolik akar rumput seluruh dunia dalam melakukan aksi lingkungan. Laudato SiMovement jadi salah satu contohnya. Dikutip langsung dari kanal website resminya, Laudato SiMovement (LSM) adalah jaringan global dengan lebih dari 900 organisasi anggota dan komunitas yang terdiri dari ribuan umat Katolik yang didirikan di Filipina pada 2015, saat Paus Fransiskus tiba di Manila.
LSM memainkan peran kunci dalam mendukung gereja untuk menerima dan melaksanakan ensiklik Laudato si’. Dengan tiga tujuan utama, yaitu transformasi spiritual, pertobatan ekologi, dan advokasi kenabian, LSM bersama Dikasteri Vatikan untuk Pembangunan Manusia Seutuhnya, mengadakan berbagai inisiatif global untuk meningkatkan kesadaran dan memicu aksi lingkungan.
Salah satu inisiatif global dari LSM yang cukup dikenal adalah divestasi bahan bakar fosil. The Guardian mengabarkan pada 2022 bersama 40 organisasi keagamaan LSM menarik investasi pada bahan bakar yang dinilai jadi biang kerok krisis iklim. Total lebih dari 500 juta dolar investasi bahan bakar fosil yang berhasil ditarik dari inisiasi ini dan menurut Christiana Figueres, mantan kepala iklim PBB ini jadi langkah baik dan penting dalam mencapai misi bersama menyelamatkan bumi.
Pencapaian LSM dalam melakukan pertobatan ekologis memperlihatkan pentingnya pendekatan baru berbasis agama dalam aksi lingkungan. Dalam penelitian berjudul Religious Beliefs And Climate Change Adaptation (2018) didapati bahwa perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh kepercayaan dan agama. Perilaku tersebut termasuk cara orang memandang dan berinteraksi dengan lingkungan fisik.
Di Indonesia misalnya menurut survei Purpose Climate Lab pada 2021 menunjukkan mayoritas responden (86 persen) menyetujui pentingnya menjaga lingkungan karena hal tersebut merupakan perintah agama. Survei tersebut menunjukkan pentingnya nilai agama bagi masyarakat, sebab itu agama bisa cara jitu membantu mobilisasi masyarakat dalam mengatasi krisis iklim.
Agama berhubungan langsung dengan emosi dan kehidupan pribadi seseorang, sehingga diskursunya dapat menarik hati dan pikiran secara personal. Agama pula menurut majalah lingkungan Fair Planet berperan dalam membentuk tanggung jawab moral penganutnya lewat penggunaan bahasa yang tidak terlalu teknokratis dengan frasa yang lebih puitis. Penyampaian ini efektif memberikan catatan reflektif sekaligus kritik bagi para penganutnya untuk lebih memahami bumi tidak hanya sebagai aset material untuk dikelola, tetapi juga sebagai sebuah ciptaan yang harus dirawat dan dicintai bersama.