Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik ‘Eksotis’
Menyebut orang eksotis: mengakui keberadaan orang lain atau meliyankan?
Pada suatu siang nan cerah dan sejuk di Seoul, saya dan seorang teman pergi ke kantin usai mengikuti kuliah. Di tengah jalan kami berpapasan dengan teman pria dari teman saya itu, dan kami berkenalan.
Saya cukup kaget karena segera setelah kami berjabat tangan dan mengucap nama, dia melemparkan pujian, “Kamu cakep sekali!” Sulit untuk percaya itu karena ketika bangun pagi hari itu, saya melihat pemandangan tak sedap di cermin akibat bergadang mengerjakan tugas dan tak sempat mandi.
Sebagai mahasiswa program pertukaran yang tidak banyak tahu tentang Korea Selatan, saya pikir pujian semacam itu adalah hal biasa di sana, semacam basa-basi. Kami semua akhirnya makan bersama, dan selama itu saya merasa sedikit canggung karena lagi-lagi orang itu memberi “pujian” yang sama, kali ini ditambah, “Aku suka kulitmu.”
Ucapan semacam itu semakin menyadarkan saya bahwa saya berada di sebuah tempat dengan mayoritas penduduk berkulit sangat cerah, sementara saya berkulit gelap. Di Indonesia kulit gelap sering dianggap tidak menarik bahkan jadi bahan ejekan, sementara di negeri yang mayoritasnya (pada umumnya) juga memberi nilai tinggi pada kulit yang cerah ini saya sedikit bingung memahami ketertarikan pada kulit gelapku.
Kebingungan ini pun berlanjut karena sejumlah orang (baik penduduk lokal maupun pengunjung lainnya) yang saya temui berikutnya memberikan komentar serupa, “Wah, kulitmu bagus,” atau “Kulitmu kelihatan manis seperti madu,” dan yang terakhir, yang paling membukakan pikiran saya, “Kamu eksotis!”
Di Indonesia, kata ini umum dipakai untuk menggambarkan alam yang indah atau perempuan elok berkulit gelap. Saya sendiri dulu pernah beberapa kali menggunakannya. Bukan pertama kali saya menyadari bahwa kata itu bermuatan sosiokultural (untuk tidak menyebutnya politis), bahwa sesuatu dikatakan eksotis karena indah tapi asing, aneh sekaligus menarik. Pengalaman disandangkan dengan kata itu menyadarkan saya bahwa saya mungkin dianggap menarik dan/karena “aneh” dan asing.
Kata eksotis berasal dari bahasa Yunani, eksotikos, yang berarti asing, atau secara harfiah “dari luar”. Dengan begitu, ketika kita menyematkan kata ini pada sesuatu, yang kita lakukan (meski mungkin secara tidak sadar) adalah meliyankan (othering) sesuatu tersebut.
Para ahli literatur kontemporer sering mengaitkan konsep ini dengan kolonialisme dan pascakolonialisme; bahwasanya istilah “eksotis” timbul karena adanya kontak antarperadaban. Beberapa juga berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan eksotis, sesuatu harus memiliki komponen yang inferior—misalnya tradisional, terbelakang, kurang berpendidikan jika dibanding peradaban Barat—sekaligus jinak (sulit untuk menganggap kanibalisme tribal sebagai eksotis karena dianggap mengancam). Keindahan pada hal-hal itu sendiri barangkali lahir karena keindahan klasik telah menimbulkan semacam kebosanan dan gairah terhadap “yang lain” (other).
Tidak ada yang lebih absurd bagi saya ketimbang mendengar orang Indonesia menyebut eksotis suatu tempat wisata lokal di negaranya sendiri. Atau seorang teman yang menyarankan untuk mengencani orang kulit putih karena mereka pikir mereka menyukai yang eksotis (di lain waktu mereka mengejeknya tampang babu). Atau bahkan membanggakan label eksotis pada diri sendiri dan, maaf, menjajakan dirinya pada para penikmat eksotisme. Jika diliyankan orang terasa menggelitik, menyaksikan seseorang meliyankan diri sendiri terasa pilu.
Definisi eksotis mungkin telah banyak berubah dan menjadi rancu, dan saya yakin banyak orang yang menggunakan istilah itu sebenarnya tidak memiliki maksud politis, hanya mungkin kurang peka akan konteks. Ketika saya dikatakan menarik dan berkulit bagus di kantin siang itu, mungkin orang itu benar-benar hanya ingin memuji tetapi tidak tahu harus dengan deskripsi seperti apa. Lagipula aku akan lebih memilih disebut eksotis daripada dibilang jelek, item, negro, dekil—yang sayang sekali sangat umum di Indonesia. Namun, bukan itu masalahnya.
Mengakui keberadaan “yang lain” (other) dan “meliyankan” (othering) yang lain adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama lahir dari kesadaran lahiriah kita sebagai individu atau kelompok, bahwa ada individu dan kelompok lain selain diri sendiri (self). Ini dapat berubah menjadi yang kedua ketika kita mulai menekankan pada perbedaan antara kita dan yang lain, membangun identitas kaku dan melakukan ekslusi berdasarkan perbedaan itu. Peliyanan ini pun berpotensi melahirkan diskriminasi, baik di permukaan atau secara laten/struktural.
Apa yang kemudian harus kita lakukan? Kalau kamu seperti saya yang kerap mendapat sebutan eksotis dan kurang menyukainya, ketahuilah bahwa kita tidak perlu repot sendiri untuk mengubah diri sebagai sebuah respon.s Kita tidak perlu mengubah warna kulit atau rambut, tingkah, cara bicara kita semata-mata untuk mengakomodasi persepsi orang lain.
Yang lebih penting lagi, cintai diri sendiri untuk cinta diri (self love) itu sendiri, bukan orang lain. Dengan begitu, kita tidak terjebak dalam “auto-eksotisme”, yaitu mempertahankan diri apa adanya (cenderung melebih-lebihkan karakteristik tertentu) HANYA karena kita tahu bahwa dengan begitu kita dianggap menarik, cantik, misterius, aneh: eksotis. Intinya, sebagai subjek yang bebas, berubah atau tidaknya diri seharusnya didasarkan pada cinta diri, dengan begitu kepercayaan diri kita tidak bergantung pada suka atau tidaknya orang lain.
Suatu malam, masih di Seoul, saya pergi minum dengan seorang pria Swiss yang dikenalkan teman di suatu pesta. Dia berwawasan sangat luas dan berpenampilan menarik, dan banyak hal seru yang kita bicarakan, sampai ketika ia mengatakan bahwa ia sangat menyukai saya.
“Kamu tidak punya pacar, kan?”
“Hmmm… tidak, kenapa?”
“Aku sangat menyukaimu. Kau tahu, aku biasanya tidak suka orang Asia, tapi kau sangat berbeda, eksotis, pintar lagi. Sulit sekali menemukan orang beradab (civilized) sepertimu.”
“Kuharap maksudmu baik. Kuanggap itu pujian, tapi coba dengan cara berbeda lain kali.”
Lain kali itu tidak pernah terjadi. Setelah mengenalnya lebih jauh, saya tidak pernah ingin berkencan dengannya lagi.
Ara adalah Curious George yang hidup dalam rimba bahasa. Gemar makan, olahraga, dan berkebun.