Politics & Society

Auto Bahagia ala Kampanye Nikah Muda (dan Bagaimana Melawannya)

Kampanye nikah muda yang sedang didengungkan di Indonesia mendorong orang untuk menikah cepat-cepat, kalau perlu sebelum sekolah selesai, sebagai upaya mengurangi maksiat, namun mengabaikan fakta-fakta penting yang perlu diketahui.

Avatar
  • July 31, 2017
  • 4 min read
  • 1286 Views
Auto Bahagia ala Kampanye Nikah Muda (dan Bagaimana Melawannya)

Pernah mendengar tentang kampanye gerakan nikah muda? Kampanye yang viral di Instagram ini, @gerakanmenikahmuda, punya followers ratusan ribu dan didominasi oleh anak-anak muda berusia 15 sampai 21 tahun. Di akun tersebut kita bisa melihat berbagai hal, mulai dari video persiapan acara ijab kabul dan resepsi pernikahan, sampai meme sindiran kapan menikah.

Hampir di setiap post-nya mereka mendapatkan 1000 hingga 7000 “likes”, menandakan bahwa kampanye ini sangat efektif menyasar pada anak muda tanggung yang masih bingung menentukan masa depan mereka. Komentar-komentar dalam setiap post-nya pun beragam, namun banyak yang  mengatakan mereka ingin sekali menyegerakan pernikahan indah seperti itu, tapi terkendala pasangan yang belum ada; atau mereka menyatakan bahwa memang sudah ada pasangan dan bermaksud segera menikah.

 

 

Koordinator komunikasi dan advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Frenia Nababan menuturkan bahwa kampanye seperti ini merupakan salah satu bentuk dari tekanan kelompok sebaya, dan tidak pernah ada pertimbangan bahwa tidak semua anak muda memiliki kesiapan yang sama untuk  menikah muda.

“Tidak semua bisa disamakan, ada yang memang di umur segitu sudah siap secara fisik mental dan materi, tapi kan setiap  orang berbeda,” kata Frenia.

Menurut Psikolog, Kristi Poerwandari kampanye ini sangat efektif karena mereka menggabungkan ajaran agama  dengan kebutuhan seksual, sehingga dilihat di satu sisi memenuhi kebutuhan seksual tanpa harus “berzinah”, di sisi lain memenuhi ajaran agama yang mereka pahami. Dan pesan-pesan seperti ini digemari karena masyarakat kebanyakan memandang suatu masalah itu secara sederhana sekali.

“Mereka memandang pernikahan muda itu sebagai  cara untuk menghindari zinah, tapi tanpa melihat efeknya untuk laki-laki dan perempuannya. Nggak se-simple apa yang mereka omongin,” kata Kristi.

Kampanye ini diakui efektif oleh staf Komnas Perempuan Mia Olivia, “mereka selalu ngasih yang indah-indah, nah aku yang agak missed disini, muda disini sebenarnya umur berapa? Jadi abstrak banget, tujuannya apa pun juga nggak jelas. Mengurangi zinah? Nyatanya kehamilan yang tidak diinginkan angkanya masih tinggi,” ujar Mia.

Dari konten post-post di akun menikah muda dan komentar-komentar yang masuk, terlihat sasaran dari gerakan ini adalah perempuan muda. Satu gambar kartun memperlihatkan seorang laki-laki muda berpakaian rapi dengan jas dan celana putih dan peci sedang menarik seorang perempuan berjilbab putih ke arah KUA (Kantor Urusan Agama).

“Tunggu wisuda kelamaan,” karakter laki-laki tersebut mengatakan, mengindahkan tokoh perempuannya yang terlihat menangis sambil mengatakan, “Aku mau kuliah dulu!”

Sejalan dengan gerakan nikah muda adalah gerakan yang “mengharamkan” pacaran, yang dianggap sebagai sesuatu perbuatan maksiat. Ada beberapa akun yang mengkampanyekan ini, termasuk akun @indonesiatanpapacaran yang memiliki lebih dari 300 ribu followers. Dengan ajakan-ajakan berlogika sederhana seperti ‘Jika sudah siap kenapa harus pacaran’ atau  ‘Jika bukan sekarang kapan lagi?’ mereka memiliki tujuan akhir yang sama: mengajak anak muda untuk menikah tanpa pacaran dulu.

Ironisnya, salah satu post di akun tersebut mengutip data Komnas Perempuan bahwa 24 persen kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal terjadi dalam hubungan pacaran. Namun tidak pernah disinggung di akun tersebut tentang tingginya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada pasangan yang menikah muda.

Melawan Kampanye Nikah Muda

Memang belum ada cara efektif untuk  melawan kampanye nikah muda, namun bukan berarti kampanye ini tidak bisa “dipatahkan”. Salah satu caranya adalah mengolah fakta-fakta yang terjadi ketika memutuskan untuk menikah muda.

“Salah satu caranya adalah mempelajari cara-cara mereka kampanye. Mereka kasih yang indah-indah? Kita kasih fakta. Kita kasih: ini loh, orang-orang survivor menikah muda, atau yang pendidikannya terputus, meskipun orang yang sudah terbuai  dengan keindahan-keindahan tersebut susah untuk disadarkan, tapi setidaknya kita dapat menjangkau orang-orang yang masih galau,” ujar Mia.

Jika kampanye itu menggunakan argumen “daripada melakukan zinah mending nikah aja sekalian,” kita juga bisa berargumen lain agar anak-anak muda tidak melakukan hal yang mereka sebut zinah tadi, dengan  memaparkan fakta ilmiah mengapa kita tidak boleh melakukan seks di usia  muda atau apa saja konsekuensinya ketika belum siap, tambahnya.

Menurut Kristi Poerwandari cara lainnya adalah dengan melakukan penyuluhan pada orang tua dan anak agar tidak memandang dunia itu dalam  kacamata yang sederhana, karena dunia itu lebih kompleks dari yang kita bisa bayangkan.

Yang tidak kalah penting adalah mengajak anak muda untuk melakukan hal yang produktif di usia mereka, tidak galau memikirkan pernikahan saja.

Frenia Nababan mengatakan: “Zaman dulu remaja kita membuat sumpah pemuda, membuat proklamasi. Bung Hatta saja belum akan menikah sebelum Indonesia merdeka, kok kita turun banget? Pembangunan diri kita semata mata cuma hanya untuk memenuhi hasrat kita. Banyak hal yang bisa dilakukan. Indonesia itu butuh anak-anak muda yang mampu berdaya untuk negara dan dirinya sendiri.”

Mia dari Komnas Perempuan juga menambahkan, “Kita ini kan generasi millennial yang memiliki fasilitas serba ada  seperti internet dan lain sebagainya. Kita bisa membangun dunia ini menjadi lebih baik, setidaknya lingkungan di sekitar kita. Kenapa kita harus mikirin kapan nikah terus sih, apalagi ketika umur kita masih muda?”

​Baca tulisan Elma tentang perayaan Kamisan ke 500. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya