Bagaimana Agama Pengaruhi Orang Indonesia dalam Mencapai ‘Work-life Balance’
Riset menunjukkan bahwa nilai-nilai agama berpengaruh signifikan terhadap persepsi pekerja tentang penerapan keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa terlalu banyak bekerja bisa berdampak negatif terhadap pekerja, bahkan dapat membunuhnya. Meski demikian, bagi banyak orang mencapai keseimbangan antara waktu yang digunakan untuk bekerja dan hidup work-life balance (WLB) masih menjadi utopia.
Studi yang sedang saya kerjakan mengungkapkan bagaimana agama memengaruhi para pekerja untuk menyeimbangkan waktu mereka untuk pekerjaan dan untuk keluarga – yang juga dikenal dengan work-family balance (WFB).
Sebuah studi berskala global menempatkan WFB sebagai bagian dari WLB, dengan fokus spesifiknya pada mencapai keseimbangan antara waktu untuk urusan pekerjaan dan urusan keluarga.
Penelitian ini dilakukan di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Selain Islam, secara hukum, Indonesia juga mengakui lima agama lainnya: Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Setelah mengumpulkan tanggapan kuesioner dari 1.147 responden dengan latar belakang agama yang berbeda di Indonesia, penelitian ini memastikan bahwa nilai-nilai agama secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap persepsi pentingnya penerapan WFB.
Baca juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’
Tentang Riset
Penelitian ini membingkai karakteristik unik orang Indonesia yang religius untuk menjelaskan preferensi mereka dalam memiliki keseimbangan untuk pekerjaan dan keluarga.
Nilai-nilai agama dipilih sebagai variabel yang difokuskan mengikuti berbagai hasil survei yang menyatakan bahwa orang Indonesia sangat religius.
Studi dari lembaga penelitian terkemuka seperti Pew Research Center, World Values Survey, dan Gallup menemukan sebagian besar (lebih dari 90 persen) orang Indonesia yang disurvei menyebutkan bahwa agama menjadi elemen penting bagi kehidupan mereka.
Membawa agama ke tempat kerja telah berkembang menjadi bahasan populer, sebagai tuntutan dari karyawan (yang religius) untuk membawa diri mereka yang utuh ketika bekerja.
Pada saat yang sama, semua ajaran agama di Indonesia juga menyoroti pentingnya menjalin hubungan yang baik dengan keluarga.
Hal ini tertera bagi umat Islam di dalam Al-Qur’an, bagi umat Kristiani dan Katolik di dalam Alkitab, bagi umat Buddha dalam Sigalovada Sutta yang berisikan kumpulan khotbah Buddha Gautama, bagi umat Hindu di Grihastha Ashrama, sebuah kitab yang membahas bagian dari tahapan kehidupan menurut kepercayaan Hindu, dan bagi umat Konghucu dalam analek.
Studi ini menggunakan dua pertanyaan untuk mengukur bagaimana nilai-nilai agama mempengaruhi keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencerminkan seberapa besar kehidupan responden didasarkan pada agama mereka dan seberapa pentingnya pencapaian keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga bagi responden.
Hasil olah data menunjukkan bahwa semakin religius seseorang, semakin mereka berpikir bahwa keseimbangan pekerjaan-keluarga adalah elemen penting dalam karir mereka.
Baca juga: Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Adakan Festival ‘Work Life Balance’
Agama: Sebuah Rem untuk Menahan Kerja Berlebihan
Selain pengaruh langsung agama terhadap WFB, saya berpendapat bahwa agama juga secara tidak langsung mendorong individu untuk menerapkan WFB dalam karier mereka. Misalnya, di antara faktor lain yang menjelaskan pentingnya WFB adalah melakukan tanggung jawab sebagai orang tua dan rasa cinta kepada keluarga.
Ketika agama meresap ke dalam pola pikir dan perilaku individu, maka masuk akal untuk juga mengharapkan bahwa rasa tanggung jawab dan rasa cinta kepada keluarga di dalam benak individu tersebut dipengaruhi oleh agama.
Lebih jauh lagi, konsep kehidupan setelah kematian yang diajarkan agama semestinya membentuk pola pikir individu religius, bahwa kehidupan setelah kematian jauh lebih penting dibandingkan kehidupan saat ini.
Oleh karena itu, menjadi tidak masuk akal bagi mereka untuk terlalu berorientasi pada pekerjaan (kehidupan saat ini) sehingga mengorbankan keluarga (yang lebih berarti untuk kehidupan setelah kematian).
Karena hasil survei mengungkapkan bahwa karyawan dari berbagai generasi menilai pentingnya memiliki keseimbangan pekerjaan-keluarga (dengan nilai yang sangat tinggi, di atas 90 persen), manajer perlu memastikan bahwa tuntutan pekerjaan tidak menghalangi karyawan untuk merawat hubungan baik mereka dengan keluarga.
Hasil riset ini juga mengisyaratkan bahwa orang Indonesia memang ingin membawa agama mereka ketika bekerja. Tempat kerja yang akomodatif untuk ekspresi keagamaan dapat menjadi salah satu fondasi yang baik dalam membangun hubungan harmonis antara karyawan dan pemberi kerja.
Terakhir namun tak kalah penting, mengingat keseimbangan antara kerja dan keluarga adalah manifestasi dari praktik keagamaan, kegagalan untuk mengakomodasi keseimbangan tersebut secara inheren menyalahi preferensi pribadi karyawan dan juga agama mereka.
Persepsi Berbeda Antar-generasi
Korelasi tertinggi antara religiositas dan pentingnya WFB ditemukan pada generasi Baby Boomer (dengan usia antara 57 hingga 75 tahun), diikuti oleh generasi Y (25 – 40 tahun), dan terakhir, generasi X (usia antara 41 dan 56 tahun) dan Z (berusia hingga 24 tahun).
Tahapan karier yang dialami setiap generasi dapat menjelaskan hasil yang berbeda ini.
Kelompok yang paling tidak dipengaruhi oleh agama dalam menilai pentingnya keseimbangan pekerjaan-keluarga adalah generasi Z dan X.
Kedua generasi tersebut saat ini sedang mengalami perubahan ekonomi yang drastis. Sebuah konsepsi umum menyatakan bahwa kondisi keuangan individu mempengaruhi tingkat religiositas: Semakin maju ekonomi seseorang, semakin jauh individu tersebut dari agama.
Bagi generasi Z, bekerja merupakan pengalaman baru saat mereka mendapatkan gaji pertama, beralih status dari anggota keluarga yang menjadi tanggungan ke status pekerja muda yang mandiri.
Sementara itu, setelah bekerja selama beberapa waktu, generasi X umumnya akan mengalami lonjakan jabatan dan insentif ekonomi. Penjelasan tersebut juga menjelaskan sikap generasi Y. Generasi Y telah melewati euforia masa-masa awal menerima gaji sebagai individu yang produktif, tetapi belum sampai pada tahap melonjaknya tingkat finansial mereka.
Sedangkan sikap pada generasi baby boomer konsisten dengan banyak temuan penelitian, semakin tua seseorang, semakin banyak mereka akan merujuk kepada agama dalam mengambil keputusan hidup (termasuk untuk karier mereka).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.