Bagaimana Dongkrak Keterwakilan Perempuan di DPR?
Kuota gender saja tidak cukup signifikan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR.
Memasuki awal 2018, diskusi mengenai pemilihan umum (pemilu) Indonesia yang akan diselenggarakan tahun depan mulai mengemuka. Selain isu calon presiden, tak kalah penting adalah calon-calon legislator (caleg) yang akan menjadi representasi rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, dan keterwakilan perempuan dalam lembaga tersebut.
Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tidak hanya penting dari aspek perimbangan antara laki-laki dan perempuan. Populasi Indonesia separuhnya berjenis kelamin perempuan. Namun lebih dari itu, kehadiran anggota parlemen perempuan diharapkan bisa menjamin kepentingan kaum perempuan menjadi salah satu prioritas kebijakan, di antaranya terkait dengan isu pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan layanan kesehatan.
Angka keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Saat pemilu pertama kali digelar pada 1955, jumlah kursi perempuan hanya 5,06 persen, dan angka ini terus bertambah secara bertahap hingga mencapai 11,4 persen pada 1997 (KPU 2014).
Selepas rezim Orde Baru, berbagai reformasi hukum terkait dengan pemilu legislatif mengenalkan sistem kuota gender yang bertujuan membuka peluang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih.
Namun, melihat pengalaman tiga siklus pemilu yakni 2004, 2009, dan 2014, kuota gender yang mewajibkan partai untuk menempatkan perempuan sedikitnya 30 persen di daftar calon tetap (DCT) belum mendongkrak keterpilihan perempuan secara signifikan.
Pada 2004, perempuan hanya meraih 11,24 persen kursi di DPR. Pada pemilu lima tahun kemudian jumlahnya naik menjadi 18,21 persen. Sementara pada 2014 keterwakilan perempuan justru menipis menjadi 17 persen.
Secara umum, jumlah caleg perempuan dari tujuh partai yang bersaing di tiga pemilu legislatif terus meningkat. Namun mengapa jumlah perempuan yang terpilih tidak bisa meningkat secara maksimal?
Dalam bukunya yang mengulas rekrutmen politik Pippa Norris dan Ronald Inglehart menawarkan tiga tingkat analisis: faktor sistematik, faktor partai, dan individu calon legislatif.
Undang-undang Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara termasuk dalam kategori faktor sistematik. Sementara faktor partai politik meliputi ideologi dan aturan internal partai dalam mencalonkan perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor terakhir terkait dengan aspek motivasi dan sumber daya individu orang yang akan menjadi caleg.
Dalam tulisan ini, analisis saya akan fokus pada faktor partai politik dalam menominasikan caleg perempuan. Hal yang bisa diukur adalah tren penempatan caleg perempuan di nomor urut satu dan tingkat keterpilihan caleg perempuan yang berada di nomor urut teratas.
Analisis statistik dari data hasil pemilu menunjukkan, mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu.
Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa nomor urut sangat menentukan keterpilihan seorang caleg. Meski demikian, patut pula dicermati bahwa peluang untuk terpilih nomor urut empat dan seterusnya ternyata meningkat 10 kali lipat dari 1,6 persen pada 2004 menjadi 16,4% pada pemilu 2014.
Sementara itu, keterpilihan caleg nomor satu terus menurun dari 73,6 persen pada 2004 menjadi 62,1 persen pada 2014. Sebagian faktor penjelas dari tren ini adalah mulai diberlakukannya sistem pemilu yang terbuka (open-list) pada pemilu 2014. Dalam sistem ini, kalah-menangnya caleg semata ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Sistem pemilihan yang semacam ini memberikan peluang untuk caleg di nomor urut besar bisa terpilih, dan trennya terus naik.
Cara partai menominasikan caleg perempuan
Analisa terhadap tujuh partai politik yang mengikuti tiga pemilu legislatif menunjukkan bahwa tiap-tiap partai memiliki pola yang berbeda saat menominasikan caleg perempuan.
Grafik di bawah ini menunjukkan dua partai berbasis Islam; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu dengan tren yang berlawan arah.
PPP secara stabil dan signifikan terus menambah porsi caleg perempuan nomor urut satu, bahkan rasionya merupakan yang tertinggi di antara semua partai. Sedangkan PKS menempatkan semakin sedikit perempuan di nomor urut 1.
Pada pemilu 2014, PPP menempatkan perempuan sebagai caleg nomor satu di 22 daerah pemilihan (dapil), sementara PKS hanya mengisi satu daerah pemilihan dengan perempuan sebagai caleg teratas.
Partai-partai lain, kecuali Golkar, menunjukkan peningkatan alokasi caleg perempuan di nomor urut satu. Peningkatan paling tajam terjadi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kenaikannya mencapai nyaris 600 persen dibandingkan pemilu 2009.
Dalam pemilu 2014, terlihat jelas bahwa 90 persen caleg perempuan yang terpilih dari PPP adalah mereka yang menempati nomor urut satu. Dengan kata lain, banyak pemilih PPP mendukung caleg perempuan yang ditempatkan di posisi teratas. Sementara di partai lain, seperti Golkar dan Demokrat, mayoritas perempuan yang terpilih justru bukan duduk di nomor urut satu, sebagian bahkan ada yang melaju dengan nomor urut tujuh, delapan, dan sembilan.
Grafik berikut memetakan tingkat kesuksesan caleg perempuan dengan nomor satu dalam pemilu 2009 dan 2014. Terlihat bahwa pada pemilu 2009, Partai Demokrat, PDI-P, dan PKS berhasil mengirimkan 100 persen caleg perempuan nomor urut satu ke DPR.
Sementara di pemilu berikutnya, “success rate” ini anjlok untuk semua partai kecuali Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Salah satu faktor penjelasnya terletak pada aspek sistem pemilu terbuka, yang memungkinkan semua caleg bisa terpilih tanpa peduli posisi nomor urut. Aspek lain ditentukan oleh berkurangnya perempuan ditempatkan di posisi teratas, terjadi di PKS yang hanya punya satu dapil dengan caleg perempuan sebagai pemimpin daftar calon tetap (DCT).
Selanjutnya apa?
Berkaca dari pengalaman tiga kali pemilu legislatif, apakah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan jumlah anggota perempuan DPR? Satu hal yang tetap relevan adalah mengupayakan agar caleg perempuan semakin banyak ditempatkan di nomor urut teratas, meskipun memang dengan sistem terbuka siapa saja dan di nomor mana saja bisa terpilih.
Di sisi lain, beberapa politikus dan aktivis perempuan mulai mendesak agar partai politik memainkan peranan yang lebih gencar dalam kaderisasi agar perempuan yang maju dalam pemilihan legislatif adalah mereka yang benar-benar memiliki sumber daya serta kemampuan politik yang serius.
Sebuah survei oleh International Foundation for Electoral Systems (IFES) pada 2010 mengindikasikan bahwa pemilih meminati caleg perempuan yang memiliki beberapa kualitas unggulan. Kualitas yang paling dicari oleh pemilih adalah kecerdasan (35 persen), bersih dari korupsi (26 persen), dan pengalaman di dunia politik (20 persen). Hal ini menunjukkan bahwa untuk berhasil mendulang suara, caleg perempuan perlu mengasah nilai tambahnya mulai dari kemampuan intelektual, praktik politik yang bersih, dan mengumpulkan “jam terbang” sebagai politikus.
Pada akhirnya, memperbanyak jumlah caleg perempuan memang penting untuk menjamin peluang keterpilihan di pemilu. Lebih ideal lagi bila partai serius menempatkan perempuan sebagai kandidat teratas di banyak dapil. Namun jauh lebih penting sekarang adalah meningkatkan kualitas caleg agar jumlah perempuan menjadi wakil rakyat di DPR menjadi lebih banyak.
Ella S Prihatini adalah mahasiswi program doktoral di University of Western Australia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.