Mendorong Polisi Virtual Lakukan Edukasi, Bukan Represi
Polisi virtual diharapkan lebih memberi edukasi dan penguatan literasi digital lewat konten-konten, bukan sekadar melakukan pengawasan dan aksi represif.
Baru-baru ini, kepolisian Indonesia membentuk polisi virtual yang mengundang kritik di masyarakat. Tujuan mereka melakukan ini adalah mengedukasi masyarakat terkait bahaya konten-konten negatif yang marak beredar di internet.
Alih-alih memberi edukasi, dalam aktivitasnya polisi virtual justru berfokus pada pemberian peringatan dan melakukan proses interogasi terhadap masyarakat. Polisi virtual seharusnya mengambil peran penting dalam edukasi literasi digital. Dengan begitu, satuan tugas digital ini tidak menjadi instrumen represi baru.
Apa Itu Polisi Virtual dan Bagaimana Cara Kerjanya?
Polisi virtual adalah bagian dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di bawah Direktorat Tindak Pidana Siber pada Badan Reserse Kriminal. Satuan ini mulai aktif sejak 19 Februari 2021.
Berbeda dengan polisi siber yang bertugas untuk menindaklanjuti pelanggaran Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), polisi virtual memiliki tujuan utama untuk melakukan edukasi kepada masyarakat.
Polisi virtual bekerja melewati dua tahap. Pada tahap pertama, polisi virtual memantau unggahan-unggahan media sosial. Jika mereka menemukan unggahan yang mengandung unsur fitnah; suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); hoaks; ujaran kebencian – khususnya yang melanggar UU ITE dan sebagainya, mereka akan berkonsultasi dengan tim yang terdiri dari ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE.
Baca juga: Tantangan Advokat Gender Dampingi Korban KBGO
Tahap kedua, setelah menetapkan bahwa unggahan tersebut merupakan sebuah pelanggaran (dalam definisi pelanggaran UU ITE), polisi virtual kemudian akan menghubungi pelaku melalui pesan langsung (direct message atau DM).
Tidak semua akun yang berada dalam pantauan maupun dilaporkan akan diproses secara langsung. Polisi virtual menyeleksi akun mana yang akan dikirim DM dan mana yang tidak.
Pengiriman kemungkinan besar hanya berlaku bagi akun yang bisa menerima DM dari akun polisi virtual, atau akun yang bersifat publik.
Polisi virtual mengirim DM juga dalam dua tahap. Pada tahap pertama, polisi virtual akan memberikan peringatan kepada pelaku unggahan untuk menghapus unggahan tersebut dalam periode tertentu, yakni dalam 1 x 24 jam. Jika peringatan tersebut tidak diindahkan, maka polisi mengirim peringatan lanjutan.
Pada tahap kedua, jika konten tersebut tetap belum diturunkan, maka polisi virtual akan mengirim surat panggilan pada terduga pelaku untuk sesi interogasi di kantor polisi.
Sejauh ini, sudah ada satu kasus seseorang yang dipanggil untuk diinterogasi, yakni pada kasus dugaan penghinaan terhadap Gibran Rakabuming, Walikota Surakarta di Jawa Tengah.
Memicu Masyarakat Saling Melaporkan
Hingga pertengahan Maret, polisi virtual telah memberikan peringatan kepada 89 akun media sosial. Akun-akun yang diberi peringatan berasal dari berbagai macam media sosial, baik itu Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial publik lainnya.
Namun, jaring-jaring polisi virtual tidak hanya terbatas pada media sosial publik saja. Mereka juga memantau aplikasi pesan singkat WhatsApp. Pemantauan WhatsApp ini hanya dilakukan berbasis laporan dari individu.
Meskipun polisi virtual tidak dapat melihat isi WhatsApp kita secara langsung, orang lain bisa saja melaporkan isi percakapan tersebut dengan dugaan pelanggaran UU ITE.
Praktik ini tentunya cukup meresahkan. Apalagi kini polisi virtual mendorong masyarakat untuk melaporkan konten negatif di internet dengan memberikan penghargaan berupa lencana atau badge kepada pelapor.
Badge hanya diberikan kepada pelapor yang laporannya sudah terverifikasi, dianggap sebagai kasus yang sulit diungkap, dan kasusnya sudah mendapat vonis pengadilan. Polisi juga akan merahasiakan identitas pelapor.
Pemberian lencana ini mengkhawatirkan, karena dapat mendorong masyarakat untuk saling melaporkan dan yang akan terjadi adalah timbul rasa ketakutan untuk berpendapat. Perkembangan tersebut tentunya akan mengancam upaya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Praktik Polisi Virtual di Negara Lain
Mengingat kemungkinan berbagai kejahatan yang dapat terjadi di dunia maya seperti penipuan online, penyebaran konten provokatif, dan akses ilegal, sebetulnya keberadaan polisi virtual bukanlah hal yang baru di dunia.
Cina misalnya, sejak tahun 2007 telah memiliki instrumen serupa. Di sana, patroli dilakukan dengan memunculkan ikon polisi setiap setengah jam di layar gawai pengguna pada portal-portal yang sering diakses masyarakat, seperti Sohu dan Sina. Dalam perkembangannya, pemerintah Cina merencanakan ikon polisi virtual itu akan muncul pada semua website yang terdaftar pada server yang berlokasi di Beijing.
Praktik ini dinilai berhasil mengerem persebaran konten negatif dan kejahatan di internet. Akan tetapi, seiring waktu polisi virtual kian menjadi momok bagi masyarakat di Cina dengan semakin invasifnya jangkauan polisi dan meningkatnya upaya sensor konten.
Praktik polisi virtual yang cukup menarik terjadi di Spanyol. Di sana, polisi virtual menggunakan jalur media sosial untuk membagikan konten-konten edukatif yang didukung oleh tingkat interaksi yang tinggi di antara polisi dan masyarakat. Praktik inilah yang menurut kami dapat menjadi contoh bagi polisi virtual di Indonesia untuk mencapai tujuan bersifat mendidik.
Jangan sampai, alih-alih meningkatkan strategi komunikasi, fokus kegiatan yang justru ke arah pengawasan yang represif sebagaimana yang terjadi di Cina.
Pengawasan semacam ini mengingatkan kita pada operasi Stasi di Jerman Timur pada masa Perang Dingin. Ratusan ribu warga Jerman Timur menjadi informan-informan Stasi untuk melaporkan tindak-tanduk dan gerak-gerik sesama warga.
Edukasi, Bukan Represi
Persebaran konten misinformasi, disinformasi, dan hoaks merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani pemerintah. Terlebih, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah.
Ini menunjukkan pentingnya edukasi yang inklusif tentang cara mencari, mengakses, mengevaluasi konten bermutu di ruang maya, bagaimana memproduksi konten yang akurat, dan bahaya menyebarkan informasi yang tidak benar di media sosial.
Dalam mengatasi permasalahan ini, kolaborasi antara platform penyedia media sosial, pemerintah, dan juga kelompok masyarakat sipil penting untuk dilakukan.
Edukasi terkait literasi digital dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktis masyarakat dalam mengolah informasi dan menggunakan perangkat digital. Hasilnya, masyarakat diharapkan mampu untuk memilah dan memilih informasi yang benar dan baik, sehingga mengurangi jumlah persebaran konten-konten berbahaya pada internet.
Polisi virtual diharapkan dapat menjadi institusi yang berperan aktif dalam mendorong upaya edukasi ini melalui aktivitas produksi konten-konten yang edukatif dan interaktif mengenai konten-konten berbahaya di internet.
Baca juga: Menciptakan Ruang Online yang Aman bagi Anak Perempuan
Tindakan-tindakan reaktif berupa pemberian peringatan, interogasi, dan publikasi permohonan maaf individu secara publik hanya akan memberi efek jera secara jangka pendek dan memperkuat kesan represif dari polisi virtual. Padahal, pendekatan pencegahan, yakni edukasi masyarakat, akan mendorong terciptanya ruang digital yang aman dan sehat secara berkelanjutan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari